Syariah

Zakat Uang Kertas dalam Logika Fiqih

Selasa, 4 Februari 2025 | 11:30 WIB

Zakat Uang Kertas dalam Logika Fiqih

Ilustrasi zakat uang kertas. Sumber: Canva/NU Online.

Zakat uang kertas muncul seiring dengan dinamika dan kompleksitas manusia dalam penggunaan uang. Zakat uang kertas menjadi diskusi di lingkungan ulama di tengah keumuman penggunaan uang kertas (bahkan, sekarang muncul uang digital) sebagai “pengganti” penggunaan uang emas dan perak sebagai alat tukar.


Untuk sebagian ulama (terutama ulama fiqih klasik), uang emas atau perak (apalagi uang kertas) tidak termasuk ke dalam harta yang terkena kewajiban zakat dalam Islam. Pasalnya, harta yang wajib dizakatkan dalam Islam hanya lima, yaitu hewan ternak, emas dan perak, hasil pertanian, buah anggur dan kurma, dan hasil perniagaan.


Bagi ulama klasik, sejauh dinar dan dirham dipahami sebagai alat tukar, uang emas dan uang perak tidak terkena kewajiban zakat. Lain soal jika dinar dan dirham itu diperdagangkan sebagai komoditas, maka uang emas dan uang perak tersebut terkena kewajiban zakat hasil perniagaan.


Lalu bagaimana dengan uang kertas?


Zakat uang kertas secara implisit pernah dibahas dalam Muktamar Ke-3 NU pada tahun 1928 di Surabaya tentang “Hukum Membeli Dinar Emas dengan Harga Rupiah/Uang Kertas,” (Ahkamul Fuqaha: Solusi Problematika Aktual Hukum Islam, LTN PBNU-Khalista, Surabaya, 2011: 54).

 

Selain itu, secara eksplisit tema tersebut juga dibahas dalam Muktamar Ke-4 NU pada tahun 1929 di Semarang tentang “Hukum Uang Kertas Dipergunakan untuk Zakat Uang Kertas,” (Ahkamul Fuqaha, 2011: 65-67).


Pada Muktamar Ke-4, NU memutuskan bahwa uang kertas tidak diperbolehkan untuk menjadi uang zakat. Meski status uang kertas dapat ditafsirkan secara ganda (sebagai alat tukar atau komoditas), putusan NU ketika itu memandang uang kertas sebagai alat tukar dan bukan komoditas sehingga tidak wajib dizakati.


Pada Muktamar Ke-4, NU mengutip antara lain Syamsul Isyraq fi Hukmit Ta'amul bil Arwaq karya Muhammad Ali al-Maliki.


إِذَا عَلِمْتَ هَذَا كُلَّهُ أَنَّ الإِحْتِمَالَ الثَّانِي فِي وَرَقِ النَّوْطِ أَغْنِي احْتِمَالَ كَوْنِهِ كَالْقُلُوسِ هُوَ الاحْتِمَالُ الرَّاجِعُ وَالْأَحْوَطُ فِي الاحْتِمَالَيْنِ الْمَذْكُورَيْنِ فِيْهِ لِقُوَّةِ دَلِيْلِهِ أَمَّا أَوَّلاً فَلِأَنَّهُ إِمَّا قِيَاسٌ بِجَامِعٍ أَوْ تَخْرِيجُ عَلَى قَاعِدَةٍ تَشْمَلُهُ كَغَيْرِهِ وَتِلْكَ الْقَاعِدَةُ هِيَ كُلُّ عَرَضٍ جَرَى بَيْنَ النَّاسِ تَجْرَى الْعَيْنِ يَتَحَقَّقُ فِيْهِ وَجْهَانِ وَجْهُ كَوْنُهُ كَالْعُرُوضِ وَوَجْهُ كَوْنُهُ كَالْعَيْنِ وَالنَّقْدِ

 

