Syariah

Ucapkan Basmalah atau Salam Dulu sebelum Berbicara?

Jum, 19 Agustus 2022 | 13:30 WIB

Ucapkan Basmalah atau Salam Dulu sebelum Berbicara?

Mengucapkan basmalah dan salam sama-sama dianjurkan dalam Islam. Mana yang sebaiknya didahulukan sebelum berbicara di depan publik?

Di antara para penceramah atau tokoh, atau siapa saja dari kaum Muslimin yang biasa berbicara di depan publik seperti ustadz, kiai, atau pejabat, tidak ada keseragaman dalam membaca salam sebelum memulai ceramah atau pidato sambutannya. Sebagian dari mereka memulai bacaan salamnya dengan ucapan basmalah terlebih dahulu. Sebagian yang lain membaca salam terlebih dahulu baru kemudian basmalah. Perbedaan ini memunculkan pertanyaan praktik manakah yang sejalan dengan tradisi di kalangan ulama Nahdliyin. 


Sejauh ini memang ada dua praktik berbeda mengenai ucapan basmalah dan salam ini dalam hubungannya dengan berbicara atau berceramah. Praktik pertama menegaskan bahwa pembicaraan atau ceramah dimulai dengan mengucapkan basmalah terlebih dahulu dan baru kemudian salam. Artinya bacaan basmalah didahulukan daripada salam. Praktik kedua menegaskan bahwa ucapan salam tidak didahului dengan basmalah tetapi sebaliknya. 


Mereka yang mempraktikkan basmalah diucapkan terlebih dahulu sebelum salam bisa jadi mendasarkan argumentasinya pada sebuah hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai berikut:


كُلُّ أَمْرٍ ذِي بَالٍ لاَ يُبْدَأُ فِيهِ بـ{بسم الله الرحمن الرَّحِيمِ} أَقْطَعُ


Artinya: “Setiap perkara yang mengandung kemuliaan yang tidak dimulai dengan mengucapkan bismillâhir raḫmânirraḫîm itu terputus berkahnya. (HR. Ahmad).  


Setelah membaca basmalah mereka kemudian mengucapkan salam “Assalamu-alaikum” sebelum memulai pembicaraan atau ceramahnya. Hal ini bisa kita saksikan di platfrom YouTube sebagaimana dipraktikkan oleh Prof Muhammad Quraish Shihab dan Buya Yahya.


Keduanya biasa mengucapkan basmalah terlebih dahulu baru kemudian mengucapkan salam. Setelah mengucapkan salam baru kemudian memulai ceramahnya. Praktik salam diucapkan terlebih dahulu baru kemudian ceramah ini sejalan dengan hadits Rasulullah sebagai berikut: 


السلام قبل الكلام


Artinya: “Ucapkan salam sebelum berbicara” (HR At-Tirmidzi).


Jadi kedua ulama tersebut memadukan kedua hadits di atas dengan pemahaman bahwa berbicara atau ceramah merupakan perbuatan mulia yang sebaiknya dimulai dengan ucapan basmalah. Dalam hal ini keduanya mungkin memandang salam sebagai bagian integral ceramah sehingga ucapan basmalah didahulukan daripada salam. 


Berbeda dari Prof. Quraish Shihab dan Buya Yahya, KH Ma’ruf Amin (mantan Rais ‘Aam PBNU), KH Miftachul Akhyar (Rais ‘Aam PBNU sekarang) mengucapkan salam terlebih dahulu baru kemudian mengucapkan basmalah sebelum memulai pidato sambutan atau ceramahnya. Praktik seperti ini sebagaimana dapat kita saksikan dalam beberapa video di platform YouTube. 


Praktik yang berbeda di antara para ulama tersebut tentu memiliki argumentasi masing-masing. KH Ma’ruf Amin dan KH Miftachul Akhyar sebelum memulai pidato sambutan atau ceramahnya mengucapkan salam terlebih dahulu karena bisa jadi merujuk pada pendapat Imam Nawawi bahwa tidak disunnahkan membaca apa pun sebelum ucapan salam. Hal ini sebagaimana dapat ditemukan dalam kitab al-Adzkar sebagai berikut:


السنة أن المسلم يبدأ بالسلام قبل كل كلام لأنه تحية يبدأ به فيفوت بالإفتتاح بالكلام كتحية المسجد


Artinya: “Sunnah hukumnya orang Islam memulai dengan mengucapkan salam sebelum berbicara sebab salam merupakan penghormatan yang dilakukan di permulaan. Kesunnahan itu bisa hilang jika sudah dimulai dengan bicara terlebih dahulu, seperti shalat tahiyatul masjid.” (lihat al- Imam Nawawi ad-Dimasyqi, Al-Adzkar an-Nawawiyah, (Riyadh, Dar ibn Khuzaimah: 2002), Cetakan I, Hal. 457. 


