Syariah

Piatu Termasuk Yatim yang Dianjurkan untuk Disantuni saat Muharram?

Rabu, 24 Juli 2024 | 21:00 WIB

Piatu Termasuk Yatim yang Dianjurkan untuk Disantuni saat Muharram?

Status anak piatu apakah sama dengan anak yatim? (freepik).

Salah satu amalan baik yang biasa dilakukan masyarakat muslim Indonesia pada bulan Muharram khususnya hari Asyura adalah memberikan santunan anak yatim. Tradisi masyarakat Indonesia menyebut seorang anak yang ditinggal wafat ayahnya sebagai yatim, ketika ditinggal wafat ibunya disebut piatu. Sedangkan yatim piatu adalah seorang anak yang telah ditinggal wafat kedua orang tuanya.
 

Dalam praktik santunan anak yatim di sebagian masyarakat memasukan piatu ke dalam penerima santunan, di antara alasannya karena sulit mencari anak yatim apalagi yatim piatu, sehingga memasukan piatu sebagai penerima santunan. 
 

Pertanyaannya, apakah dapat dibenarkan memasukan anak piatu sebagai peserta santunan?  
 

Menyantuni anak yatim memiliki banyak keutamaan dan merupakan salah satu perbuatan mulia yang sangat dianjurkan dalam Islam. Rasulullah saw sangat menekankan pentingnya memperhatikan dan menyantuni anak yatim. Dalam sebuah hadits, beliau bersabda:
 

"Saya dan orang yang mengurus anak yatim di surga seperti ini, sambil menunjukkan dua jarinya, yaitu jari telunjuk dan jari tengah yang dirapatkan." (HR A-Bukhari).
 

Pengertian yatim dalam bahasa Arab secara etimologi adalah individu atau sesuatu yang langka tandingannya. Kata yatim (اليتيم) dengan dibaca dhamah dan fathah huruf ya'-nya berarti kesendirian atau kehilangan ayah. Bentuk feminimnya adalah yatimah, dan bentuk jamaknya adalah aytam dan yatama.
 

Ibnu Sikkit berkata, "Yatim di kalangan manusia berarti anak yang kehilangan ayah, sedangkan di kalangan hewan berarti yang kehilangan ibu. Tidak disebut yatim bagi yang kehilangan ibu dari kalangan manusia." 
 

Sedangkan menurut istilah syar'i, para fuqaha mendefinisikan yatim sebagai seseorang yang ayahnya meninggal saat dia belum baligh, berdasarkan hadits: "Tidak ada lagi status yatim setelah baligh." (Lihat Kementrian Waqaf, Al-Mausu'ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, [Kuwait, Darus Salasil: 1427 H], juz XXXXV halaman 254). 
 

Namun demikian, menurut Ibnu Abi Hurairah (w 345 H) sebagaimana dikutip Az-Zarkasyi dalam kitabnya Al-Mantsur fi Qawaidil Fiqhiyah, ada satu pendapat yang mengatakan bahwa anak yang ditinggal wafat ibunya tetap dianggap yatim. Pendapat ini didasarkan pada pendapat yang mengatakan bahwa ibu bertanggung jawab atas urusan anaknya.
 

الْيَتِيمُ الْمَشْهُورُ أَنَّهُ الصَّغِيرُ الَّذِي لَا أَبَ لَهُ، وَأَنَّ (الْيَتِيمَ) فِي الْآدَمِيِّ بِمَوْتِ الْأَبَاءِ وَفِي الْبَهَائِمِ بِمَوْتِ الْأُمَّهَاتِ، (قَالَ) الْمَاوَرْدِيُّ؛ لِأَنَّ الْبَهِيمَةَ تُنْسَبُ إلَى أُمِّهَا فَكَانَ بِمَوْتِ الْأُمِّ يُتْمُهَا وَالْآدَمِيُّ يُنْسَبُ إلَى أَبِيهِ فَكَانَ يُتْمُهُ بِمَوْتِ الْأَبِ، وَقَالَ ابْنُ أَبِي هُرَيْرَةَ فِي كِتَابِ الْحَجَرِ مِنْ تَعْلِيقِهِ الْيَتِيمُ مَنْ لَا أَبَ لَهُ وَلَا أُمَّ بِلَا خِلَافٍ وَكَذَلِكَ مَنْ لَا أَبَ لَهُ يَلْزَمُهُ اسْمُ الْيَتِيمِ قَوْلًا وَاحِدًا فَأَمَّا إذَا لَمْ يَكُنْ لَهُ أُمٌّ وَكَانَ لَهُ أَبٌ فَعَلَى وَجْهَيْنِ: أَحَدُهُمَا أَنَّهُ يَتِيمٌ وَهُوَ عَلَى الْقَوْلِ الَّذِي يَقُولُ: إنَّ الْأُمَّ تَلِي أَمْرَ ابْنِهَا. انْتَهَى
 

