Sunnatullah
Kontributor
Bayangkan seorang pemilik lahan kecil di desa yang ingin memulai usahanya namun membutuhkan tambahan modal. Dalam keyakinannya, ia tak ingin membebani orang lain, tetapi ia memahami bahwa dalam Islam terdapat cara untuk mendapatkan kepercayaan dan rasa aman tanpa menambah beban bagi pihak lain.
Ia kemudian mendatangi saudaranya yang berkecukupan dan menyampaikan niatnya untuk meminjam modal, sambil menitipkan barang berharga yang dimilikinya sebagai jaminan. Barang tersebut bukan dimaksudkan untuk dijual atau dilepas, melainkan menjadi simbol bahwa utang adalah amanah yang dijunjungnya dengan penuh tanggung jawab.
Kita bayangkan contoh lainnya, seorang musafir yang sedang menempuh perjalanan jauh dengan bekal yang terbatas namun memiliki tekad yang kuat untuk mencapai tujuannya. Di tengah perjalanannya, ia membutuhkan pinjaman untuk melanjutkan perjalanannya.
Baca Juga
Hukum Memanfaatkan Barang Gadai
Pemberi pinjaman, tentu saja, ingin memiliki kepastian bahwa pinjaman tersebut akan dikembalikan. Maka, si musafir menawarkan sesuatu yang dimilikinya, bukan untuk dijual atau dilepas, tetapi untuk dititipkan sebagai jaminan. Jaminan ini bukan sekadar harta, tetapi lambang komitmen bahwa pinjaman tersebut adalah tanggung jawab yang akan ia tunaikan.
Dalam tradisi akad pada fiqih, barang yang dijadikan jaminan disebut sebagai rahn atau gadai, yang bukan hanya sekadar benda mati yang dititipkan, melainkan simbol nyata dari kepercayaan dan kejujuran antara kedua belah pihak.
Barang ini menjadi penjamin hak peminjam dan pemberi pinjaman, menguatkan ikatan bahwa peminjam berkomitmen untuk memenuhi tanggung jawabnya, sementara pemberi pinjaman merasa aman bahwa haknya terlindungi. Rahn bukan sekadar formalitas dalam muamalah, tetapi sebuah penguat yang menjaga keseimbangan antara amanah dan tanggung jawab, dan berfungsi untuk membangun rasa saling percaya dalam transaksi serta hubungan sosial yang lebih luas.
Definisi Rahn dalam Bahasa dan Syariat
Untuk memahami secara detail soal rahn, maka kita perlu merujuk kepada definisinya secara etimologis dan terminologis. Secara bahasa, rahn berarti “penahanan” atau sesuatu yang terikat dan tetap. Ungkapan tersebut menandakan makna yang mendalam tentang ketetapan yang saling menjaga.
Sedangkan menurut istilah, yaitu menetapkan harta berharga sebagai jaminan terhadap utang, agar harta itu bisa menjadi pengganti jika pelunasan hutang tidak dapat dilakukan.
Barang jaminan ini menjadi kekuatan yang mengikat hak kedua pihak dalam akad, sehingga terjaga kepercayaan di antara peminjam (rahin) dan pemberi pinjaman (murtahin).
Definisi di atas sebagaimana dicatat oleh Syekh Musthafa al-Khin, Syekh Musthafa al-Bugha dan Syekh Ali as-Syarbaji dalam al-Fiqhul Manhaji ‘ala Mazhabil Imam asy-Syafi’i (Damaskus, Darul Qalam, 1992: VII/111):
اَلرَّهْنُ تَعْرِيْفُهُ: هُوَ فِي اللُّغَةِ الْحَبْسُ، وَفِي الْاِصْطِلاَحِ الشَّرْعِيِّ: يُطْلَقُ عَلىَ عَقْدِ الرَّهْنِ وَهُوَ جَعْلُ عَيْنٍ مُتَمَوَّلَةٍ وَثِيْقَةً بِدَيْنٍ، يُسْتَوْفَى مِنْهَا عِنْدَ تَعَذُّرِ الْوَفَاءِ
Artinya, “Gadai (rahn) menurut definisinya: secara bahasa, rahn berarti “penahanan”. Dalam istilah syariat, rahn digunakan untuk merujuk pada akad gadai, yaitu menjadikan suatu barang berharga sebagai jaminan atas utang yang dapat digunakan untuk melunasi utang tersebut apabila peminjam tidak mampu membayarnya.
