Tafsir

Tafsir Ekologis Surat Ar-Rum ayat 41: Larangan Merusak Lingkungan

Sen, 29 Januari 2024 | 17:30 WIB

Tafsir Ekologis Surat Ar-Rum ayat 41: Larangan Merusak Lingkungan

Alam. (Foto: NU Online/Freepik)

Topik mengenai lingkungan menjadi salah satu topik aktual dari beberapa topik yang lain, seperti globalisasi, HAM, demokratisasi dan kesetaraan gender. Terutama di era yang serba modern ini, dengan kemajuan berbagai aspek seperti aspek teknologi dan sebagainya, turut memberikan dampak serius terhadap kelestarian lingkungan. Pola pikir Masyarakat modern yang cenderung materialistis, menggiring mereka bersikap tidak acuh terhadap kelestarian lingkungan. 


Beberapa kasus lingkungan seperti pembalakan hutan, pembuangan sampah sembarangan, dan tindakan destruktif lainnya masih sering terjadi. Salah satu faktor yang menjadi pendorong terjadinya kasus ini, selain karena pola pikir yang materialistis, adalah aspek spiritual yang kurang mendapat perhatian. Sehingga, penulis tertarik untuk menguraikan penafsiran ulama’ terhadap ayat tentang larangan merusak lingkungan dalam Al-Qur’an.


Dalam Al-Qur’an, term kerusakan salah satunya diistilahkan dengan kata fasad (rusak). Dalam Lisanul ‘Arab, Ibnu Mandzur menyebutkan bahwa makna fasad adalah naqidlus shalah, yakni antonim dari kata shalah yang berarti baik. Sebagaimana kata fasad yang tertera dalam Q.S al-Maidah ayat 33 yang artinya, “Hukuman bagi orang-orang yang memerangi Allah dan rasul-Nya dan membuat kerusakan di bumi”. (Ibnu Mandzur, Lisanul ‘Arab, [Beirut: Dar Sadir, t.th], halaman 335).


Sedangkan kerusakan lingkungan sendiri, telah disinggung dalam Al-Qur’an secara tegas dalam Q.S ar-Rum ayat 41 sebagaimana berikut:


ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ (41)


Artinya: “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar Kembali (ke jalan yang benar).” (Q.S Ar-Rum [30]: 41)


Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengutip riwayat Ibnu Abbas dan Ikrimah, bahwa yang dimaksud dengan “al-barri” pada ayat di atas adalah tempat yang datar, sedangkan “al-bahri” bermakna kota-kota besar dan perkampungan. Sebagian pendapat juga ada yang menyatakan bahwa maksud dari “al-barri” adalah darat sebagaimana yang kita diketahui, demikian pula “al-bahri” adalah laut yang sudah kita ketahui. Adapun tafsir kata “fasad” (kerusakan) yakni tidak adanya hujan disertai kekeringan dan hewan-hewan laut yang tidak dapat melihat. (Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’anul ‘Adzim, [Beirut: Darul Fikr, 1994], halaman 526)


Terlepas dari perbedaan tersebut, mufassir kontemporer, Imam al-Maraghi dalam tafsirnya menyebutkan, 


ظَهَرَ الْفَسَادُ فِى الْعَالَمِ بِالْحُرُوْبِ وَالْغَارَاتِ، وَالْجُيُوْشِ وَالطَّائِرَاتِ، وَالسَّفَنِ الْحَرْبِيَّةِ وَالْغَوَاصَاتِ، بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِى النَّاسِ مِنَ الظُلْمِ وَكَثَّرَهُ الْمَطَامِعُ، وَانْتِهَاكُ الْحُرُمَاتِ، وَعَدَمُ مُرَاقَبَةِ الْخَلاَّقِ، وَطَرْحُ اْلأَدْيَانِ وَرَاءَ ظُهُوْرِهِمْ، وَنِسْيَانُ يَوْمِ الْحِسَابِ، وَأُطْلِقَتِ النُّفُوْسُ مِنْ عِقَالِهَا، وَعَاثَتْ فِى الْأَرْضِ فَسَادًا، إِذْ لَا رَقِيْبَ مِنْ وَازِعِ نَفْسِى، وَلاَ حَسِيْبَ مِنْ دِيْنٍ يَدْفَعُ عَادِيَتَهَا، وَيَمنَعُ أَذَاهَا، فَأَذَاقَهُمُ اللهُ جَزَاءَ بَعْضِ مَا عَمِلُوْا مِنَ الْمَعَاصِي وَالْآثَامِ، لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُوْنَ عَنْ غَيِّهِمْ، وَيَثُوْبُوْنَ إِلَى رُشْدِهِمْ


Artinya: “Kerusakan di bumi telah tampak disebabkan oleh peperangan dahsyat, tentara-tentara dengan pesawat dan kapal tempurnya. Kerusakan tersebut adalah ulah manusia yang dzalim, dan tamak, suka melanggar larangan dan kurangnya muraqabah kepada Sang Khaliq. Mereka mengabaikan ajaran-ajaran agama, lalai akan adanya hari kebangkitan dan dilumuri oleh hawa nafsu. Sehingga, suka berbuat kerusakan di bumi karena jiwa mereka tidak terkontrol, tidak menghiraukan agama yang dapat mencegah kebiasaan dan penderitaannya. Kemudian, Allah turunkan adzab sebagai balasan atas perbuatan maksiat dan dosa yang mereka lakukan, agar mereka keluar dari kedzaliman dan menuju pada kebenaran.” (Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, [Mesir: Al-Babil Halabi, 1946], halaman 1946)


