Sebatas Mana Seseorang Dianggap Bertunangan Menurut Syariat?
Rabu, 1 Januari 2025 | 17:00 WIB
Bushiri
Kolomnis
Khitbah dalam Islam adalah proses lamaran, yaitu permintaan seorang laki-laki kepada seorang perempuan untuk menikah. Proses khitbah biasanya dilakukan sebelum pernikahan sebagai bentuk keseriusan seorang laki-laki untuk menjadikan perempuan tersebut sebagai pasangan hidup.
Dalam khitbah, pihak laki-laki dapat menyampaikan niatnya kepada pihak perempuan secara langsung atau melalui wali. Penjelasan tersebut sebagaimana disampaikan Syekh Ibnu Qasim dalam Fathul Qarib (Beirut, Dar Ibnu Hazm, 2005: 6229):
وهي التماس الخاطب من المخطوبة النكاح
Artinya, “Khitbah adalah permintaan laki-laki kepada perempuan untuk menikah.”
Dalam penyampaiannya, lamaran atau khitbah dapat dilakukan dengan ungkapan yang jelas dan ungkapan sindiran. Contoh ungkapan yang jelas seperti, “saya bermaksud melamar si fulanah” atau “saya ingin menikahi si fulanah”. Sementara ungkapan sindiran dalam khitbah seperti “bahagia sekali orang yang mendapatkan dirimu” atau “saya sedang mencari orang sepertimu”.
Hikmah dari adanya lamaran sendiri adalah agar kedua belah pihak saling mengenal lebih jauh. Di sana ada kesempatan untuk saling memahami perangai, tabiat, dan adat kebiasaan masing-masing, dengan tetap menjaga batas-batas yang diperbolehkan oleh syariat. Keterangan ini sebagaimana dijelaskan oleh Syekh Wahbah Zuhaili dalam al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu Jilid IX (Damaskus, Darul Fikr, t.t.: 492):
حكمة الخطبة: الخطبة كغيرها من مقدمات الزواج طريق لتعرُّف كل من الخاطبين على الآخر، إذ أنها السبيل إلى دراسة أخلاق الطرفين وطبائعهما وميولهما، ولكن بالقدر المسموح به شرعًا
Artinya, “Hikmah dari khitbah, sebagaimana tahap awal dalam pernikahan, merupakan jalan bagi kedua calon mempelai untuk saling mengenal satu sama lain. Melalui khitbah, masing-masing pihak dapat mempelajari karakter, sifat, dan kecenderungan pasangannya. Namun, interaksi dalam masa khitbah tetap dibatasi oleh syariat.”
Dalam tradisi masyarakat Islam, khitbah merupakan tahap penting sebelum pernikahan. Namun dalam praktiknya, sering muncul pertanyaan sebatas mana seorang dianggap bertunangan menurut syariat, apakah harus ada persetujuan wali perempuan atau cukup perempuannya saja?
Baca Juga
Hukum Menikah di Bulan-bulan Tertentu
Merujuk penjelasan Syekh Zakariya al-Anshari dalam Asnal Mathalib Jilid III (Beirut, Darul Kutub Islami, t.t.: 116), seorang dianggap bertunangan secara syariat apabila khitbah (komitmen menikah) telah diterima oleh orang yang berhak menerima. Sedangkan orang yang berhak menerima khitbah seorang laki-laki adalah sebagai berikut:
- Pihak wali, jika si wanita termasuk mujbarah, yaitu wanita yang bisa dipaksa menikah, dan orang yang melamar sepadan (kufu’).
- Si wanita disertai walinya jika si wanita berupa mujbarah namun orang yang melamar tidak sepadan.
- Cukup si wanita, bila berupa ghairu mujbarah, yaitu wanita yang tidak berhak dipaksa menikah, seperti seorang janda.
وَالْمُعْتَبَرُ) فِي التَّحْرِيمِ (إجَابَتُهَا) إنْ كَانَتْ غَيْرَ مُجْبَرَةً (أَوْ إجَابَةِ الْوَلِيِّ الْمُجْبَرَ) إنْ كَانَتْ مُجْبَرَةً أَوْ إجَابَتُهُمَا مَعًا إنْ كَانَ الْخَاطِبُ غَيْرَ كُفْءٍ
Artinya, “Dan yang dianggap haram adalah ketika si wanita menerima jika dia ghairu mujbarah, atau sang wali mujbir menerima jika si wanita mujbarah atau diterima oleh keduanya secara bersamaan jika yang melamar tidak sepadan.”
Perlu dipahami juga bahwa proses khitbah hanya sebuah komitmen atau janji untuk menikah, bukan pernikahan itu sendiri. Pernikahan hanya sah jika dilaksanakan melalui akad nikah yang memenuhi syarat dan rukunnya.
Oleh karena itu, pria yang melamar dan wanita yang dilamar tetap tidak memiliki status mahram. Mereka dilarang berduaan, saling memandang secara berlebihan, bergandengan tangan, atau melakukan hal lain yang tidak sesuai dengan syariat. Pengecualian hanya berlaku pada bagian yang diperbolehkan, yaitu wajah dan telapak tangan. Syekh Wahbah Zuhaili dalam al-Fiqhul Islami Jilid IX (hlm. 6493) menjelaskan:
الخطبة مجرد وعد بالزواج، وليست زواجاً ، فإن الزواج لا يتم إلا بانعقاد العقد المعروف، فيظل كل من الخاطبين أجنبياً عن الآخر، ولا يحل له الاطلاع إلا على المقدار المباح شرعاً وهو الوجه والكفان
Artinya, “Khitbah itu baru sekadar janji pernikahan. Bukan pernikahan. Sebab, pernikahan tak terlaksana kecuali dengan sahnya akad yang sudah maklum. Dengan begitu, laki-laki yang melamar dan perempuan yang dilamar statusnya masih orang lain. Tidak halal bagi si pelamar untuk melihat si perempuan kecuali bagian yang diperbolehkan syariat, yakni wajah dan kedua telapak tangan.”
Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa lamaran dalam tradisi Islam tidak hanya melibatkan ungkapan niat dan kesepakatan antara dua pihak, tetapi juga harus memperhatikan aturan syariat yang mengatur hak penerimaan lamaran berdasarkan status wanita tersebut.
Pemahaman yang tepat mengenai kedudukan wali dan wanita dalam proses ini menjadi penting untuk memastikan lamaran dilakukan sesuai tuntunan agama. Hal ini menunjukkan bahwa Islam memberikan perhatian besar terhadap keadilan dan kehormatan dalam setiap langkah menuju pernikahan, sehingga tercipta hubungan yang sakral dan penuh berkah. Wallahu a'lam.
Ustadz Bushiri, Pengajar di Pondok Pesantren Syaichona Moh. Cholil Bangkalan Madura
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Isra Mi’raj, Momen yang Tepat Mengenalkan Shalat Kepada Anak
2
Khutbah Jumat: Kejujuran, Kunci Keselamatan Dunia dan Akhirat
3
Khutbah Jumat: Rasulullah sebagai Teladan dalam Pendidikan
4
Khutbah Jumat: Pentingnya Berpikir Logis dalam Islam
5
Gus Baha Akan Hadiri Peringatan Isra Miraj di Masjid Istiqlal Jakarta pada 27 Januari 2025
6
Khutbah Jumat: Peringatan Al-Qur'an, Cemas Jika Tidak Wujudkan Generasi Emas
Terkini
Lihat Semua