Dengan demikian, maka akad ini dibangun atas dasar perlindungan dari ketidakpastian. Dalam sebuah transaksi, kepercayaan adalah fondasi utama, namun kepercayaan juga perlu jaminan agar tidak rapuh.
Dengan akad rahn, kedua pihak sama-sama memperoleh rasa aman, yaitu pemberi pinjaman yakin akan haknya, sementara peminjam merasa tenang bahwa ia memiliki kesempatan untuk melunasi tanpa kehilangan kepercayaan yang diberikan.
Dalil Akad Rahn dalam Al-Qur’an
Islam sangat memperhatikan aspek muamalah yang menjaga hak dan keadilan di antara manusia, dan akad rahn adalah salah satu cara untuk mewujudkan itu. Landasan akad ini tertuang dalam ayat-ayat Al-Qur'an dan hadits-hadits Nabi Muhammad saw, yang melukiskan keindahan dan pentingnya jaminan dalam sebuah akad. Allah swt berfirman:
وَإِنْ كُنْتُمْ عَلَى سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوا كَاتِباً فَرِهَانٌ مَقْبُوضَةٌ
Artinya, “Jika kamu dalam perjalanan, sedangkan kamu tidak mendapatkan seorang pencatat, hendaklah ada barang jaminan yang dipegang.” (QS Al-Baqarah, [2]: 283).
Tafsir Mafatihul Ghaib
Merujuk penjelasan Imam Fakhruddin ar-Razi (wafat 606 H) dalam kitab tafsirnya, ia menjelaskan bahwa ayat tersebut menjelaskan tiga jenis transaksi jual beli yang dapat dilakukan dalam situasi tertentu. Pertama, jual beli dengan adanya tulisan dan saksi. Kedua, jual beli dengan adanya jaminan yang dipegang. Ketiga, jual beli dengan prinsip amanah.
Dalam konteks ini, ketika Allah memerintahkan untuk mencatat dan menyaksikan transaksi, terkadang hal ini bisa jadi sulit dilakukan, terutama ketika berada dalam perjalanan.
Salah satu alasannya mungkin karena tidak adanya penulis yang tersedia, atau meskipun ada penulis, peralatan untuk menulis tidak ditemukan. Oleh karena itu, Allah menyebutkan alternatif lain untuk memastikan keabsahan transaksi, yaitu dengan cara mengambil jaminan atau akad rahn,
رُبَّمَا تَعَذَّرَ ذَلِكَ فِي السَّفَرِ إِمَّا بِأَنْ لَا يُوجَدَ الْكَاتِبُ، أَوْ إِنْ وُجِدَ لَكِنَّهُ لَا تُوجَدُ آلَاتُ الْكِتَابَةِ ذَكَرَ نَوْعًا آخَرَ مِنَ الِاسْتِيثَاقِ وَهُوَ أَخْذُ الرَّهْنِ فَهَذَا وَجْهُ النَّظْمِ وَهَذَا أَبْلَغُ فِي الاحتياط من الكتبة وَالْإِشْهَادِ
Artinya, “(Setelah Allah memerintahkan di akhir ayat sebelumnya untuk mencatat dan menghadirkan saksi) terkadang hal itu sulit dilakukan dalam perjalanan, baik karena tidak ada penulis yang tersedia atau karena alat tulis tidak ada. Maka disebutkan jenis jaminan lain, yaitu dengan mengambil barang gadai. Ini adalah susunan yang menunjukkan keteraturan dan merupakan bentuk kehati-hatian yang lebih kuat dibandingkan sekadar pencatatan dan penyaksian.” (Tafsir Mafatihul Ghaib, [Beirut: Darul Ihya at-Turats, 1420 H], jilid VII, halaman 99).
Tafsir al-Qurthubi
Penjelasan yang sama juga disampaikan oleh Imam Abu Abdillah Syamsuddin al-Qurthubi (wafat 671 H), dalam kitab tafsirnya ia menjelaskan bahwa Allah menetapkan pencatatan dan kehadiran saksi dalam transaksi sebagai cara menjaga hak dan melindungi harta benda, demi keamanan dan keadilan bagi seluruh pihak yang terlibat di dalamnya.
Namun, Allah juga memahami bahwa tidak semua keadaan memungkinkan adanya catatan atau saksi. Oleh sebab itu, Islam memberikan pilihan lain, yaitu jaminan berupa barang gadai yang dipegang oleh pemberi pinjaman, hal ini tidak lain selain sebuah bentuk kehati-hatian untuk menjaga hak saat kondisi tidak ideal.
