Tafsir

Mengurai Kewajiban Qadha Puasa Ramadhan dalam Al-Qur’an

Kam, 22 Februari 2024 | 18:00 WIB

Mengurai Kewajiban Qadha Puasa Ramadhan dalam Al-Qur’an

Ilustrasi puasa. (Foto: NU Online)

Puasa Ramadan merupakan salah satu kewajiban umat Islam yang telah mencapai usia baligh dan memiliki kesehatan yang memadai untuk melaksanakannya. Namun demikian, dalam kehidupan sehari-hari, ada situasi di mana seseorang mungkin tidak dapat menjalankan puasa Ramadan pada waktunya karena berbagai alasan, seperti sakit yang mengharuskan mereka untuk berbuka atau perjalanan [musafir] yang mempersulit menjalankan ibadah tersebut. 

 

Dalam kondisi tidak mengerjakan puasa Ramadhan, seseorang diwajibkan untuk menggantinya atau disebut dengan qadha. Secara sederhana, qadha puasa Ramadan adalah kewajiban bagi umat Islam untuk mengganti puasa Ramadan yang ditinggalkan atau tidak dilaksanakan pada waktu yang telah ditentukan, karena alasan tertentu seperti sakit, perjalanan, atau kondisi lain yang menghalangi seseorang untuk berpuasa.

 

Dasar hukum kewajiban qadha puasa Ramadan ditemukan dalam Al-Qur'an, Q.S Al-Baqarah [2] ayat 184:

 

اَيَّامًا مَّعْدُوْدٰتٍۗ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَّرِيْضًا اَوْ عَلٰى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ اَيَّامٍ اُخَرَ ۗوَعَلَى الَّذِيْنَ يُطِيْقُوْنَهٗ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِيْنٍۗ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَّهٗ ۗوَاَنْ تَصُوْمُوْا خَيْرٌ لَّكُمْ اِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ

 

Ayyāmam ma‘dūdāt(in), faman kāna minkum marīḍan au ‘alā safarin fa ‘iddatum min ayyāmin ukhar(a), wa ‘alal-lażīna yuṭīqūnahū fidyatun ṭa‘āmu miskīn(in), faman taṭawwa‘a khairan fahuwa khairul lah(ū), wa an taṣūmū khairul lakum in kuntum ta‘lamūn(a).

 

Artinya; "(Yaitu) beberapa hari tertentu. Maka, siapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), (wajib mengganti) sebanyak hari (yang dia tidak berpuasa itu) pada hari-hari yang lain. Bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin. Siapa dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan,) itu lebih baik baginya dan berpuasa itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui."

 

Profesor Quraish Shihab, dalam kitab Tafsir al-Misbah, Jilid I, halaman 402 mengatakan bagi orang yang sakit, lemah, atau sedang bepergian [musafir] jauh yang sulit untuk puasa, mereka diperbolehkan untuk tidak berpuasa. Namun, mereka harus mengganti puasa tersebut di hari lain setelah sembuh atau selesai bepergian. Caranya bisa dengan puasa beberapa hari sekaligus atau dicicil, sama dengan jumlah hari yang ditinggalkan. (Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, [Ciputat, Lentera Hati: 2002], Jilid I, halaman 402).

 

Lebih lanjut, orang dengan kondisi tubuh yang menyebabkan kesulitan besar saat berpuasa, seperti karena usia tua, penyakit yang tidak dapat disembuhkan lagi, atau pekerjaan berat yang harus dilakukan, sehingga meninggalkan puasa akan sulit bagi dirinya atau keluarganya yang ditanggungnya, maka mereka diwajibkan membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin. Allah kemudian mengingatkan; "Melakukan kebajikan dengan ikhlas adalah lebih baik, namun jika kamu mengetahui, berpuasa tetap lebih baik bagimu".

