Syariah

Islam Melarang Keras Aniaya dan Telantarkan Anak

Jum, 20 Oktober 2023 | 17:00 WIB

Islam Melarang Keras Aniaya dan Telantarkan Anak

Ilustrasi orang tua dengan anak-anaknya. (Foto: NU Online/Freepik)

Anak merupakan anugerah besar yang dititipkan Allah swt kepada orang tua. Anak menjadi penyejuk mata dan hati, serta menjadi perhiasan bagi orang tuanya. Di sisi lain, anak juga dapat menjadi ujian dan cobaan bagi orang tuanya. Terkait anugerah sekaligus cobaan pada anak, Allah swt pernah berfirman dalam Al-Kahfi ayat 46:

 

الْمَالُ وَالْبَنُونَ زِينَةُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَالْبَاقِيَاتُ الصَّالِحَاتُ   

 

Artinya, “Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan,” (QS. Al-Kahfi [18]: 46).

 

Sebagaimana normalnya kehidupan manusia, di antara cobaan bagi sebagian orang tua adalah ekonomi keluarga yang surut. Pada satu sisi, orang tua wajib memberi nafkah kepada anak-anaknya, di sisi lain anak-anak belum begitu mengerti apa yang sebenarnya mereka butuhkan dibanding yang mereka inginkan, sehingga seringkali jajannya melebihi kecukupan dan kebutuhan makannya.

 

Dalam hal ini tentunya orang tua lebih mengerti bagaimana memposisikan dirinya ketika menghadapi keinginan anak. Membentak dan memarahi anak bukanlah perbuatan yang dihalalkan dalam Islam. Terlebih lagi menyiksa anak secara fisik, tentu perbuatan tak senonoh tersebut dilarang keras, apapun kondisinya.

 

Pada anak, hendaknya orang tua menasihati mereka dengan lemah lembut dan kasih sayang. Al-Quran menceritakan teladan tentang mendidik anak dengan nasehat yang penuh kelembutan dan kasih sayang melalui kisah Luqman ketika menasihati anaknya. Jangan sampai karena kehadiran anak membuat orang tua merasa terbebani dan bahkan saling melempar tanggung jawab antara ayah dan ibu. Dalam surat Al-Baqarah ayat 233:

 

لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلَّا وُسْعَهَا ۚ لَا تُضَارَّ وَالِدَةٌ بِوَلَدِهَا وَلَا مَوْلُودٌ لَهُ بِوَلَدِهِ ۚ

 

Artinya, “Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah menderita karena anaknya.” (QS. Al-Baqarah : 233).

 

Mengenai ayat tersebut, Syekh Wahbah al-Zuhaili menjelaskan dalam al-Tafsir al-Munir:

 

لا تُضَارَّ والِدَةٌ بِوَلَدِها بسببه بأن تكره على إرضاعه إذا امتنعت. وَلا مَوْلُودٌ لَهُ بِوَلَدِهِ أي بسببه بأن يكلّف فوق طاقته.

 

Artinya, “Janganlah seorang ibu menderita sengsara sebab anaknya dengan memaksanya untuk menyusui anak apabila ia keberatan. Juga seorang ayah jangan menderita sengsara sebab anaknya, dengan membebaninya melebihi batas kemampuan.” (Syekh Wahbah al-Zuhaili, al-Tafsir al-Munir, [Beirut: Dar al-Fikr, 1418], jilid II, hal. 358).

 

Dengan demikian, maka hendaknya orang tua mempersiapkan dengan baik proses pengasuhan anak dengan memperbaiki karakter dan menanamkan jiwa kasih sayang dalam diri. Menahan rasa sabar juga merupakan hal yang penting ketika menjadi orang tua. Kehilangan kesabaran hingga marah dan memukul tidak sama sekali dibenarkan.

 

Dalam Islam, kebolehan memukul pada anak adalah hanya ketika memerintahkan mereka untuk shalat di saat umur 10 tahun, itu pun dengan pukulan yang sangat amat ringan sehingga tidak membuat sakit apalagi luka (dharb ghair mubarrah).

 

Adapun nafkah anak, maka sudah menjadi kewajiban seorang ayah untuk memberikan kebutuhan anak-anaknya. Sebuah perbuatan dosa apabila seorang ayah menelantarkan anak-anaknya dan tidak menafkahi dan mencukupi kebutuhan mereka. Rasulullah saw pernah bersabda:

 

كَفَى بِالْمَرْءِ إِثْمًا أَنْ يُضَيِّعَ مَنْ يَقُوتُ

 

Artinya, “Cukuplah dosa bagi seseorang dengan ia menyia-nyiakan orang yang ia tanggung.” (HR Abu Dawud dan al-Nasa’i dalam Sunan al-Kubra).