Jadi menurut Imam Nawawi suatu pembicaraan atau ceramah sebaiknya dimulai dengan salam terlebih dahulu sebagaimana hadits Rasulullah yang berbunyi: “Ucapkan salam sebelum berbicara.” (HR At-Tirmidzi). Praktik ini hukumnya sunnah dan akan hilang kesunnahannya apabila sebelumnya sudah mengucapkan sesuatu. Imam Nawawi menganalogikan hal ini dengan shalat tahiyatul masjid yang sebaiknya dilakukan sebelum seseorang melakukan apa pun di dalam masjid. 
  
Oleh karena itu praktik yang dilakukan oleh KH Ma’ruf Amin dan KH Miftachul Akhyar adalah setelah salam disusul dengan basmalah. Setelah itu baru mulai berbicara atau berceramah. Praktik semacam ini, sekali lagi, berbeda dengan apa yang dipraktikkan oleh Prof. Muhammad Quraish Shihab dan Buya Yahya sebagaimana disebutkan di atas. 


Letak perbedaannya adalah dalam menempatkan basmalah sebelum salam. KH Ma’ruf Amin dan KH Miftachul Akhyar mengucapkan salam di awal dan baru kemudian basmalah bisa jadi untuk meghindari hilangnya kesunnahan membaca salam karena sudah didahului basmalah. 


Sedangkan Prof. Muhammad Quraish Shihab dan Buya Yahya mendahulukan basmalah daripada salam bisa jadi karena keduanya memandang bahwa salam merupakan bagian integral dari pidato atau ceramah yang secara keseluruhan merupakan perbuatan mulia sehingga didahului dengan basmalah.


Namun terlepas dari apakah salam bisa dianggap merupakan bagian integral dari pembicaraan atau ceramah, hal yang pasti adalah bahwa tidak setiap perbuatan mulia sebaiknya dimulai dengan basmalah sebab hadits terkait hal ini harus dipahami secara kontekstual. Sebagai contoh adalah kita sebaiknya tidak mengucapkan basmalah sebelum berdzikir melafalkan  "لا إله إلا الله" (la ilaha illallah) meskipun dzikir merupakan perbuatan mulia. Juga kita tidak disunnahkan mengucapkan basmalah ketika memulai shalat sebab ibadah ini harus dimulai dengan takbiratul ihram sebagai rukun.


Hal tersebut merujuk pada pada apa yang ditulis Syekh Ibrahim Al-Baijuri dalam sebuah kitabnya sebagai berikut:


ويشترط ان لايكون ذلك الامر ذكرا محضا بان لم يكن ذكرا أصلا أو كان ذكرا غير محض كالقرآن فتسن التسمية فيه بخلاف الذكر المحض كلا إله إلا الله. وان لا يجعل له الشارع مبدأ غير البسملة والحمدلة كالصلاة فإنه جعل لها مبدئ غير البسملة والحمدلة وهو التكبير 

Artinya: “Dan disyaratkan perkara tersebut (perbuatan mulia-pen) bukan berupa dzikir murni seperti bacaan Al-Qur`an karena secara asalnya bukan berbentuk dzikir, atau berbentuk dzikir tetapi tidak murni, ‎maka disunnahkan membaca basmalah; berbeda halnya dengan dzikir murni seperti kalimat : "لا إله إلا الله", maka tidak disunnahkan diawali dengan basmalah. Dan (disyaratkan juga) bukan berupa hal yang oleh syara’ ‎ditetapkan keberadaannya diawali dengan selain basmalah dan hamdalah, seperti shalat yang telah ‎dijadikan permulaannya bukan basmalah dan hamdalah, yakni Takbir”.‎ (Syekh Ibrahim Al-Baijuri, Hasyiyah al-Syaikh Ibrahim Al-Baijuri, [Bairut, Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah:1971], juz I, hal. 19).


Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa ada dua praktik yang berkembang di masyarakat terkait dengan salam dan basmalah dalam hubungannya dengan ceramah. Praktik pertama adalah mengucapkan basmalah terlebih dahulu lalu salam dan kemudian memulai pembicaraan atau ceramah. Praktik kedua adalah mengucapkan salam dulu lalu basmalah (atau hamdalah sebagaimana dipraktikkan Habib Luthfi bin Yahya dan KH Ahmad Mustofa Bisri atau Gus Mus) baru kemudian berbicara. Dalam kaitan ini, penulis terbiasa sebelum berbicara mengucapkan salam terlebih dahulu daripada basmalah atau hamdalah sebab hal seperti ini sudah menjadi tradisi di kalangan kiai-kiai Nahdlatul Ulama (NU) sebagaimana dijelaskan oleh KH. Haris Shodaqoh, mushahih Lembaga Bahtsul Masail PCNU Kota Semarang Jawa Tengah beberapa waktu lalu. Wallahu a'lam.

 

Muhammad Ishom, dosen Fakuktas Agama Islam Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Surakarta