Plafon Belanja Penduduk Terjangkit Covid-19 dalam Kajian Fiqih
Ahad, 29 Maret 2020 | 06:25 WIB
Problem yang mengemuka dalam masalah fiqih terkait wabah penyakit di sebuah daerah adalah plafon belanja masyarakat. (Ilustrasi: reuters)
Ahmad Muntaha AM
Kolomnis
Dalam kasus yang hampir mirip, permasalahan seperti ini pernah terjadi dan dibahas oleh para ahli fiqih.
Menurut ulama Syafi'iyah, orang yang tinggal di daerah wabah tha'un meskipun sehat dan tidak terjangkit hukumnya sama dengan orang yang sakit dan dikhawatirkan meninggal. Sebab wabah Tha'un merupakan penyakit ganas yang mengancam keselamatan jiwa.
Dalam hal ini Imam Ibnu Hajar Al-Haitami memfatwakan:
ﻭﺍﻟﻄﺎﻋﻮﻥ ﻣﻦ ﺍﻟﺄﻣﺮﺍﺽ ﺍﻟﻤﺨﻮﻓﺔ ﻋﻨﺪﻧﺎ ﺑﻞ ﺃﻫﻞ ﻣﺤﻠﺘﻪ ﻛﻠﻬﻢ ﻓﻲ ﺣﻜﻢ ﺍﻟﻤﺮﻳﺾ ﻣﺮﺿﺎ ﻣﺨﻮﻓﺎ ﻓﻠﺎ ﻳﻨﻔﺬ ﺗﺒﺮﻋﻬﻢ ﻓﻲ ﺯﻣﻨﻪ ﺇﻟﺎ ﻣﻦ ﺍﻟﺜﻠﺚ, ﻭﻟﻮ ﻣﻤﻦ ﻟﻢ ﻳﺼﺒﻪ.
Artinya, “Tha'un termasuk penyakit yang mengancam keselamatan jiwa menurut kalangan kita ulama Syafi'iyah. Bahkan semua penduduk daerah terjangkit dihukumi dengan hukum orang sakit yang sudah dikhawatirkan kematiannya. Karenanya sumbangan harta mereka pada masa wabah tha'un hukumnya tidak sah kecuali dari sepertiga hartanya, meskipun penyumbang termasuk orang sehat yang tidak terjangkit." (Ibnu Hajar Al-Haitami, Al-Fatawa Al-Fiqhiyyah Al-Kubra, [Beirut: Darul Fikr, tanpa tahun], juz IV, halaman 28).
Demikian pula orang yang pergi dari daerah wabah tha'un ke daerah lain yang tidak terjangkit, maka ia tetap dihukumi dengan hukum orang daerah asal. Sebab mungkin saja wabah thaun telah menjangkitinya.
Imam Az-Zarkasyi menegaskan:
الثاني الواردون من بلد الطاعون إلى بلد ليس بها، والظاهر أن حكمهم حكم البلد الذي انتقلوا عنه. لأنهم بصدد أن يقع بهم ذلك لما قد علق بأجسادهم منه كما شاهدنا ذلك كثيرا. فيحسب تبرعه من الثلث إذا حصل الموت بذلك الداء بعد التبرع.
Artinya "Permasalah kedua, orang-orang yang datang dari daerah terjangkit wabah tha’un ke daerah lain yang tidak terjangkit, jelasnya hukum mereka sama dengan hukum daerah asal yang ditinggalkannya. Sebab mereka bisa jadi sedang terjangkit wabah thaun itu, karena penyebabnya sudah terbawa (menempel) pada tubuh mereka, sebagaimana sering sekali kita saksikan. Sebab itu tabarru' atau sumbangan sukarela harta mereka diitung (tidak boleh lebih) dari sepertiganya, ketika ia kemudian mati karena wabah tersebut setelah mengeluarkan sumbangan," (Al-Haitami, Al-Fatawa, juz IV, halaman 14).
Nah, sekarang tinggal dinilai, apakah pandemi Sars-Cov-2 dapat diidentikan dengan wabah tha'un seperti yang disinggung oleh Imam Az-Zarkasyi dan Imam Ibnu Hajar Al-Haitami atau tidak.
Melihat penyebarannya yang sangat cepat, luas, dan mengakibatkan angka mortalitas atau kematian yang sangat tinggi, layak kiranya bila pandemi Sars-Cov-2 diidentikkan dengan wabah tha’un sehingga hukum pembelanjaan harta secara cuma-cuma orang daerah terjangkit tidak boleh lebih dari sepertiga dari total hartanya.
Ustadz Ahmad Muntaha AM, Sekretaris Lembaga Bahtsul Masail PWNU Jawa Timur.
Terpopuler
1
PBNU Tunjuk Ali Masykur Musa Jadi Ketua Pelaksana Kongres JATMAN 2024
2
Ulama Sufi Dunia Syekh Muhammad Hisham Kabbani Wafat dalam Usia 79 Tahun
3
Ricuh Aksi Free West Papua, PWNU DIY Imbau Nahdliyin Tetap Tenang dan Tak Terprovokasi
4
GP Ansor DIY Angkat Penjual Es Teh Sunhaji Jadi Anggota Kehormatan Banser
5
Khutbah Jumat: Meraih Keselamatan Akhirat dengan Meninggalkan 6 Perkara
6
GP Ansor Jatim Ingin Berangkatkan Umrah Bapak Penjual Es Teh yang Viral dalam Pengajian Gus Miftah
Terkini
Lihat Semua