Syariah

Pentingnya Menjaga Kelestarian Lingkungan Menurut Ajaran Islam

Sen, 30 Mei 2022 | 22:00 WIB

Pentingnya Menjaga Kelestarian Lingkungan Menurut Ajaran Islam

Tatkala kejahatan yang dilakukan oleh manusia terhadap lingkungan sudah melampaui batas kewajaran, alam pun pada akhirnya membalasnya dalam bentuk-bentuk musibah yang terjadi.

Menjaga dan melestarikan lingkungan berupa ruang hidup bersama (atau biasa dikenal dengan istilah ruang publik) sejatinya kewajiban seluruh elemen masyarakat secara umum dan para pengambil kebijakan secara khusus. Hal ini tak lain karena kenyamanan lingkungan akan dirasakan langsung oleh masyarakat luas. Pun demikian sebaliknya, ketidaknyamanan di ruang publik akan berdampak dan dirasakan langsung oleh semua masyarakat.


Pada zaman seperti sekarang, kesadaran untuk menjaga lingkungan menjadi tantangan yang sangat serius dalam kehidupan bermasyarakat. Di dalam kota-kota besar, contohnya, kemacetan lalu lintas telah menjadi kenyataan hidup sehari-hari. Karena sudah menjadi kebiasaan, kemacetan lalu lintas kerap tidak dianggap sebagai masalah serius yang berkaitan dengan lingkungan.


Begitu juga dengan persoalan banjir. Pada musim hujan, tempat-tempat yang awalnya tampak angkuh dan megah, tak jarang berubah menjadi kolam air yang disertai dengan tumpukan sampah yang sangat mengganggu pemandangan dan kesehatan. Bahkan jalan-jalan yang lebar dan asri pun berubah menjadi selokan-selokan besar yang mengulari perkotaan.


Sementara di sisi lain, pembangunan terus digalakkan hampir di semua sudut kota. Pelbagai macam alat-alat berat terus beroperasi di mana-mana untuk menciptakan gedung-gedung mewah atau mengeruk aneka macam kekayaan alam.


Sebagai pemegang amanah dari rakyat dan kekuasaan, pemerintah di semua lapisannya merupakan pihak yang terkait langsung dengan pelestarian atau pun penjagaan lingkungan. Dengan kata lain, pemerintah harus berada di barisan terdepan dalam upaya menciptakan lingkungan yang bermaslahat bagi semua elemen masyarakat. Yaitu melalui tata kota yang terencana, terukur, dan memerhatikan kemaslahatan bersama.


Dalam perspektif Islam, kebijakan pemerintah atau seorang pemimpin harus memerhatikan kemaslahatan masyarakat. Karena kemaslahatan masyarakat merupakan salah satu tujuan utama dan terutama dari sebuah kepemimpinan ataupun pemerintahan. Inilah yang dalam kaidah hukum Islam (fikih) dikenal dengan istilah


تَصَرُّفُ اْلامَامِ عَلَى الرَّعِيَّةِ مَنُوْطٌ بِالْمَصْلَحَةِ 


"Kebijakan pemerintah ataupun pemimpin terhadap rakyat atas dasar kemaslahatan mereka."


Dalam semangat kepemimpinan sebagaimana di atas, kebijakan pemerintah terkait dengan pembangunan harus dirancang dan dijalankan sesuai dengan kemaslahatan lingkungan berupa ruang publik. Yaitu dengan perencanaan yang matang dan terukur terkait dengan tata kota; mana wilayah pembangunan dan mana wilayah serapan.


Pemilahan-pemilahan seperti di atas sangat penting untuk memerhatikan hak-hak dan fungsi lingkungan. Hingga pada berkembangan berikutnya lingkungan tidak merampas hak-hak hidup masyarakat dalam bentuk musibah-musibah alam. Allah swt berfirman:


وَمَانُرْسِلُ المُرْسَلِيْنَ إِلَّا مُبَشِّرِيْنَ وَمُنْذِرِيْنَ فَمَنْ آمَنَ وَأَصْلَحَ فَلاَ خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُوْن (الأنعام: 48)


"Dan Kami tidak mengutus para Rasul kecuali sebagai pembawa kabar gembira dan peringatan. Maka barangsiapa beriman dan berbuat kemaslahatan, maka bagi mereka tidak akan takut dan sedih." (Qs. al-An’âm [6]: 48)


Ayat al-Quran di atas menegaskan tentang misi diutusnya para Rasul: tidak lain untuk membawa kemaslahatan bagi umatnya melalui kabar gembira dan peringatan yang akan menuntun hidup mereka. Misi yang mulia tersebut dijamin oleh Tuhan dengan surga di hari akhirat nanti.