Artinya, "Menurut pendapat yang masyhur, yatim adalah anak kecil yang tidak memiliki ayah. Yatim pada manusia karena kematian ayah, sedangkan pada hewan karena kematian ibu. Al-Mawardi mengatakan hal tersebut karena hewan dinisbatkan kepada ibunya, sehingga dengan kematian ibu menjadi yatim, sedangkan manusia dinisbatkan kepada ayahnya, sehingga seseorang menjadi yatim dengan kematian ayahnya.
 

Ibnu Abi Hurairah dalam kitab Al-Hajru dalam ta'liqnya mengatakan bahwa yatim adalah siapa saja yang tidak memiliki ayah dan ibu tanpa ada perselisihan, begitu pula tidak memiliki ayah, ia tetap dinamakan yatim menurut satu pendapat. Adapun jika tidak memiliki ibu namun masih memiliki ayah, maka terdapat dua pendapat, salah satunya adalah bahwa ia tetap disebut yatim, berdasarkan pendapat yang mengatakan bahwa ibu bertanggung jawab atas urusan anaknya. (Badruddin Muhammad Az-Zarkasyi, Al-Mantsur fi Qawaidil Fiqhiyah, [Kementrian Wakaf Kuwait, cetakan kedua: 1980], juz III, halaman 368).
 

Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa pengertian yatim itu mencakup semuanya; baik ditinggal wafat ayah dan ibunya, ditinggal wafat ayahnya, dan anak yang ditinggal wafat ibunya. 
 

Selain itu, Imam As-Suyuti dalam kitab Jami'us Shaghir menyebutkan hadits dari Ibnu Asakir dari Ibnu Abbas yang menyatakan kesunahan mengusap kepala anak yatim seperti itu juga piatu. 
 

امسح رأس اليتيم هكذا، إلى مقدم رأسه، ومن له أب هكذا، إلى مؤخر رأسه 
 

Artinya, "Usaplah kepala anak yatim begini (dari arah belakang) ke bagian depan kepala. Dan untuk anak yang piatu (hanya punya ayah) usaplah begini (dari arah depan) ke arah belakang kepalanya".
 

Hadits ini menurut Al-Munawi dalam kitab Faidhul Qadir  menunjukkan atas kesunahan untuk mengusap kepala anak yatim dan juga anak piatu. Al-Munawi juga menyebutkan hadits dari Al-Bazzar dari Ibnu Abbas sebagai berikut:  
 

 أنه وضع كفه على مقدم رأس اليتيم مما يلي جبهته ثم أصعدها إلى وسط رأسه ثم أحدرها إلى مقدم أوائل جبهته ومن كان له أب وضع كفه على مقدم رأسه مما يلي جبهته ثم أصعدها إلى وسط رأسه
 

Artinya, "Bahwa dia (Ibnu Abbas) meletakkan telapak tangannya di bagian depan kepala anak yatim di dekat dahinya, kemudian mengarahkannya ke tengah kepalanya, lalu menurunkannya ke bagian depan awal dahinya.
 

Jika seseorang masih memiliki ayah, dia meletakkan telapak tangannya di bagian depan kepala orang itu di dekat dahinya, kemudian mengarahkannya ke tengah kepalanya." (Zainuddin Muhammad Al-Munawi, Faidhul Qadir, [Mesir: Maktabah At-Tijariyah, 1358 H), juz II, halaman 194). 
 

Simpulan

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan, anak yang ditinggal wafat ibunya atau piatu dalam satu pendapat dapat disebut sebagai yatim. Selain itu, hadits di atas juga menjelaskan bahwa piatu juga masuk dalam kategori anak yang sunah untuk diusap kepalanya. 
 

Dengan demikian, memasukan anak yang ditinggal ibunya atau piatu ke dalam kategori anak yatim untuk juga mendapatkan santunan sebagaimana berlaku di sebagian masyarakat dapat dibenarkan dan insyallah tetap mendapatkan pahala dan keutamaan pahala menyantuni anak yatim di bulan Muharram.
 

Jikapun tidak, ia tetap mendapatkan keutamaan pahala berbuat baik dan dermawan kepada orang lain. Wallahu a'lam.
 

Ustadz Muhamad Hanif Rahman, khadim Ma'had Aly Al-Iman Bulus dan Pengurus LBM NU Purworejo