Bahtsul Masail

Hukum Mengelola Sawah Gadaian

Sel, 3 Januari 2023 | 19:00 WIB

Hukum Mengelola Sawah Gadaian

Aktivitas petani di sawah. (Photo: NU Online)

Assalamu'alaikum wr wb. Mohon berkenan tim redaksi untuk menyampaikan pertanyaan kami kepada yang berwenang menjawabnya. 

 


Di lingkungan kami berlaku kebiasaan dimana seseorang meminjam uang dengan menjaminkan sebidang tanah sawa. Selama belum dibayar utangnya, tanah tersebut akan dikelola oleh pemilik uang. 

 


Bagaimana hukum perkara tersebut? Seandainya diharamkan, maka untuk solusi masalah tersebut menggunakan akad apa agar diperbolehkan? Terimakasih. (Samsul Arifin Kab Ogan Komering Ilir, Sumsel).

 


Jawaban

Wa'alaikumussalam wr. wb. Penanya yang terhormat dan semoga selalu mendapat rahmat dari Allah subhanahu wata'ala.
 

 

Utang dengan gadai adalah dua hal yang saling berkait erat. Umumnya utang dalam jumlah besar tentu disertai dengan barang sebagai jaminan (gadai). Utang sendiri dalam pandangan syariat bukan akad yang bernilai profit namun bernuansa tolong-menolong. Karena itu, pengembalian dalam utang sesuai nominal yang diutang.
 

 

Mensyaratkan membayar lebih termasuk riba yang disebut riba qardh. Sedangkan gadai atau dalam istilah fiqih disebut rahn, didefinisikan dengan ja'lu ainin yajuzu bai'uha watsiqatan bidain yustaufa minha 'inda ta'adzuri wafa'ihi, yaitu menjadikan komoditas yang sah diperjualbelikan sebagai jaminan atas utang. Manfaat dari akad gadai adalah bila sampai waktunya utang tak terbayarkan, barang gadaian tersebut bisa dijual seizin pemilik kemudian hasil penjualan digunakan untuk melunasi utang. Bila ada sisa maka dikembalikan kepada pemilik barang. 

 


Dari keterangan di atas dapat dimengerti bahwa meski barang jaminan berada di tangan penerima gadai, barang jaminan tersebut tetap berstatus milik yang menggadaikan.
 

 

Ia boleh menggunakan barang tersebut selama bukan penggunaan yang menghilangkan kepemilikan; seperti menjual; penggunaan yang bisa mengurangi minat calon pembeli; atau penggunaan yang berpotensi menimbulkan sengketa di masa depan, seperti menggadaikan lagi barang tersebut kepada orang lain. Ia juga berkewajiban penuh atas perawatan barang tersebut. Satu-satunya manfaat dari gadai adalah ada jaminan jalan bagi kreditur untuk mendapatkan kembali uangnya ketika utang jatuh tempo.

 


Dengan demikian, mensyaratkan dalam akad gadai agar barang gadaian boleh dimanfaatkan oleh penerima gadai selama utang belum terbayar menyalahi hakikat dari akad gadai itu sendiri, sehingga menyebabkan akad gadainya tidak sah. Hal ini seperti keterangan dalam kitab Nihayatuz Zain:


(و) لا يصح الرهن بشرط ما يضر الراهن وينفع المرتهن ك (شرط منفعته) أي المرهون (لمرتهن) من غير تقييد بمدة فيبطل الشرط وكذا الرهن على القول الأظهر لتغيير قضية العقد

 

Artinya, ”Tidak sah akad gadai bila disertai syarat yang merugikan penggadai dan menguntungkan penerima gadai. Semisal syarat manfaat barang gadaian menjadi milik penerima gadai tanpa ada batasan waktu. Maka syarat tersebut batal. Begitu juga akad gadainya batal menurut qaul adhhar karena mengubah ketentuan akad.” (Nawawi Al-Bantani, Nihayatuz Zain, [Beirut, Darul Fikr], halaman 244).
 

 

Begitu juga bila pemanfaatan tersebut disebutkan dalam akad utang piutang. Semisal memberikan utang dengan syarat ada jaminan yang berhak dimanfaatkan pihak kreditur selama utang belum terbayarkan. Hal ini tidak sah dan masuk dalam kategori riba yaitu setiap utang yang mendatangkan keuntungan bagi pemberi utang dengan disebutkan dalam akad. Sedangkan bila pemanfaatan tersebut tidak disebutkan dalam klausul akad, namun hanya kesepakatan awal pra akad atau berdasarkan kebiasaan, hal ini telah diputuskan dalam Muktamar NU ke-2 di Surabaya pada 12 Rabiuts Tsani 1346 H/ 9 Oktober 1927 M. Secara lengkap salah satu keputusannya sebagai berikut:


S. Bagaimana hukum orang yang menerima gadai dengan mengambil manfaatnya misalnya sebidang tanah yang digadaikan kemudian diambil hasilnya dengan tanpa syarat pada waktu akad diadakan demikian itu, baik sudah menjadi kebiasaan atau sebelum akad memakai syarat atau dengan perjanjian tertulis tetapi tidak dibaca pada waktu akad. Hal demikian itu apakah termasuk riba yang terlarang atau tidak?


Jawaban: Dalam masalah ini terdapat tiga pendapat dari para ahli hukum (ulama) :

  1. haram sebab termasuk utang yang dipungut manfaatnya;
  2. halal sebab tidak ada syarat pada waktu akad sebab menurut ahli hukum yang terkenal bahwa adat yang berlaku itu tidak termasuk syarat;
  3. syubhat (tidak tentu jelas halal haramnya) sebab para ahli hukum berselisih pendapat.


 

Adapun Muktamar memutuskan bahwa yang lebih berhati-hati ialah pendapat yang pertama (haram).



Dengan demikian, pemanfaatan lahan sebagaimana disampaikan penanya, bila berdasarkan kebiasaaan tanpa disebutkan dalam akad menurut rekomendasi Muktamar NU, hukumnya haram sebab termasuk riba.
 

 

Walau begitu, Muktamar NU juga mengakui ada ulama yang memperbolehkan memandangnya sebagai adat saja. Bila tidak disebutkan dalam akad, maka tidak bisa dianggap sebagai syarat yang mengikat. Hal ini sebagaimana dalam kitab Al-Asybah wan Nazha'ir



ومنها: لو عم في الناس اعتياد إباحة منافع الرهن للمرتهن فهل ينزل منزلة شرطه حتى يفسد الرهن، قال الجمهور: لا، وقال القفال: نعم



Artinya, “Di antara persoalan kaidah Al-'Adatul Muhakkamah adalah bila sudah umum di kalangan masyarakat kebiasaan kebolehan memanfaatkan barang gadaian oleh penerima gadai. Apakah kebiasaan tersebut sama dengan pensyaratan dalam akad, sehingga menyebabkan akad gadai tidak sah? Mayoritas ulama Syafi'iyah mengatakan tidak sama; sedangkan Imam Al-Qaffal mengatakan sama.” (Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Asybah wan Nazha'ir, [Beirut, Darul Kutub 'Ilmiyah, halaman 96).



Dalam permasalahan ini, kami menganjurkan Anda untuk mengikuti hasil muktamar. Bila memang sulit dihindari, silahkan mengikuti yang memperbolehkan asal tidak disebutkan dalam akad. Semoga bermanfaat.
 

 

Ustadz Muhammad Masruhan, Pengajar PP Al-Inayah Wareng Tempuran dan Pengurus LBM NU Kabupaten Magelang