Syariah

Saat Tak Bisa Menjawab, Lebih Tepat Mana: ‘Wallahu A’lam’ atau ‘Saya tidak tahu’?

Jum, 26 Mei 2023 | 07:00 WIB

Saat Tak Bisa Menjawab, Lebih Tepat Mana: ‘Wallahu A’lam’ atau ‘Saya tidak tahu’?

Saat Tak Bisa Menjawab, Lebih Tepat Mana: ‘Wallahu A’lam’ atau ‘Saya tidak tahu’?. (Foto: NU Online/Freepik)

Kita sering kali mendengar para ulama atau kiai-kiai pada saat selesai memberikan ceramah atau menutup kajian atau menutup tulisan, mereka menutupnya dengan kata ‘wallahu a’lam’ yang berarti ‘Allah adalah Dzat Yang Maha Paling Mengetahui’.


Kalimat itu menegaskan bahwa penyampai materi atau da’i, sepandai apapun dia, bahkan seorang pakar pun merasa bahwa materi yang ia sampaikan sangat memungkinkan ada kekeliruan baik ia sadari atau di luar kesadaran dia. Atau mungkin penyampai materi merasa jangan-jangan yang ia sampaikan tidak sesuai yang dikehendaki oleh Allah subhanahu wa ta’ala secara hakikat. Oleh karena itu, ia tetap menyandarkan perkataannya bahwa yang lebih tahu segalanya tetap Allah subhanahu wa ta’ala. Allah sendiri menyatakan bahwa setiap ada orang alim, pasti di atasnya ada yang lebih alim. 


وَفَوْقَ كُلِّ ذِى عِلْمٍ عَلِيمٌ


Artinya: “dan di atas tiap-tiap orang yang berpengetahuan itu ada lagi Yang Maha Mengetahui,” (QS. Yusuf: 76)


Semua manusia pasti punya keterbatasan pengetahuan, tak terkecuali seorang profesor. Seumpama profesor atau kiai tertentu mempunyai sebuah kepakaran, kepakarannya hanya lebih spesifik pada satu-dua bidang saja. Cukup aneh apabila ada orang yang bisa menjawab semua hal yang ditanyakan kepada dia. Ibnu Athaillah mengatakan: 


من علامة جهل السالك بطريق علم الظاهر أو الباطن أن يجيب عن كل ما يسأل عنه ويعبر عن كل ما شهد ويذكر كل ما علم لدلالته على أنه لم يكن بالله ولا لله بل لنفسه، اذ النفس مع العقل والتمييز. ومن طلب الحق بالعقل ضل وكان دليلا على جهله. اهـ


Artinya: “Di antara tanda kebodohan seorang salik (peniti jalan menuju Allah) baik ilmu lahir atau ilmu batin, yaitu menjawab tentang semua hal yang ditanyakan kepadanya, menceritakan semua hal yang pernah ia saksikan, mengungkapkan semua hal yang pernah ia ketahui. Justru orang yang seperti ini tidak menggantungkan semua hal kepada Allah dan tidak semata untuk Allah, namun dia mendedikasikan diri untuk pribadinya sendiri. Karena nafsu selalu ingin bersama dengan logika akal dan pembedaan hitam putih. Barangsiapa yang mencari kebenaran hanya dengan logika akal saja, pasti ia akan tersesat, dan hal itu menunjukkan atas kebodohannya,” (Al-Munawi, Faidhul Qadir Syarah al-Jamius Shaghir, [Beirut: Darul Ma’rifah, cet. 2], juz 4, hlm. 387)


Senada dengan itu, Abdullah bin Mas’ud mengatakan: 


إن الذي يفتي الناس في كل ما يستفتى لمجنون


Artinya: “Sesungguhnya orang yang memberikan fatwa pada semua permintaan fatwa apapun yang diajukan kepada dia, maka orang tersebut adalah orang gila,” (Sunan Ad-Darimi)


Lalu bagaimana adab menjawab yang lebih tepat jika ada orang bertanya tapi orang yang diberi pertanyaan tidak bisa menjawab. Apakah lebih baik menjawab ‘saya tidak tahu’, atau lebih utama menjawab ‘wallahu a’lam’ yang artinya ‘Allah Dzat Yang Paling Maha Tahu,’?