Dalam ayat tersebut, Allah menyebutkan "safar" atau perjalanan sebagai kondisi yang biasanya menjadi kendala dalam pencatatan, karena pada masa itu, perjalanan sering dilakukan di tengah banyaknya pertempuran dan jarak jauh, yang sulit diatur dengan cara biasa. Namun, maknanya lebih luas dari sekadar perjalanan. Setiap kondisi yang menghalangi pencatatan atau kehadiran saksi termasuk dalam pengecualian ini, seperti malam yang gelap, waktu-waktu sibuk, atau saat sang penulis tidak tersedia.
Dalam beberapa kondisi tersebut, Allah swt memberikan solusi bijak untuk menjaga hak tanpa merugikan atau memberatkan satu pihak. Dengan mengambil barang gadai sebagai jaminan, sehingga kepastian tetap terjaga, dan memberi pelajaran untuk berhati-hati dalam segala urusan tanpa menafikan keringanan yang syariat tawarkan,
وَيَدْخُلُ فِي ذَلِكَ بِالْمَعْنَى كُلُّ عُذْرٍ. فَرُبَّ وَقْتٍ يَتَعَذَّرُ فِيْهِ الْكَاتِبُ فِي الْحَضَرِ كَأَوْقَاتِ أَشْغَالِ النَّاسِ وَبِاللَّيْلِ، وَأَيْضًا فَالْخَوْفُ عَلىَ خَرَابِ ذِمَّةِ الْغَرِيْمِ عُذْرٌ يُوْجِبُ طَلَبَ الرَّهْنِ
Artinya, “Dan dalam hal ini, setiap udzur yang menghalangi (pencatatan) dapat dimasukkan ke dalam pengecualian secara makna. Bisa jadi ada waktu di mana penulis tidak mudah ditemukan di tempat tinggal, seperti saat-saat orang sibuk atau di malam hari. Selain itu, kekhawatiran akan rusaknya komitmen juga merupakan alasan yang menuntut adanya barang gadai.” (al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, [Riyadh: Daru Alamil Kitab, tt], jilid III, halaman 407).
Dari uraian di atas, terlihat bahwa akad rahn dalam Islam adalah cerminan dari kesempurnaan syariat dalam menjaga hak dan keadilan di antara manusia. Landasan akad ini telah jelas ditetapkan dalam Al-Qur'an dan dijelaskan oleh para ulama seperti Imam Fakhruddin ar-Razi dan Imam al-Qurthubi.
Akad rahn menggambarkan bagaimana jaminan atau barang gadai bisa menjadi solusi untuk menjaga hak ketika pencatatan atau saksi tidak dapat dihadirkan, khususnya dalam keadaan darurat seperti perjalanan. Pengecualian ini tidak hanya berlaku untuk perjalanan, tetapi juga meliputi semua kondisi yang menghalangi pencatatan, seperti waktu malam atau saat-saat sibuk.
Penjelasan para ulama di atas menekankan bahwa Islam adalah agama yang sangat memperhatikan keadilan tanpa memberatkan. Dengan adanya pilihan akad rahn, Islam memberikan kemudahan bagi siapa pun yang terhalang untuk melakukan transaksi sesuai prosedur formal.
Solusi berupa barang gadai ini menjaga keseimbangan antara kepercayaan dan kehati-hatian, sehingga hak dan kewajiban setiap pihak tetap terjamin meskipun dalam kondisi yang sulit. Wallahu a’lam,
Sunnatullah, Peserta program Kepenulisan Turots Ilmiah (KTI) Maroko, Beasiswa non-Degree Dana Abadi Pesantren Kementrian Agama (Kemenag) berkolaborasi dengan LPDP dan Lembaga Pendidikan di Maroko selama tiga bulan, 2024.
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Jangan Ikut Campur Urusan Orang, Fokus Perbaiki Diri
2
Khutbah Jumat: Menjadi Hamba Sejati Demi Ridha Ilahi
3
3 Instruksi Ketum PBNU untuk Seluruh Kader pada Harlah Ke-91 GP Ansor
4
Ketum GP Ansor Kukuhkan 100.000 Banser Patriot Ketahanan Pangan, Tekankan soal Kemandirian
5
Sanksi Berat bagi Haji Ilegal: Dipenjara, Dideportasi, dan Didenda Rp224 Juta
6
PCINU Mesir Gelar PD-PKPNU Angkatan I, Ketua PBNU: Lahirkan Kader Penggerak sebagai Pemimpin Masa Depan
Terkini
Lihat Semua