Artinya, “Jika Anda mengetahui ini semua bahwa kemungkinan yang kedua perihal uang kertas, yakni kemungkinan keberadaannya sama dengan fulus (uang logam) merupakan kemungkinan yang lebih unggul dan lebih berhati-hati, karena kuatnya dalil atasnya. Adapun yang pertama maka karena berdasarkan qiyas dengan satu titik temu atau men-takhrij pada kaidah yang mencakupnya, sebagaimana selainnya. Maksud kaidah tersebut adalah: ‘Semua benda yang berlaku di masyarakat sebagaimana emas dan perak (sebagai alat tukar), maka di dalamnya ada dua dua sudut pandang. Pertama, keberadaannya seperti komoditas (barang). Dan kedua, keberadaannya seperti emas dan perak (alat tukar).’” (Ahkamul Fuqaha, 2011: 66-67).


Namun demikian, pemaknaan manusia atas benda dan juga uang kertas sebagai alat tukar juga berubah dan berkembang seiring perubahan keadaan dan kebutuhan manusia untuk memenuhi kebutuhan zamannya.


Zakat uang kertas ini juga didiskusikan di kalangan ulama kontemporer. Bagi ulama kontemporer, uang kertas yang dikeluarkan oleh bank dipahami bukan sebagai alat tukar semata, tetapi juga sebagai harta yang juga terkena kewajiban zakat (zakat mal).


M Ibrahim Al-Hafnawi ketika ditanya tentang zakat uang (kertas) hari ini seperti Pound Mesir atau Riyal Saudi yang pasti bukan uang emas dan uang perak menjawab kewajiban zakat uang bila memenuhi haul dan nishab zakat mal.


نعم تجب الزكاة في جميع الأوراق المالية إذا بلغت نصابا وحال عليها الحول، وذلك لأن الزكاة مرتبطة بالمالية ، وليس بالنقدية ، فهذه الأوراق المستعملة الآن الأموال، ومن ثم فالزكاة واجبة فيها


Artinya, “Ya, wajib zakat pada seluruh uang bila mencapai nisab dan haul karena zakat terikat dengan harta, bukan hanya uang logam (emas dan perak). Uang yang dipergunakan sekarang adalah harta. Dari sana, zakat juga wajib dikenakan padanya,” (M Ibrahim Al-Hafnawi, Fatawa Syar’iyyah Muashirah, [Kairo, Darul Hadits: 2012 M/1433 H], halaman 231).


KH Maimoen Zubair dalam karyanya juga mendiskusikan zakat uang kertas yang pada dasarnya berlaku pada uang emas dan uang perak. Ketika uang kertas dikeluarkan oleh bank suatu negeri, maka uang lazim digunakan untuk berbagai macam transaksi manusia seperti jual, beli, bayar utang dan muamalah lain yang biasa dilakukan dengan uang emas dan perak. Bahkan orang hari ini bermuamalah dengan uang kertas.


Uang kertas menjadi standar harga apa saja dan juga modal. Uang kertas memiliki kekuatan yang sama dengan emas dan perak dalam memenuhi kebutuhan dan memudahkan transaksi. Uang kertas dapat dipahami sebagai harta yang berkembang dan berpotensi untuk terus berkembang, persis seperti emas dan perak. Dalam kaitan dengan zakat, Kiai Maimoen Zubair menyimpulkan bahwa uang kertas terkena kewajiban zakat mal tentu berlaku syarat dan ketentuan.


فبناء على ذلك كله فإنها تأخذ حكم الذهب والفضة، وتعتبر نقودا، تجب فيها زكاة المال كما تجب في الذهب والفضة. فالقدر الواجب إخراجه هو ربع عشرها (٢٠٥ %) بشرط توفر شروط وجوب الزكاة من كون المال فاضلا عن الحوائج الأصلية لمالكه: كالنفقة، والمسكن، والثياب، وحاجة من تجب نفقته عليه شرعا، وأن يحول عليه حول قمري كامل، وألا يكون المالك مدينا بما يستغرق المال المدخر، أو ينقصه عن هذا النصاب. والله أعلم