 

Dalam riwayat lain yang serupa, Imam Muslim meriwayatkan sebuah hadits:

 

كَفَى بِالْمَرْءِ إِثْمًا أَنْ يَحْبِسَ عَمَّنْ يَمْلِكُ قُوتَهُ

 

Artinya, “Cukuplah disebut berdosa orang-orang yang menahan [memberi] makan [pada] orang yang menjadi tanggungannya.” (HR. Muslim).

 

Hadits di atas secara lafaz mengandung larangan untuk menelantarkan seseorang yang menjadi tanggung jawab kita. Nafkah anak tentunya menjadi tanggung jawab orang tua, khususnya ayah. Menelantarkan anak merupakan perbuatan dosa apabila merujuk kepada hadits di atas.

 

Terkait hadits yang diriwayatkan Muslim, Ibnu Ruslan dalam penjelasannya mengkhususkan konteks hadits di atas pada sedekah tidak wajib yang diberikan seseorang kepada orang lain, sedangkan keluarganya membutuhkan harta tersebut. Ibnu Ruslan berkata:

 

والمراد أن يمنع من تلزمه نفقته من زوجة وولد ووالد ويعطي غيرهم ولو صدقة

 

Artinya, “Maksud ‘menahan’ dalam hadits tersebut adalah menahan [memberikan nafkah] pada orang-orang yang seharusnya ia nafkahi seperti isteri, anak, orang tua, sedang dirinya malah memberikan harta itu pada orang lain, meski bentuknya berupa sedekah.” (Ibnu Ruslan, Syarh Sunan Abi Dawud, [Mesir: Dar al-Falah, 2016], jilid VIII, hal. 108).

 

Al-Shan’ani dalam Subul al-Salam menyimpulkan bahwa kedua hadits di atas menunjukkan wajibnya memberi nafkah kepada seseorang yang menjadi tanggungannya. Menurutnya, dosa tidak memberi nafkah kepada mereka akan mengarahkannya pada kehancuran. 

 

Menurut al-Shan’ani, hadits riwayat Muslim ditujukan pada pemilik budak yang tidak mau memberi upah, sedangkan hadits riwayat al-Nasa’i bersifat umum, baik kewajiban nafkah pada keluarga, anak, bahkan hamba sahayanya. (Muhammad bin Isma’il al-Shan’ani, Subul al-Salam, [Maktabah Mushthafa al-Halabi], jilid III, hal. 222).

 

Masih terkait dengan nafkah seorang ayah kepada anak-anaknya, Imam Syafi’i pernah mengatakan:

 

فِي كِتَابِ الله وسنة رسوله عليه السلام بيان أن على الاب أن يقوم بالمنونة في إصلاح صغار ولده من رضاع ونفقة وكسوة وخدمة

 

Artinya: “Dalam Al-Quran dan hadits terdapat penjelasan bahwa merupakan kewajiban seorang ayah untuk berlaku baik dalam melayani kebutuhan anak-anaknya berupa pemberian ASI, nafkah, sandang dan pelayanan.” (Al-Nawawi, al-Majmu’ syarh Muhadzdzab, [Beirut: Dar al-Fikr], jilid 18, hal. 294).

 

Berdasarkan pendapat Imam Syafi’i di atas, al-Nawawi menyimpulkan kewajiban pemberian nafkah pada anak bagi seorang ayah. Menurutnya, landasan Imam Syafi’i berpendapat demikian adalah firman Allah ta’ala dalam Al-Quran surat al-Isra' Ayat 31:

 

وَلَا تَقْتُلُوا أَوْلَادَكُمْ خَشْيَةَ إِمْلَاقٍ ۖ نَحْنُ نَرْزُقُهُمْ وَإِيَّاكُمْ ۚ إِنَّ قَتْلَهُمْ كَانَ خِطْئًا كَبِيرًا

 

Artinya, “Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kamilah yang akan memberi rezeki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar.” (QS al-Isra: 31).

 

Dalam pandangan al-Nawawi, melalui ayat di atas, kewajiban menafkahi ada pada seorang ayah. Sehingga karena kewajiban tersebut lah akhirnya masyarakat jahiliyah merasa khawatir dan takut akan kemiskinan disebabkan hartanya harus dinafkahkan kepada anak-anak mereka. Akhirnya pun mereka melakukan pembunuhan kepada anak-anak. Wallahu a’lam.

 

Amien Nurhakim, Musyrif Darus-Sunnah International Institute for Hadith Sciences.