 

Syekh Syamsuddin Al-Qurthubi, al Jami' Li Ahkami al-Qur'an mengungkapkan, ayat ini menjelaskan tentang seseorang yang membatalkan puasanya di bulan Ramadhan, maka wajib menggantinya dengan jumlah yang sama. Hal ini berlaku baik untuk sebagian maupun seluruh bulan Ramadhan. Artinya, jika si Ahmad misalnya, tidak berpuasa sebanyak 10 hari di Ramadhan, karena sakit, maka wajib baginya mengganti sebanyak yang dia tinggalkan tersebut. Jumlah puasa yang diganti sesuai yang dia tinggalkan. 

 

 وَقَوْلُهُ:" فَعِدَّةٌ" يَقْتَضِي اسْتِيفَاءَ عَدَدِ مَا أَفْطَرَ فِيهِ، وَلَا شَكَّ أَنَّهُ لَوْ أَفْطَرَ بَعْضَ رَمَضَانَ وَجَبَ قَضَاءَ مَا أَفْطَرَ بَعْدَهُ بِعَدَدِهِ، كَذَلِكَ يَجِبُ أَنْ يَكُونَ حُكْمُ إِفْطَارِهِ جَمِيعِهِ فِي اعْتِبَارِ عَدَدِهِ.

 

Artinya; "Dan firman Allah, "fa 'iddatun" mengharuskan untuk mengganti jumlah hari yang dia batalkan puasanya. Dan tidak diragukan lagi bahwa jika dia membatalkan puasa di sebagian bulan Ramadhan, maka wajib menggantinya di hari berikutnya dengan jumlah yang sama. Begitu pula, hukum membatalkan seluruh puasanya harus dipertimbangkan berdasarkan jumlahnya." [Syamsuddin Al-Qurthubi, al Jami' Li Ahkami al-Qur'an,  Jilid II, halaman 281).

 

Sementara itu, Izzuddin bin Abdissalam, dalam kitab Tasirnya, mengatakan bahwa terdapat perbedaan pendapat di antara para ulama tentang siapa yang wajib mengganti puasa Ramadhan yang ditinggalkan. Menurut Mazhab Daud ad-Dhahiri, baik orang yang bepergian maupun orang yang sakit wajib mengganti puasanya, baik mereka berpuasa atau berbuka [tidak puasa]. Sedangkan menurut mayoritas ulama, hanya orang yang berbuka yang wajib mengganti puasanya.

 

 {فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ} يجب القضاء عند داود على المسافر والمريض سواء صاما أو أفطرا، وعند الجمهور لا يجب القضاء إلا على من أفطر.

 

Artinya; "Menurut pendapat mazhab Dawud adh-Dhahiri [Daud bin 'Ali bin Khalaf al –Ashbihani], baik musafir maupun orang sakit wajib mengganti puasa yang ditinggalkan, baik mereka sudah berpuasa sebelumnya atau belum. Sedangkan menurut mayoritas ulama, hanya orang yang tidak berpuasa yang wajib mengganti puasanya. [Izzuddin bin Abdis Salam, Tafsir al-Qur'an, Jilid I, [Beirut: Dar Ibnu Hazm, 1997] halaman 188].

 

Sementara itu, Fakhruddin Ar-Razi dalam kitab Tafsir Mafatih al-Ghaib, mengatakan ayat ini menunjukkan bahwa orang yang sakit dan musafir diperbolehkan berbuka puasa dan wajib menggantinya di hari lain. Sementara itu, ada pendapat dari Daud bin 'Ali bin Khalaf al –Ashbihani, orang yang sakit dan musafir, wajib mengqadha puasanya di hari lain, baik dia berpuasa atau tidak. Akan tetapi pendapat jumhur ulama berpendapat bahwa berbuka puasa adalah keringanan. Jadi, jika dia mau, dia boleh berbuka dan jika dia mau, dia boleh berpuasa.

