Syariah

Pengaturan Pengeras Suara Tempat Ibadah di Yaman

Jum, 25 Februari 2022 | 16:00 WIB

Pengaturan Pengeras Suara Tempat Ibadah di Yaman

Sebenarnya tidak hanya di Indonesia, di luar negeri, negara-negara berpenduduk muslim pun telah mengatur penggunaan pengeras suara di tempat ibadah, dalam hal ini masjid agar tidak kontraproduktif yang justru menimbulkan kebisingan yang mengganggu masyarakat.

Perbincangan pro kontra penggunaan pengeras suara terus riuh di media sosial seiring terbitnya Surat Edaran Menteri Agama Republik Indonesia Nomor  05 Tahun 2022 tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musala.


Sebenarnya tidak hanya di Indonesia, di luar negeri, negara-negara berpenduduk muslim pun telah mengatur penggunaan pengeras suara di tempat ibadah, dalam hal ini masjid, agar tidak kontraproduktif yang justru menimbulkan kebisingan yang mengganggu masyarakat. Negara Yaman menjadi salah satu contohnya.


Wizaratul Auqaf wal Irsyad semacam kementerian agama negara Yaman, secara terang-terangan mengeluarkan peraturan yang tentang penggunaan mikrofon di masjid-masjid. Tepatnya Qarar Wizaratul Auqaf wal Irsyad Nomor 79 menyatakan:


“(3) Penggunaan pengeras suara dibatasi untuk mengumumkan masuknya waktu dan pelaksanaan shalat wajib yang lima; khutbah Jumat; shalat Idul Fitri dan Idul Adha serta khutbahnya; shalat gerhana matahari dan gerhana bulan. Adapun kesunnahan lainnya seperti berbagai shalat sunnah, ibadah sunnah, dan berbagai pengajian, maka yang digunakan adalah pengeras suara dalam. 


(4) Keseimbangan harus dijaga saat penggunaan alat pengeras suara sehingga suara pengeras suara di antara masjid yang berdekatan tidak bercampur baur, agar tidak membuyarkan konsentrasi orang-orang yang sedang shalat dan menimbulkan gangguan bagi orang-orang yang sedang sakit dan yang sedang uzur.”


Jauh sebelumnya Kerajaan Qu’aithiah (1858-1967) yang menguasai sebagian wilayah Yaman tempo dulu juga mengatur penggunaan pengeras suara secara lebih ketat. Wizaratul Auqaf yang saat itu dipimpin oleh Syekh Umar bin Muhammad Sahilan mengeluarkan larangan penggunaan mikrofon untuk iqamat shalat. Larangan penggunaan mikrofon itu menyebutkan: 


“Kepada seluruh Imam dan muazin masjid di Kota Mukalla. Sungguh penggunaan mikrofon untuk mengumandangkan iqamah shalat adalah perbuatan yang tidak pada tempatnya. Sebab masyarakat tetap saja berbicara saat mendengarkan iqamah dari mikrofon, lalu mereka baru bergerak menuju masjid dan menunda shalat. Karenanya, azan menjadi tidak berharga dan tujuan disyariatkannya tidak tercapai, sebagaimana iqamah juga menjadi bertentangan dengan tujuan sebenarnya, yaitu memberitahu orang-orang yang telah hadir di masjid, bukan orang-orang yang di luar masjid, bahwa shalat segera didirikan. Karenanya kami larang sekeras-kerasnya penggunaan mikrofon untuk mengumandangkan iqamah shalat.”  


Pengaturan penggunaan pengeras suara untuk azan dan semisalnya di negeri Yaman nyatanya juga mendapat apresiasi dari para ulama. Di antaranya adalah Sayyid Zain bin Muhammad Husain Alydrus, dosen Universitas Al-Ahqaf Yaman.


Menurutnya aturan-aturan semacam ini sangat sesuai dengan ruh syariat Islam, namun sayangnya banyak orang Islam yang mengabaikannya, karena cenderung menuruti hawa nafsunya. Secara tegas ia menyatakan:


وهو قرار وجيه يتوافق معه روح الشريعة الغراء ومقاصدها النبيلة، ولكن للأسف الشديد، لم يلتزم كثير  من الناس بهذا القرار، ركونا إلى أهواهم ورغباتهم، وعدم مراعتهم لمشاعر المسلمين بل وإيذائهم مما يوقعهم في حضر جسيم. هداهم الله تعالى


Artinya, “Peraturan penggunaan mikrofon di masjid-masjid itu adalah peraturan yang sangat bagus dan berkesesuaian dengan ruh syariat yang indah dan tujuan syariat yang luhur. Namun sangat disesalkan banyak orang yang tidak mematuhinya karena cenderung mengikuti hawa nafsu dan kesenangannya. Ketidakpedulian mereka terhadap kaum muslimin bahkan menyakitinya—dengan menggunakan pengeras suara secara tidak beraturan—termasuk hal yang membuat mereka jatuh dalam bahaya besar. Semoga Allah Ta’ala memberi petunjuk kepada mereka.” (Zain bin Muhammad bin Husain Alydrus, I’lâmul Khâsh wal ‘Âmm bi Anna Iz’âjan Nâsi bil Mikrûfûn Harâm, [Mukalla, Dârul ‘Idrûs: 1435/2014], halaman 29-30).


Nah, berkaitan riuh rendah pro dan kontra pengaturan penggunaan pengeras suara, apakah kita cenderung mengikuti aturan yang lebih memperhatikan kepentingan orang banyak, atau justru suka-suka sendiri tanpa aturan seperti selama ini? Wallâhu a’lam. 


Ustadz Ahmad Muntaha AM, Founder Aswaja Muda dan Redaktur Keislaman NU Online.