Syariah

Problem Sengketa Perumahan Syariah dalam Fiqih Muamalah

Ahad, 22 Desember 2019 | 15:15 WIB

Problem Sengketa Perumahan Syariah dalam Fiqih Muamalah

Peran dewan hisbah untuk negara adalah semua badan ekonomi negara yang berkaitan dengan bidangnya. Jika hal itu berkaitan dengan dana masyarakat, maka perbankan dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) adalah masuk unsur diwan hisbah itu.

Investasi properti dan perumahan syariah, dewasa ini menjadi salah satu bentuk tren primadona dalam pemberitaan. Namun, pesatnya peluang bisnis syariah ternyata tercoreng oleh kasus investasi perumahan syariah yang berhasil diungkap oleh Polda Metro Jaya. Masyarakat kalangan menengah menjadi bertanya, labelnya investasi memakai syariah, kok justru malah kasusnya berujung di kepolisian?

Yang dikhawatirkan adalah munculnya stigma negatif masyarakat terhadap syariah. Ini memang yang selama ini menjadi titik tekan dari kritik beberapa kalangan, agar jangan mudah menggunakan label syariah dalam skema bisnis dewasa ini.

Tapi label syariah ini adalah animo. Bagaimana mungkin suatu animo dibendung? Nanti dikira mematikan segala bentuk label syariah dan ujung-ujungnya dianggap penghinaan terhadap agama. Padahal, pengkritik ini bukan tidak tahu soal hukum fiqih muamalah, tapi justru kritik tersebut adalah sebagai bentuk kewaspadaan agar tidak disalahgunakan.

Kasus perumahan syariah sebagaimana yang mencuat akhir-akhir ini adalah salah satu buntut dari yang perlu diwaspadai itu. Untuk itu penting kiranya memperkenalkan konsep fiqih muamalah yang seharusnya dalam hal ini, bukan sekadar jual beli label.

Pertanyaan penting pertama adalah, mengapa kasus investasi perumahan syariah itu dapat bermasalah dari sisi hukum positif (hukum wadh’i) negara? Adanya kasus, sudah pasti menandakan bahwa ada unsur at-ta’addy (melampaui batas) di sana, dan unsur dharar (merugikan). Di mana letak ta’addinya dan dhararnya itu?

Pertama, akad investasi perumahan syariah merupakan akad yang tidak melalui tangan kedua sebagai fasilitator. Dalam investasi konvensional, fasilitator akad biasanya dipegang oleh perbankan. Sementara dalam investasi perumahan syariah, keterlibatan perbankan ini dinisbikan dengan alasan menghindari akad riba di dalamnya.

Mereka (para penggagas perumahan syariah) umumnya berpendapat bahwa setiap akad yang melibatkan perbankan adalah riba. Padahal, sejatinya, jika mereka tidak mau menggunakan bank konvensional, maka mereka dapat menggunakan bank syariah. Tapi, bank syariah sendiri mereka curigai juga telah menerapkan akad riba.

Dengan ketiadaan pihak perbankan sebagai fasilitator akad, hal ini menjadikan transaksi yang terjadi dan berlaku antara investor dan pihak developer perumahan tanpa pihak penanggung jawab keamanannya (kafil). Dalam dunia modern, segala bentuk aktivitas yang melibatkan uang masyarakat yang bernilai jutaan, atau bahkan milyaran, tanpa adanya pihak penjamin, sudah dapat dikategorikan sebagai tindakan ta’addy (melampaui batas), taqshir (sembrono atau gegabah) dan dharar (merugikan).

Adapun dalam negara hukum seperti di Indonesia ini, jangankan melakukan bisnis properti, untuk mendirikan rumah atau bangunan saja diperlukan IMB (Ijin Mendirikan Bangunan). Uang yang disimpan di perbankan saja ada Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) sebagai pihak penanggung jawab simpanan para nasabah, bahwa uang atau dana mereka sebagai yang dijamin oleh undang-undang dan dipastikan keamanannya. Artinya, jika suatu saat ada kasus yang melibatkan perbankan tempat menyimpan dana itu, dana nasabah tidak akan hilang, seiring ada pihak penanggung jawabnya. Entah bagaimana mereka akan bertindak, yang jelas selaku penjamin simpanan, mereka bertanggung jawab untuk mengembalikan dana itu. Kasus BLBI yang menimpa beberapa bank beberapa waktu yang lalu adalah contoh praktisnya. Dana nasabah tidak hilang, bukan?