 

الْمَسْأَلَةُ السَّابِعَةُ: ذَهَبَ قَوْمٌ مِنْ عُلَمَاءِ الصَّحَابَةِ إِلَى أَنَّهُ يَجِبُ عَلَى الْمَرِيضِ وَالْمُسَافِرِ أَنْ يُفْطِرَا وَيَصُومَا عِدَّةً مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ، وَهُوَ قَوْلُ ابْنِ عَبَّاسٍ وَابْنِ عُمَرَ، وَنَقَلَ الْخَطَّابِيُّ فِي إِعْلَامِ التَّنْزِيلِ عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّهُ قَالَ لَوْ صَامَ فِي السَّفَرِ قَضَى فِي الْحَضَرِ، وَهَذَا اخْتِيَارُ دَاوُدَ بْنِ عَلِيٍّ الْأَصْفَهَانِيِّ، وَذَهَبَ أَكْثَرُ الْفُقَهَاءِ إِلَى أَنَّ الْإِفْطَارَ رُخْصَةٌ فَإِنْ شَاءَ أَفْطَرَ وَإِنْ شَاءَ صَامَ حُجَّةُ الْأَوَّلِينَ مِنَ الْقُرْآنِ وَالْخَبَرِ 

 

Artinya: "Masalah yang ke tujuh:Sebagian ulama sahabat berpendapat bahwa orang sakit dan musafir wajib berbuka puasa dan menggantinya di hari lain. Pendapat ini dikemukakan oleh Ibnu Abbas dan Ibnu Umar. Khattabi meriwayatkan dalam kitab I'lam al-Tanzil bahwa Ibnu Umar berkata, "Jika ia berpuasa saat safar, maka ia harus menggantinya saat mukim." Pendapat ini juga dipilih oleh Dawud bin Ali al-Isfahani. Akan tetapi, mayoritas ulama berpendapat bahwa berbuka puasa adalah rukhsah (keringanan), jika seseorang ingin berbuka, maka dia boleh berbuka, dan jika dia ingin berpuasa, diperbolehkan, hujjahnya adalah dalil-dalil dari Al-Quran dan hadis." 

 

Dalam kitab Tafsir as-Sam'ani, karya Abu Al Muzhaffar As-Sam'ani, dijelaskan bahwa ayat tersebut menjelaskan bahwa orang yang sakit atau dalam perjalanan diperbolehkan untuk berbuka puasa. Mereka kemudian wajib mengganti puasa yang ditinggalkan pada hari-hari lain. Ada perbedaan pendapat tentang batasan sakit dan perjalanan yang membolehkan berbuka puasa.

 

Sakit yang membolehkan tak berpuasa menurut Dawud adh-Dhahiri dan sebagian ahli tafsir adalah yang pantas disebut sebagai penyakit. Ini adalah pendapat Ibnu Sirin dari kalangan salaf. Sementara itu, Hasan al-Bashri berkata, batasan sakit adalah yang memungkinkan seseorang shalat duduk. Sedangkan dalam mazhab Syafi'i berpendapat, batasan sakit adalah yang dikhawatirkan akan memperparah penyakit jika berpuasa.

 

Sedangkan tentang batasan perjalanan yang membolehkan berbuka puasa, mereka juga berbeda pendapat. Dawud dan pengikutnya berkata: Batasan perjalanan adalah yang pantas disebut sebagai perjalanan. Mazhab Syafi'i berpendapat bahwa batasan perjalanan adalah jarak qashr, yaitu 16 farsakh [88,704 km].

 

ثمَّ اخْتلفُوا فِي حد الْمَرَض الَّذِي يُبِيح الْفطر، فَقَالَ دَاوُد وَأهل الظَّاهِر: هُوَ مَا ينْطَلق عَلَيْهِ اسْم الْمَرَض. وَهُوَ قَول ابْن سِيرِين من السّلف. وَقَالَ الْحسن: هُوَ الْمَرَض الَّذِي تجوز مَعَه الصَّلَاة قَاعِدا. وَمذهب الشَّافِعِي: هُوَ الْمَرَض الَّذِي يخَاف من الصَّوْم مَعَه الزِّيَادَة فِي الْمَرَض. فَأَما حد السّفر الَّذِي يُبِيح الْفطر اخْتلفُوا فِيهِ، فَقَالَ دَاوُد وَمن تَابعه: هُوَ مَا ينْطَلق عَلَيْهِ اسْم السّفر. وَمذهب الشَّافِعِي أَنه مَسَافَة الْقصر، سِتَّة عشر فرسخا.

