Syariah

Perbedaan Karamah Tak Hakiki dan Karamah Hakiki

Ahad, 29 Oktober 2017 | 10:00 WIB

Dalam membicarakan seorang wali, biasanya seseorang juga membicarakan karamahnya, baik secara lisan maupun tertulis. Hal ini dapat dilihat pada keumuman membicarakan karamah seorang wali, misalnya dalam setiap haulnya. Sedangkan secara tertulis, pembicaraan tentang karamah biasanya diletakkan di bagian akhir sebuah kitab atau buku. Allamah Sayyid Abdullah bin Alawi Al-Haddad menjelaskan ada dua macam karamah, yakni karamah hakiki dan karamah tak hakiki. 

Kedua macam karamah tersebut secara substasial berbeda dan perlu diketahui terutama oleh para “murid” yang sedang belajar menempuh perjalanan ruhani. Ulama dari Hadramaut Yaman tersebut menjelaskan dalam kitabnya berjudul An-Nafais Al-Uluwiyyah fil Masailis Shufiyyah, halaman 45, sebagai berikut:

فيكون من جملة طلبه الحظوظ الدنيوية والأعراض النفسانية هذا اذا كان يطلبه الكرامات الصورية من طي الأرض واللاخبار عن المغيبات واشابه ذلك, فان كان يطلب الكرامات الحقيقية كزياد الأيمان واليقين, والتحقق بالزهد في الدنيا, والرغبة قي الأخرة وامثال ذالك كانت رغبته فيه محمودة, لأن ذالك من الحق والدين الذي يطلبه ويزغب فيه.

Artinya: ”Seseorang hanya mementingkan kepentingan duniawinya dan memuaskan keinginan nafsunya jika ia mengejar ‘karamah tak hakiki’ seperti melipat bumi, memperoleh berita-berita gaib dan sebagainya. Tetapi jika ia mencari ‘karamah hakiki’ seperti meningkatnya iman dan keyakinan, hidup di dunia dengan zuhud, dan condong pada kehidupan akhirat, dan sebagainya, maka perbuatan itu merupakan hal yang terpuji. Inilah yang harus dicari karena semua itu merupakan perkara haq dan sesuai dengan tuntutan agama.”

Dari kutipan diatas dapat kita ketahui beberapa hal sebagai berikut: 

Pertama, karamah dibagi menjadi dua, yakni al-karamat ash-shuriyyah (karamah tak hakiki) dan al-karamat al-haqiqiyyah (karamah hakiki). Contoh karamah tak hakiki adalah jalan cepat yang seolah dapat melipat bumi dan mendapatkan berita-berita gaib dari langit hingga, misalnya, mengetahui suatu peristiwa sebelum terjadi. Sedangkan contoh karamah hakiki adalah tebalnya iman, hidup secara zuhud dan menyukai kehidupan ukhrawi. 

Kedua, seseorang yang beribadah menempuh perjalanan ruhani seperti melakukan amal-amalan tertentu dengan maksud mencari karamah yang berupa kemampuan berjalan cepat yang seolah dapat melipat bumi, atau memperoleh kasyaf sehingga mengetahui berita-berita dari langit, maka orang tersebut telah melakukan perbuatan yang tidak terpuji karena ini berarti ia mengejar hal-hal duniawi dalam ibadahnya kepada Allah subhanahu wata'ala

Ketiga, seseorang yang bersungguh-sungguh melakukan amal-amalan tertentu dengan maksud meningkatkan iman, memantapkan hidup dengan kezuhudan dan memburu kemanfaatan ukhrawi dan bukannya duniawi, maka orang tersebut telah melakukan perbuatan mulia. Orang tersebut adalah murid yang terpuji. 

Selanjutnya, Allamah Sayyid Abdullah bin Alawi Al-Haddad dalam kitabnya yang lain berjudul Risalatu Adabi Sulukil Murid, halaman 47, menjelaskan sebagai berikut: 

واعلم أن الكرامة الجامعة لجميع أنواع الكرامات الحقيقيات والصوريات هي الاستقامة المعبر عنها بامتثال الأوامر واجتناب المناهي ظاهرا وباطنا

Artinya: “Karamah yang mencakup semua jenis karamah, baik yang hakiki maupun tidak hakiki, merupakan buah dari istiqamah, yaitu menurut pada perintah-perintah Allh dan menjahui larang-larangan-Nya secara lahir dan batin.” 

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa karamah tak hakiki adalah karamah yang hanya kelihatannya saja. Karamah seperti ini bisa berupa kemampuan luar biasa yang bersifat duniawi, seperti melipat bumi. Sedangkan karamah hakiki adalah karamah berupa kemampuan luar biasa yang bersifat ruhani atau ukhrawi, seperti kemampuan beribadah yang di atas rata-rata orang. Seorang murid yang mengejar karamah tak hakiki bukanlah murid yang baik, sedangkan mereka yang mengejar karamah hakiki adalah murid yang terpuji.

Singkatnya karamah tak hakiki bersifat duniawi, sedangkan karamah hakiki bersifat ukhrawi.  Karamah yang mencakup kedua macam karamah di atas berasal dari istiqamah (berlaku lurus dalam jalan Allah). Dengan kata lain inti dari karamah adalah istiqamah. Itulah sebabnya dalam ilmu tasawuf dikatakan bahwa istiqamah lebih utama dari pada seribu (1.000) karamah sebagaimana disebutkan dalam kitab Marqaah al-Mafaatiih Syarhu Misykaat Al-Mashabih, halaman 481, karya Syaikh Ali bin Sulthan Muhammad Al-Qari: "Fainnal istiqamah khairun min alfi karamah (sesungguhnya istiqamah lebih utama dari pada seribu karamah). 


Muhammad Ishom, dosen Fakultas Agama Islam Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Surakarta