Zaman sudah sedemikian maju begini kok masih ada kegiatan yang melibatkan perkumpulan banyak modal tanpa pihak penjaminnya? Ini adalah sebuah keanehan. Untuk itu, adalah benar bila kasus penyalahgunaan dana investor berujung pada kepolisian karena ada unsur ta’addy, taqshir, dan dharar dari pelaku usaha di atas.

Kedua, apakah keharusan penjaminan ini adalah syar’i? Imam Ahmad bin Hanbal suatu ketika menegaskan:

وقد نص الأمام أحمد رحمه الله على التنزه عن ربح مالم يدخل في ضمانه لدخوله في ربح ما لم يضمن

Artinya, “Sungguh Imam Ahmad rahimahullah telah menyatakan agar menjauhkan diri (cuci tangan) dari laba sesuatu yang tidak masuk di dalamnya suatu jaminan karena keterlibatannya dalam (larangan) mengambil keuntungan sesuatu yang tidak bisa dijamin,” (Ibnu Rajab Al-Hanbali, Jami’ul’Ulum wal Hikam, [Kairo, Darus Salam: 2004], cetakan ketiga, jilid I, halaman 301-302).

Mencermati pendapat ini, secara tidak langsung dapat ditangkap maksud dari hadits Rasulillah SAW, sebagaimana diungkap oleh Imam Ahmad di atas, yaitu:

1. Keterlibatan di dalam bisnis yang rawan dengan risiko penyelewengan karena tidak ada yang menjadi fasilitator dan penjamin, dilarang oleh syariat.

2. Setiap bisnis yang rawan risiko mutlak memerlukan adanya penjamin dana investor yang bertanggung jawab dalam mengurusi setiap transaksi dan penggunaannya.

3. Pendirian sebuah bisnis dengan modal besar dan melibatkan dana masyarakat, tanpa keberadaan penjamin (dhamin/kafil), justru menyalahi pembawa risalah Islam itu sendiri, yakni Nabi Muhammad SAW.

Ketiga, lantas siapakah dhamin yang terkuat di dalam syariat? Dhamin merupakan pihak pelaku dhamman. Dhaman adalah sebagai berikut:

هو التزام المكلف بأداء ما وجب على غيره من الحقوق المالية

Artinya, “Suatu akad yang mengikat seorang mukallaf untuk melaksanakan sesuatu yang menjadi kewajibannya terhadap orang lain dalam melaksanakan hak-hak yang berhubungan dengan harta.”

Dengan demikian, kewajiban seorang dhamin menjamin pelaksanaan kewajiban dua orang yang saling berakad itu sehingga hak masing-masing tidak ada yang terabaikan. Pengabaian salah satu hak termasuk kezaliman. Dalam tarikh, kewajiban untuk menjaga agar tidak terjadi kezaliman pada salah satu pihak yang bertransaksi adalah diwan hisbah wal mazhalim.
 
Peran dewan hisbah untuk negara adalah semua badan ekonomi negara yang berkaitan dengan bidangnya. Jika hal itu berkaitan dengan dana masyarakat, maka perbankan dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) adalah masuk unsur diwan hisbah itu. Sementara untuk kepentingan raddul mazhalim, jika hal itu berkaitan dengan dana masyarakat, maka ia diperankan oleh LPS selaku kepanjangan tangan dari pemerintah. Jika suatu aktivitas bisnis tidak melibatkan unsur pemerintah, maka yang bertindak selaku diwan mazhalim adalah kepolisian. Wallahu a’lam bis shawab.
 

Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah - Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur