Syariah

Series Bidaah: Benarkah Islam Membolehkan Ketaatan Mutlak pada Manusia?

NU Online  ·  Kamis, 1 Mei 2025 | 17:00 WIB

Series Bidaah: Benarkah Islam Membolehkan Ketaatan Mutlak pada Manusia?

Series Bidaah: ketaatan mutlak pada manusia (freepik)

Sejak dirilis, series Bidaah telah ditonton oleh jutaan penonton. Bahkan, series ini viral di dua negara; Malaysia dan Indonesia. Bukan tanpa sebab series ini viral. Kenapa sangat viral? Sebab topik yang diangkat berbau agama. Kita tahu setiap topik yang ada unsur agamanya sangat sensitif, apalagi bersangkutan dengan amaliah-amaliah yang memang sudah mengakar di Masyarakat.
 

Pemeran utama dari series Bidaah ini bernama Walid Muhammad Imam al-Mahdi (Fazal Husain), Baiduri (Riena Diana) dan Hambali (Fattah Amin). Pada akhir cerita, Baiduri dan Hambali bisa membongkar kesesatan sekte Jihad Ummah (sekte sesat Pimpinan Walid di series tersebut. Keduanya, Baiduri dan Hambali, merupakan sosok yang menyadari kesesatan ajaran sekte Jihad Ummah. 
 

Mula-mula, Baiduri, yang dikatakan dalam series ini lulusan dari Mesir, masuk sekte Jihad Ummah karena dipakasa sang Ibu, Ummi Kalsum (Fazlina), yang terlebih dahulu masuk. Sedangkan Hambali adalah anak dari Abi Saifullah (Hasnul Rahmat) yang merupakan tangan kanan dari Walid. Hambali baru datang dari rihlah ilmiahnya, dari Yaman. Oleh sebab latar belakang pendidikan tinggi, setelah menyaksikaan amaliah-amaliah sekte Jihad Ummah, Baiduri dan Hambali menyadari bahwa sekte tersebut menyimpang dari ajaran Islam.
 

Salah satu ajaran yang selalu didengungkan dan didoktrinkan dalam series ini adalah ketaatan mutlak kepada pimpinan, Walid Muhammad Imam Al-Mahdi. Ibu Baiduri, Ummi Kalsum, adalah salah satu korban dari ajaran kepatuhan mutlak sekte ini. Dia tidak patuh dan bahkan rela bercerai dengan sang suami dengan dalih belajar agama di dalam sekte tersebut. Dengan alasan menyelamtakan Ibunya inilah Baiduri akhirnya memutuskan untuk mengikuti Ibunya tinggal di asrama Jihad Ummah.
 

Melihat ajaran doktrin ketaatan mutlak dalam sektse Jihad Ummah ini, bagaimana Islam memandang? Apakah ketaatan mutlak kepada manusia dibenarkan? Selain itu, apakah tidak mematuhi suami atas dalih belajar agama diperbolehkan, seperti yang dilakukan Ibu Baiduri? 
 

Konsep Ketaatan dalam Perspektif Islam

Dalam perspektif Islam, secara garis besar, konsep ketaatan memakai dalil Al-Quran surat an-Nisa' ayat 59. Allah ﷻ berfirman: 
 

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَطِيْعُوا اللّٰهَ وَاَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَاُولِى الْاَمْرِ مِنْكُمْۚ
 

Artinya: "Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nabi Muhammad) serta ululamri (pemegang kekuasaan) di antara kamu." (QS An-Nisa': 59).
 

Ayat inilah yang dijadikan dalil utama ketaatan, baik ketaatan yang bersifat horizontal atau vertikal, ketaatan kepada Tuhan atau makhluk Tuhan—dalam konteks ini Rasulullah ﷺ dan ulil amri
 

Dari teks ayat inilah muncul pertanyaan-pertanyaan soal ketaatan, yang oleh para ulama berusaha dijawab dengan penafsiran atau sudut pandang yang berbeda. Seperti, apakah konsep ketaatan ini mutlak? Kalau memang mutlak, apakah berlaku kepada semuanya, Tuhan, Rasul, dan ulil amri. Siapa yang dimaksud ulil amri dalam ayat tersebut? Juga pertanyaan ketaatan lainnya. 
 

Baik, mari kita mulia dengan pertanyaan yang terakhir, siapa yang dimaksud dengan ulil amri. Sebab, pertanyaan tersebut sangat erat kaitannya dengan pembahasan kita. 
 

