Tasawuf/Akhlak

Mengapa Abu Bakar Tak Menunjuk Anaknya Jadi Khalifah?

Jum, 20 Oktober 2023 | 12:00 WIB

Mengapa Abu Bakar Tak Menunjuk Anaknya Jadi Khalifah?

Ilustrasi Abu Bakar as-Shiddiq. (Foto: NU Online?

Persoalan terkait kepemimpinan pasca Rasulullah saw merupakan bahasan yang tidak pernah usang, sebab ia berkaitan dengan kompleksitas umat Islam, baik secara ideologis, otoritas politik serta implikasinya terhadap sejarah yang cukup mewarnai peradaban dunia Islam, bahkan hingga saat ini.

 

Di antara statement Rasulullah saw terkait kepemimpinan pasca beliau wafat adalah berdirinya kekhalifahan dengan metode nubuwah, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Dawud:

 

عَنْ سَفِينَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خِلَافَةُ النُّبُوَّةِ ثَلَاثُونَ سَنَةً ثُمَّ يُؤْتِي اللَّهُ الْمُلْكَ أَوْ مُلْكَهُ مَنْ يَشَاءُ 

 

Artinya: “Dari Safinah ia berkata, ‘Rasulullah saw bersabda, ‘Khilafah kenabian itu selama tiga puluh tahun, kemudian Allah memberikan kekuasaan-Nya kepada siapa yang ia kehendaki’.” (HR Abu Dawud).

 

Sabda Rasulullah saw terbukti dalam catatan sejarah. Abu Bakar mengemban khilafah 2 tahun 3 bulan 10 hari. Umar menjabat selama 10 tahun 6 bulan 8 hari. Utsman 11 tahun 11 bulan 9 hari. Ali memimpin khilafah selama 4 tahun 9 bulan 7 hari. Adapun selanjutnya dipimpin Hasan dan bertahan selama 6 bulan saja.

 

Apabila dihitung dari masa Abu Bakar hingga Ali kemudian Hasan, maka informasi terkait 30 tahun khilafah nubuwah yang bersumber dari riwayat tersebut akurat sebagaimana realita sejarah. Adapun kepemimpinan Hasan dinilai cukup rumit karena di akhir kepemimpinan Ali, umat Islam terbagi kepada beberapa faksi, di antara yang terbesar adalah faksi Mu’awiyah dan Ali yang diwariskan Hasan.

 

Pasca wafatnya Ali, Hasan dibaiat oleh warga Kufah. Di tengah kepemimpinannya, Mu’awiyah datang kepadanya untuk meminta kekhilafahan. Hasan pun akhirnya mengirim utusan dan menyerahkan kekhilafahan kepada Mu’awiyah dengan syarat setelah ia lengser kekhilafahan akan dikembalikan lagi kepadanya. 

 

Selain itu, Hasan juga mengecam segala macam tuntutan Mu’awiyah kepada warga Madinah, Hijaz, dan Irak sebagaimana yang dilakukannya pada masa Ali. Akibat peristiwa ini, Hasan dikecam oleh umat Islam karena dianggap menghinakan mereka dengan mudahnya memberikan kekuasaan kepada Mu’awiyah.

 

Di sisi lain, tindakan Hasan tersebut berasaskan kemaslahatan untuk mendamaikan kedua faksi, meski realitanya sulit. Hal tersebut pernah disebutkan oleh Nabi saw ketika di atas mimbar dan berbicara di hadapan para sahabat,

 

Dia [Hasan] akan mendamaikan dua golongan kaum muslimin yang sedang bertikai.”

 

Jika dicermati, dari keempat khalifah mulai Abu Bakar hingga Ali, hanya Ali sajalah yang kepemimpinannya dilanjutkan oleh anaknya, Hasan. Ketiga khalifah lainnya tidak sama sekali melibatkan anak-anak mereka dalam proses kelanjutan khilafah di akhir masa kepemimpinan mereka.

 

Abu Bakar sebagai khalifah pertama pasca wafatnya Nabi saw nyatanya memiliki beberapa anak laki-laki, yaitu: Abdurrahman, Abdullah, dan Muhammad. Anak laki-lakinya lahir dari beberapa isteri, di antaranya adalah Qatilah bin Abdul Uzza, Ummi Ruman binti Amir, Habibah binti Kharijah dan yang terakhir adalah Asma inti Umais.

 

Abdurrahman merupakan anak Abu Bakar yang berasal dari Ummu Ruman, ia tinggal di Madinah dan wafat di Mekkah pada masa pemerintahan Mu’awiyah tahun 53 H. Konon, ia merupakan anak Abu Bakar yang paling telaten.

 

Abdullah merupakan anak Abu Bakar dari isterinya yang bernama Qatilah binti al-Uzza. Ia memegang peran penting sebagai informan muslim yang menyelusup kepada kabilah Quraisy untuk mendapatkan informasi penting. Ia wafat pada tahun 11 H tidak lama pasca Nabi Muhammad saw wafat sebab luka lamanya ketika di Thaif kambuh.

 

Sedang yang terakhir adalah Muhammad bin Abu Bakar, lahir pada masa Nabi saw dan berasal dari isteri Abu Bakar yang bernama Asma binti Umais. Ia diasuh oleh Ali bin Abi Thalib. Di masa pemerintah Ali, ia diangkat menjadi gubernur Mesir dan jabatannya berlangsung lima bulan saja.

 

Melihat tahun wafatnya ketiga putra Abu Bakar, tampak bahwa hanya dua saja yang pada hakikatnya mungkin dapat meneruskan tampuk kepemimpinan Abu Bakar, yaitu Abdurrahman bin Abu Bakar dan Muhammad bin Abu Bakar.

 

Dari kedua anak tersebut, tampaknya Abu Bakar tidak berniat agar mereka menjadi penggantinya dan memegang tampuk kepemimpinan. Ia meminta saran dari sahabat-sahabat yang bijak mengenai Umar, dan yakin bahwa Umar lah satu-satunya sahabat yang cocok memimpin pasca wafatnya Abu Bakar.

 

Tentunya pada masa Abu Bakar menjabat sebagai khalifah hingga menjelang wafatnya masih banyak sahabat-sahabat senior yang masih hidup dan lebih berhak untuk memimpin umat Islam dibanding kedua putranya. Kala itu, sahabat yang diberi predikat sepuluh orang yang dipastikan masuk surga masih ada di tengah-tengah mereka. 

 

Di sisi lain, orang-orang terbaik dari kalangan Muhajirin dan Anshar pun masih hidup, sehingga Abu Bakar yang memiliki sifat kehati-hatian tinggi yang berkaitan dengan umat lebih memilih untuk mempertimbangkan sahabat senior yang terbaik di antara mereka.

 

Sebagaimana yang kita ketahui, Abu Bakar wafat pada 13 hijriah, yaitu dua tahun pasca wafatnya Nabi. Aura dan atmosfer kenabian kala itu masih sangatlah tinggi di tengah-tengah masyarakat. Gairah duniawi untuk mempertahankan kepemimpinan dinasti tidak mungkin dipraktikkan oleh orang semulia Abu Bakar.

 

Apabila kita merujuk kepada Tarikh Khulafa karya al-Suyuthi, kita mendapati di penghujung hayatnya, Abu Bakar tidak mewariskan kepada Aisyah kecuali bukit yang memuat 20 wasq, yang mesti dibagi kepada empat saudaranya. 

 

Abu Bakar sendiri, sebagaimana diceritakan oleh al-Suyuthi dalam Tarikh Khulafa, ketika merasakan ajal sudah mendekatinya, ia meminta pendapat para sahabatnya terkait dengan Umar. Sahabat yang pertama kali dimintai pendapatnya oleh Abu Bakar mengenai Umar adalah Abdurrahman bin Auf. Abu Bakar berkata kepadanya:

 

أخبرني عن عمر بن الخطاب

 

Artinya: “Katakan kepadaku, pendapatmu tentang ‘Umar,”

 

“Bukankah engkau menanyakan sesuatu yang sebenarnya engkau sendiri lebih mengetahui jawabannya dibanding aku.” Tegas Abdurrahman bin Auf.

 

Selanjutnya, Abu Bakar pun memanggil Utsman dan menanyakannya perihal Umar. 

 

“Di antara kami, engkaulah yang lebih mengetahuinya.” Ungkap Utsman bin Affan. 

 

Abu Bakar pun berkata:

 

 اللهم علمي به أن سريرته خير من علانيته و أنه ليس فينا مثله

 

Artinya: “Ya Allah, aku tahu tentang isi hatinya jauh lebih baik dari pada tampilan lahiriahnya, dan bahwa tidak ada seorang pun di antara kami yang seperti dia.”

 

Selain meminta pendapat, Abu Bakar juga mengajak Sa’id bin Zaid, Usaid bin al-Hudhair dan sahabat lainnya dari kalangan Muhajirin dan Anshar mengenai keputusannya untuk memilih Umar sebagai khalifah selanjutnya. Dalam proses musyawarah, Usaid mengomentari pendapat Abu Bakar; “Tidak ada seorang pun yang akan memegang tampuk kepemimpinan (khilafah) yang lebih mampu darinya.”

 

Penunjukkan Abu Bakar terhadap kepemimpinan Umar dituliskan melalui wasiatnya yang ditulis oleh Utsman. Menjelang wafatnya, Abu Bakar berkata kepada orang-orang bahwa dirinya telah menunjuk seorang pengganti dan menanyakan apakah kaum muslimin rela dengan keputusannya. Sontak mereka pun menjawab sepakat dan setuju. 

 

Ali yang hadir kala itu berdiri dan berkata; “Kami tidak rela! Kecuali yang engkau tunjuk sebagai pengganti adalah Umar!” 

 

Abu Bakar menegaskan; “Ya, dia adalah Umar.”

 

Berdasarkan penjelasan di atas menutup segala kemungkinan Abu Bakar mempersiapkan anaknya untuk melanjutkan tampuk kepemimpinan menggantikan posisinya. Kompetensi berupa ketakwaan, kemampuan memimpin, ketegasan serta kewiraan yang ada dalam diri Umar membuat Abu Bakar yakin akan penunjukkannya sebagai khalifah setelahnya. Selain itu, pertimbangan dan musyawarah akan kompetensi seorang pemimpin juga dilakukan oleh Abu Bakar untuk mengetahui validitas kompetensi Umar dalam kapasitasnya menjadi pemimpin.

 

Amien Nurhakim, Musyrif Darus-Sunnah International Institute for Hadith Sciences.