Artinya, “Atas dasar itu semua, uang (kertas) menempati hukum (uang) emas dan perak dan dianggap sebagai uang (emas dan perak). Padanya terkena wajib zakat mal sebagaimana kewajiban zakat emas dan perak. Kadar yang wajib dikeluarkan adalah 4/10 atau 2,5% dengan ketentuan telah memenuhi syarat kewajiban zakat, yaitu harta tersebut di luar kebutuhan pokok pemiliknya seperti nafkah pangan, papan, sandang, dan kebutuhan orang yang wajib ditanggung nafkahnya menurut syariat; telah genap melewati satu putaran tahun Qamariyah; pemilik harta bukan orang yang berhutang dengan nilai yang dapat menghabiskan simpanan harta; atau dapat menguranginya dari nisab, Wallahu a’lam.” (KH Maimoen Zubair, Al-Ulama al-Mujaddidun wa Majalu Tajdidihim wa Ijtihadihim, [Rembang, LTN Al-Anwar, Sarang: 2007 M], halaman 17).


Syekh Ali Jumah juga memasukkan diskusi ulama klasik dan ulama kontemporer seputar zakat uang kertas dan uang emas dan perak. Syekh Ali Jumah mengangkat dua pandangan ulama yang berbeda klasik dan kontemporer tentang kedudukan uang emas serta uang perak dan uang kertas yang diedarkan oleh bank berikut konsekuensinya terkait riba dan juga zakat.


وكثير من العلماء المعاصرين لا يقولون بقول أكثر العلماء السابقين في عدم جريان الربا في غير النقدين الذي يلزم عليه عدم جريان الربا في أوراق البنكنوت ، خوفا من أن يجر هذا إلى إسقاط الزكاة في النقدين ، حيث تعلقت بالدرهم والدينار ، ويجر هذا أيضًا إلى فساد التعامل بين الناس بهذه الأوراق التي تحل بها الفروج وتقام بها الشركات والتملك بها الأشياء .... إلخ


Artinya, “Kebanyakan ulama kontemporer tidak berpendapat dengan pandangan kebanyakan ulama terdahulu tentang tidak berlakunya riba pada selain dinar dan dirham yang melazimkan tidak berlaku riba pada uang bank karena khawatir dapat menggugurkan kewajiban zakat pada uang emas dan perak yang terkait dinar dan dirham; dan juga dapat menarik pada rusaknya muamalah manusia dengan uang yang (selama ini) menghalalkan perkawinan, tegaknya syirkah, perpindahan kepemilikan barang, dan seterusnya.” (Syekh Ali Jumah, Al-Hukmus Syar’i indal Ushuliyyin [Kairo, Darus Salam: 2013 M/1434 H], halaman 231).


Pembahasan zakat uang kertas ini diangkat kembali oleh NU pada forum Munas NU 2025 di Hotel Sultan, Jakarta, 6-7 Februari 2025 dengan pertanyaan “Apakah uang kertas dianggap sebagai objek zakat?” dan “Apakah wajib zakat bagi orang yang memperdagangkan uang kertas jika memenuhi syarat?


Pembahasan ulang seperti ini diatur dalam Aturan Perkumpulan LBM pada 30 Januari 2024 di Yogyakarta, Bab IV I’adat al-Nazhar (Peninjauan Ulang) Pasal 16 dapat dilakukan setelah adanya pembahasan yang mendalam dan ditemukan: a. ketidaktepatan dalam memahami nash, dalil, dan/atau realitas (waqi’); dan b. terdapat ‘illat baru dikarenakan perubahan ‘urf dan konteks (taghayyur al-azminah wa al-amkinah).


Akan seperti apa hasil peninjauan ulang NU atas zakat uang kertas tersebut, kita tunggu argumentasi segar dan ketetapan yang diambil oleh peserta musyawarah bahtsul masail dalam forum Munas NU 2025 awal Februari ini. Wallahu a’lam.

 

Alhafiz Kurniawan M.Hum., Wakil Sekretaris LBM PBNU