 

Artinya: "Kemudian ulama berbeda pendapat tentang batas penyakit yang membolehkan berbuka puasa. Pertama, Dawud Zahiri  dan ahli sebagian ahli tafsir mengatakan batas penyakit yang membolehkan berbuka puasa adalah apa saja yang disebut sebagai penyakit. Ini juga merupakan pendapat Ibnu Sirin dari kalangan salaf."

 

Kedua, Hasan bashri mengatakan batas penyakit yang membolehkan berbuka puasa adalah penyakit yang memungkinkan seseorang untuk salat sambil duduk. Ketiga, dalam Mazhab Syafi'i mengatakan batas penyakit yang membolehkan berbuka puasa adalah penyakit yang dikhawatirkan akan bertambah parah jika berpuasa.

 

Pada sisi lain, adapun batas perjalanan yang membolehkan berbuka puasa, mereka juga berbeda pendapat tentang hal itu. Dawud dan pengikutnya mengatakan batas perjalanan yang membolehkan berbuka puasa adalah apa saja yang disebut sebagai perjalanan. Sementara, Mazhab Syafi'i mengatakan batas perjalanan yang membolehkan berbuka puasa adalah jarak qasar, yaitu 16 farsakh. (Abu Al Muzhaffar As-Sam'ani, Tafsir as-Sam'ani, [Riyadh, Darul Wathan, 1997],  jilid I, hal. 180).

 

Waktu Terakhir Qadha 

Dari keterangan di atas, telah jelas bagi orang yang meninggalkan kewajiban puasa Ramadhan, maka wajib menggantinya di lain waktu. Kemudian yang jadi pertanyaan, sampai kapan batas waktu qadha puasa Ramadhan?  

 

Adapun batas waktu qadha puasa menurut pendapat yang lebih kuat, yaitu bahwa batas waktu qadha puasa Ramadhan adalah sebelum datangnya bulan Ramadhan berikutnya. Artinya, di bulan Sya'ban, kendati pun sudah lewat pertengahan, masih tetap diperbolehkan qadha puasa. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Rusyd dalam Bidayatul Mujtahid fi Nihayatil Muqtashid berikut; 

 

وأما صيام النصف الآخر من شعبان فإن قوما كرهوه وقوما أجازوه. فمن كرهوه فلما روي من أنه عليه الصلاة والسلام قال: لا صوم بعد النصف من شعبان حتى رمضان. ومن أجازه فلما روي عن أم سلمة قالت: ما رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم صام شهرين متتابعين إلا شعبان ورمضان، ولما روي عن ابن عمر قال: كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يقرن شعبان برمضان. وهذه الآثار خرجها الطحاوي

 

Artinya; "Adapun puasa separuh terakhir bulan Sya'ban terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama, ada yang menyatakan makruh, dan sebagian lagi  membolehkannya. Adapun ulama yang mengatakan makruh, maka berdasarkan hadis yang diriwayatkan, bahwa Nabi SAW bersabda: "Tidak ada puasa setelah pertengahan bulan Sya'ban hingga Ramadan." 

 

Sementara itu, ulama membolehkannya, berdasarkan hadis yang diriwayatkan dari Ummu Salamah, dia berkata: "Aku tidak pernah melihat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berpuasa dua bulan berturut-turut kecuali bulan Sya'ban dan Ramadan." Dan berdasarkan hadis yang diriwayatkan dari Ibnu Umar, dia berkata: "Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam selalu mengaitkan bulan Sya'ban dengan Ramadan." Dan hadits ini ditakhrij oleh At-Tahawi." [Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid fi Nihayatil Muqtashid, [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyyah: 2013 M/1434 H], cetakan kelima, halaman 287). Wallahu a'lam.

 

Zainuddin Lubis, Pegiat kajian Islam tinggal di Ciputat.