Dalam kitab tafsir Mafâtîh Al-Ghayb, Imam ar-Razi menegaskan ayat tersebut hendak meneguhkan misi kenabian yang di dalamnya menggabungkan antara dimensi iman dan dimensi kemaslahatan umat. Keduanya merupakan kekuatan yang mahadahsyat dalam rangka membangun masyarakat yang dicintai Allah swt. Yaitu masyarakat yang makmur dan mendapatkan berkah-Nya.


Seluruh manusia mempunyai kewajiban yang kurang lebih sama untuk menjaga dan memerhatikan kemaslahatan lingkungan. Yaitu dengan melakukan hal-hal yang bermanfaat bagi lingkungan dan masyarakat luas, sekaligus menghindari hal-hal yang bersifat negatif terhadap lingkungan dan kehidupan bersama.


Islam sangat memperhatikan kemaslahatan manusia, terutama kemaslahatan yang berdampak luas bagi kehidupan masyarakat. Dalam Islam, gagasan kemaslahatan dimaksudkan untuk mendorong umatnya agar senantiasa melakukan kebaikan sebanyak mungkin. Walaupun kebaikan tersebut menyangkut hal-hal yang sederhana. 


Dalam sebuah Hadits disebutkan bahwa perbuatan menyingkirkan duri yang dapat mengganggu orang di jalan merupakan bagian dari keimanan. Sebaliknya, dalam konteks keburukan disebutkan bahwa seorang yang sengaja mengurung kucing bisa menyebabkannya masuk neraka. 


Prinsip kemaslahatan dalam Islam diabadikan oleh Imam An-Nawawi dalam kumpulan hadis 40, yang dikenal dengan Hadis al-Arba’în al-Nawawî:


لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ فِي الْاِسْلاَمِ


"Tidak ada kemudharatan dan memudharatkan dalam Islam"


Hadits tersebut ingin memastikan, bahwa sebagai umat Islam kita diperintahkan agar senantiasa melaksanakan sesuatu yang membawa manfaat bagi orang lain. Sedangkan hal-hal yang membawa dampak bahaya atau kemudaratan hendaknya dijauhi. Sebab Islam sama sekali tidak menoleransi berbagai tindakan yang merugikan orang lain. 


Dalam konteks seperti ini, membuang sampah pada tempatnya sebagai bagian nyata dari perhatian terhadap lingkungan mempunyai makna yang sangat penting, walaupun perbuatan tersebut mungkin tampak sederhana. Dengan membiasakan diri membuang sampah pada tempatnya, masyarakat sesungguhnya telah berperan besar dalam upaya menjaga kemaslahatan ruang publik.


Harus diperhatikan bersama, pada awalnya kebiasaan membuang sampah tidak pada tempatnya mungkin tidak terasa dampaknya. Apalagi sampah tersebut hanyalah berkas-berkas atau pun hal-hal kecil lainnya.


Namun demikian, tidak ada hal kecil apabila terus dilakukan, apalagi orang lain kemudian turut melakukannya. Dengan kata lain, membuang sampah ringan tidak pada tempatnya pada akhirnya akan menimbulkan gunung sampah bila terus dilakukan. Apalagi perbuatan seperti ini kemudian dilakukan oleh banyak orang.


Tatkala kejahatan yang dilakukan oleh manusia terhadap lingkungan sudah melampaui batas kewajaran, alam pun pada akhirnya membalasnya dalam bentuk-bentuk musibah yang terjadi. Sebagaimana telah disampaikan, ketika musibah terjadi, dia tak lagi memerhatikan siapa yang baik atau siapa yang buruk, siapa yang melakukan sampah tidak pada tempatnya dan siapa yang membuang sampah pada tempatnya. (Fathoni)