Imam Al-Baghawi menjawab bahwa dalam konteks ini terdapat beberapa penafsiran. Imam Ibnu Abbas dan Imam Jabir mengatakan bahwa ulil amri adalah para fuqaha dan ulama yang senantiasa mengajar ilmu agama kepada masyarakat. Sedangkan, Abu Hurairah menyatakan, ulil amri adalah pemerintah. Lebih jelasnya, mari perhatikan redaksi berikut. 
 

اختلفوا في وَأُولِي الْأَمْرِ، قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ وَجَابِرٌ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ: هُمُ الْفُقَهَاءُ وَالْعُلَمَاءُ الَّذِينَ يُعَلِّمُونَ النَّاسَ مَعَالِمَ دِينِهِمْ، وَهُوَ قَوْلُ الْحَسَنِ وَالضَّحَّاكِ وَمُجَاهِدٍ، وَدَلِيلُهُ قَوْلِهِ تَعَالَى: وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلى أُولِي الْأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنْبِطُونَهُ مِنْهُمْ [النِّسَاءِ: 83] وَقَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ: هُمُ الْأُمَرَاءُ وَالْوُلَاةُ
 

Artinya: "Para Ulama berbeda pendapat dalam penafsiran redaksi ulil amri. Imam Ibnu Abbas dan Imam Jabir mengatakan, mereka adalah para Fuqaha dan para Ulama yang senantiasa mengajar ilmu agama kepada masyarakat. Sedangkan, Abu Hurairah menyatakan, ulil amri adalah para pemerintah." (Tafsirul Baghawi, [Maktabah Ihya-it Turats], juz I, halaman 650).
 

Dalam kitab Tafsirul Baghawi, juga dijelaskan jawaban pertanyaan, apakah konsep ketaatan ini mutlak? Jawabannya adalah mutlak. Namun, kemutlakan ini hanya kepada Tuhan dan Rasul-Nya. Adapun kepada ulil amri, tidak mutlak. Pertama, beliau mengutip hadits berikut: 
 

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ أَطَاعَنِي فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ، وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ عَصَى اللَّهَ، وَمَنْ يُطِعِ الْأَمِيرَ فَقَدْ أَطَاعَنِي، وَمَنْ يَعْصِ الْأَمِيرَ فَقَدْ عَصَانِي
 

Artinya: "Rasulullah ﷺ bersabda: Siapa saja yang taat kepadaku, ia sungguh telah taat kepada Allah. Dia yang bermaksiat kepadaku, sungguh telah bermaksiat kepada Allah. Dan siapa saja yang taat kepada amîr, dia sungguh telah taat kepadaku dan dia yag bermaksiat kepadanya, sungguh telah bermaksiat kepadaku." (HR Al-Baihaqi). 
 

Dari hadits ini, tersirat konsep ketaatan kepada Tuhan dan Rasul-Nya bersifat mutlak. Sedangkan ketidakmutlakan taat kepada ulil amri tersirat dalam hadits kedua berikut. 
 

عَنِ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ، مَا لَمْ يُؤْمَرْ بِمَعْصِيَةٍ، فَإِذَا أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلَا سَمْعَ وَلَا طَاعَةَ
 

Artinya: "Nabi ﷺ bersabda: mendengar dan ketaatan kepada seorang Muslim adalah dalam ruang lingkup yang disenang atau dibenci. Namun, ketaatan ini selama tidak dalam perintah kemaksiatan. Apabila dalam perintah kemaksiatan, konsep ketaatan tidak berlaku."  (Al-Baghawi, I/651).
 

Hadits ini yang menegaskan bahwa konsep ketaatan kepada ulil amri tidak mutlak, dibatasi. Batasnya adalah kemaksiatan. Sederhananya, selama perintah tersebut tidak berbenturan dengan syariat, maka ketaatan berlaku dan tidak berlaku jika berbenturan—dalam arti kemaksiatan. 
 

Syahdan, dari uraian di atas kita bisa kaitkan dengan ajaran ketaatan mutlak yang selalu didoktrinkan kepada jamaah Jihad Ummah dalam series Bidaah. Doktrin semacam ini sangat keliru. Sebab, ketaatan mutlak hanya kepada Tuhan Rasul-Nya. Sedangkan, kepada selainnya, sama sekali tidak mutlak. Sederhananya, Islam tidak membenarkan doktrin ketaatan ala Walid dan kawan-kawan. Sebab, akan mengakibatkan menabrak konsep ketaatan kepada manusia. 
 