Abdullah bin Umar mengatakan, kalimat ‘saya tidak tahu’ itu sendiri merupakan sebuah ilmu tersendiri. Ia menyatakan: 


الْعِلْمُ ثلَاثَةٌ: كِتَابٌ نَاطِقٌ وَسُنَّةُ مَاضِيَةٌ وَلَا أدري


Artinya: “Ilmu itu ada 3: Al-Qur’an, hadits Nabi, dan ‘saya tidak tahu,” (Ismail Al-Ashbihani, At-Targhib wat-Tarhib, [Kairo: Darul Hadits, 1993], juz 3, hlm. 94)


Memang tidak mudah apabila ada orang yang sudah dikenal alim atau pakar, ketika ditanya sesuatu namun tidak bisa menjawab, kemudian sang pakar tersebut berani jujur dan tidak gengsi mengatakan ‘saya tidak tahu’. Oleh karena itu, Ibnu Umar menyebutkan bahwa bilang ‘saya tidak tahu’ merupakan sebuah ilmu tersendiri. 


Pendapat senada juga disampaikan oleh sepupu Rasulullah, Ibnu Abbas. Menurut cerita Imam Ghazali yang menyampaikan ini bukan Ibnu Abbas, tapi Ibnu Mas’ud. Dalam kitab Ihya’ Ulumiddin Imam Ghazali mengutip:


جنة العالم لا ادري 


Artinya: “Perisai orang yang berilmu adalah mengatakan ‘aku tidak tahu’,” (Al-Ghazali, Ihya’ Ulumiddin, [Semarang, Karya Toha Putra, tt], juz 1, hlm. 69) 


Imam Nawawi dalam Syarah Muhadzab menyebutkan, orang alim yang berani menyatakan ‘saya tidak tahu’ itu tidak sampai merendahkan martabatnya. Hal itu justru menunjukkan ketinggian derajatnya, ketakwaannya kepada Allah dan pengetahuannya yang paripurna. Seorang pakar tidak akan hilang kepakarannya karena dia tidak menguasai beberapa sudut ilmu. Justru dengan ia menyatakan ‘saya tidak tahu’, ia tidak sembrono dalam menyampaikan fatwa atau jawaban yang diminta kepadanya. 


Sayyidina Ali mengaku hatinya sangat tenang. Pengakuannya ini diulangi sampai 3 kali. Lalu ada yang menanyakan apa sebabnya. Dijawab oleh Ali:


أن يسأل الرجل عما لا يعلم، فيقول: الله اعلم 


Artinya: “yaitu ketika ada seseorang yang ditanya tentang satu hal yang tidak ia ketahui, orang tersebut menjawabnya dengan jawaban: ‘Allahu a’lam’ (Habib Zein bin Ibrahim bin Sumaith, Al-Manhajus Sawi, [Hadramaut: Darul Fath, 2003], hlm. 201)


Ibnu Mas’ud menyatakan dalam sebuah hadits shahih:


يا أيها الناس، من عَلِم شيئا فَلْيَقُلْ به، ومن لم يَعْلَم، فَلْيَقُلْ: الله أعلم، فإن من العلم أن يقول لما لا يَعْلَم: الله أعلم. قال الله تعالى لنبيه صلى الله عليه وسلم : (قل ما أسألكم عليه من أجر وما أنا من المتكلفين)


Artinya: “Wahai masyarakat sekalian. Barangsiapa mengetahui tentang satu hal, sampaikanlah. Barangsiapa yang tidak tahu, ucapkan ‘Allahu a’lam’. Termasuk ilmu itu sendiri adalah ketika ada orang yang tidak tahu, ia lalu mengatakan ‘Allahu a’lam’. Allah ta’ala bersabda kepada Nabi-Nya ‘Katakanlah (hai Muhammad): "Aku tidak meminta upah sedikitpun padamu atas dakwahku dan bukanlah aku termasuk orang-orang yang mengada-adakan,’,” (HR. Bukhari) 


Habib Zein bin Sumaith mengutip Imam Nawawi:


من علم العالم ان يقول فيما لا يعلم: لا أعلم، أو: الله أعلم 


Artinya: “Di antara ilmunya orang alim itu saat ia menjawab pertanyaan yang tidak ia kuasai, ia mengatakan ‘saya tidak tahu’ atau ‘Allahu a’lam’,” (Habib Zein bin Ibrahim bin Sumaith, Al-Manhajus Sawi, [Hadramaut: Darul Fath, 2003], hlm. 201)


Dengan demikian, Tidak ada perbedaan mana yang lebih unggul dan mana yang kalah unggul antara mengatakan ‘saya tidak tahu’ atau ‘Allahu a’lam’. Jika yang disampaikan Ibnu Mas’ud dan Imam Nawawi baik dari Shahih Bukhari, Ihya’ Ulumiddin, Al-Manhajus Sawi, dan lain sebagainya tersebut dikomparasikan, kita dapat memilih di antara kedua kalimat tersebut. Wallahu a’lam


Ust Ahmad Mundzir, Pengajar di Pesantren Raudhatul Qur’an an-Nasimiyyah, Kota Semarang