Selain pertanyaan soal doktrin ini, mari kita telisik pertanyaan selanjutnya, yang menurut penulis menarik untuk dibahas. Bolehkah istri tidak taat suaminya dengan dalih belajar agama, seperti yang dilakukan oleh Ibu Ummi Kulsum yang tidak taat suaminya keluar rumah bertujuan belajar agama dalam sekte Jihad Ummah. 
 

Konsep Ketaatan Istri kepada Suami

Sejatinya, konsep ketaatan yang telah diuraikan, secara umum sudah bisa menjawab pertanyaan ini. Namun, supaya lebih jelas, mari kita bahas secara spesifik. Allah berfirman dalam Al-Qur'an surat An-Nisa' ayat 34.
 

 فَالصّٰلِحٰتُ قٰنِتٰتٌ حٰفِظٰتٌ لِّلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللّٰهُۗ 
 

Artinya: "Perempuan-perempuan saleh adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada karena Allah telah menjaga (mereka)." (QS An-Nisa': 34).
 

Ayat ini secara implisit menjelaskan kewajiban taat istri kepada suaminya. Sebagian kitab tafsir, misalnya yang termaktub dalam kitab Tafsirul Khazin, mengartikan lafal qanitatun dengan para perempuan yang taat kepada para suaminya. Al-Khazin menafsirkan sebagaimana berikut. 
 

فَالصَّالِحاتُ يعني المحسنات العاملات بالخير قانِتاتٌ أي مطيعات لأزواجهن وقيل مطيعات لله
 

Artinya: "Perempuan shalehah adalah mereka yang berbuat kebaikan-kebaikan, mereka yang taat kepada para suaminya. Ada juga yang mengatakan, mereka yang taat kepada Allah." (Tafsirul Khazin, [Beirut, Darul Kutub Al-'Ilmiyah: 1994], juz I, halaman 370). 
 

Penafsiran ini adalah penafsiran secara umum. Artinya, ketaatan istri kepada suaminya wajib. Namun, jika kita merujuk pada kitab-kitab fiqih, seperti dijelaskan oleh Syekh Nawawi di dalam kitab Mirqatu Su'udit Tasdiq, kewajiban ini hanya dalam ruang lingkup hubungan seksual.
 

Maksudnya, jika istri melakukan hal yang dapat mencegah berhubungan intim, seperti berpuasa sunah dan keluar rumah misalnya, kemudian sang suami melarangnya, maka dalam konteks ini istri wajib taat kepada suaminya. 
 

ويجب على الزوجة طاعته أي الزوج في نفسها في الوطء والاستمتاع إلا ما لا يحل كالوطء في حال الحيض والنفاس
 

Artinya, “Wajib bagi istri taat kepada suaminya dalam hal yang berkaitan dengan dirinya, yakni berhubungan intim dan bersenang-senang secara seksual (selain berjimak), kecuali dalam keadaan tidak halal, seperti bersetubuh dalam kondisi haid dan nifas.” (Mirqutu Su'udit Tasdiq, [Darul Kutub Al-Islamiyah: 2010], halaman 147 ).
 

Jadi, pada dasarnya konsep ketaatan istri kepada suaminya hanya dalam ruang lingkup yang telah disebutkan. Melihat dari pemaparan di muka, sikap ketidaktaatan Ibu Baiduri yang memaksa untuk keluar rumah, tidak dibenarkan karena dapat mengakibatkan sang suami tercegah untuk melakukan hubungan intim. Adapun dalih belajar agama, itu kewajiban sang suami. Jika suaminya tidak bisa mengajari, dia wajib mencarikannya. 
 

Walhasil, konsep ketaatan mutlak hanya berlaku kepada Tuhan dan Rasul-Nya, tidak berlaku kepada sesama manusia. Apalagi kepada manusia yang memerintah pada kemaksiatan. Sama sekali tidak ada kewajiban taat. Termasuk istri kepada suaminya jika diperintah kemaksiatan. Sebab itu, doktrin seperti yang terjadi dalam sekte Jihad Ummah, sangat tidak dibenarkan. Langkah Ibu Baiduri tidak patuh kepada suami dengan dalih belajar agama, juga tidak dibenarkan. Wallahu a'lam.
 

Syifaul Qulub Amin, Alumni PP Nurul Cholil dan Editor Website PCNU Bangkalan