Jadi, dapat dipahami bahwa kerusakan yang terjadi di bumi, selain karena bencana alam, juga dipicu oleh ulah manusia yang menyebabkan Allah murka dan mendatangkan adzab kepada mereka. Oleh sebab itu, Al-Qur'an juga secara tegas menginformasikan larangan untuk berbuat kerusakan di bumi sebagaimana termaktub dalam surat Al-A’raf ayat 56:


وَلَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ بَعْدَ إِصْلَاحِهَا وَادْعُوهُ خَوْفًا وَطَمَعًا إِنَّ رَحْمَتَ اللَّهِ قَرِيبٌ مِنَ الْمُحْسِنِينَ (56)


Artinya: “Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah (diciptakan) dengan baik. Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya Rahmat Allah sangat dekat kepada orang yang berbuat kebaikan.” (Q.S Al-A’raf [7]: 56)


Dalam menafsiri ayat ini Ibnu Jarir Ath-Thabari memaknai kalimat wala tufsidu dengan larangan untuk tidak berbuat syirik kepada Allah dan berbuat kemaksiatan di bumi setelah diciptakannya dengan baik. Ath-Thabari berpendapat, maksud dari ayat “setelah diciptakan dengan baik” ialah setelah Allah mengutus para Rasul yang menyeru kepada kebenaran dan yang menyampaikan dalil-dalil akan kebesaran Allah swt. (Ibnu Jarir Ath-Thabari, Jami’ul Bayan fi Ta’wilil Qur’an [Beirut: Muassasah Ar-Risalah, 2000], halaman 487)
 

Penafsiran yang lebih komprehensif lagi dapat ditemukan dalam kitab-kitab kontemporer, salah satunya adalah tafsir al-Munir karya Wahbah Zuhaili. Beliau mengkategorikan ayat ini masuk dalam bab Tahrimul Ifsad fil Ardhi (keharaman merusak bumi). Wahbah Zuhaili menyatakan bahwa larangan kerusakan di sini mencakup hal-hal yang bersifat materi dan maknawi seperti pertanian, pembangunan dan perdagangan, juga akhlak yang terdidik, keadilan, musyawarah, tolong-menolong dan saling menyayangi. Sehingga, melalui ayat tersebut Allah melarang merusak pada hal-hal yang telah disebutkan ini. (Wahbah Zuhaili, Tafsir Al-Munir fil Aqidah Was Syari’ah, Wal Minhaj [Damaskus: Darul Fikr, 1418 H], halaman   243)


Sementara itu, kata ifsad sendiri menurut Wahbah Zuhaili mencakup makna yang lebih luas, sebagaimana ibarat berikut:


وَاْلِإفْسَادُ شَامِلُ إِفْسَادِ الْأَدْيَانِ بِالْكُفْرِ وَالْبِدعَةِ ، وَإِفْسَادِ النُّفُوْسِ بِالْقَتْلِ وَبِقَطْعِ الْأَعْضَاءِ ، وَإِفْسَادِ الْأَمْوَالِ بِالْغَصْبِ وَالسَّرِقَةِ وَالْاِحْتِيَالِ ، وَإِفْسَادِ الْعُقُوْلِ بِشُرْبِ الْمُسْكِرَاتِ وَنَحْوِهَا ، وَإِفْسَادِ الْأَنْسَابِ بِالْإقْدَامِ عَلىَ الزِّنَى وَاللَّوَّاطَةِ وَالْقَذْفِ


Artinya: “Kata ifsad mencakup rusaknya agama karena sebab kekufuran dan bid’ah, juga mencakup rusaknya diri karena sebab peperangan dan terputusnya anggota badan, juga kerusakan pada harta disebabkan ghasab, mencuri, dan berbuat dusta, dan mencakup rusaknya akal sebab minuman keras dan selainnya. Kemudian, rusaknya nasab disebabkan zina, sodomi dan qadzaf (tuduhan zina)” (Wahbah Zuhaili, Tafsir Al-Munir fil Aqidah Was Syari’ah, Wal Minhaj [Damaskus: Darul Fikr, 1418 H], halaman   243)


Jika dianalisa, kerusakan yang dimaksud pada ayat tersebut bukan hanya pada kesyirikan melainkan juga berhubungan dengan hal-hal yang menjadi dasar untuk melanjutkan hidup salah satunya adalah lingkungan. Dalam pertanian misalnya, jika kerusakan hutan terus menerus dilakukan atau pembuangan sampah sembarangan tidak ada hentinya, maka akan sulit untuk menumbuhkan padi serta tanaman-tanaman lain yang dapat memberi manfaat kepada manusia. Sebab, salah satu dampak membuang sampah sembarangan ialah tercemarnya air dan dapat merusak tumbuh-tumbuhan.


Walhasil dari beberapa penjelasan ini, dapat dipahami bahwa Allah sangat melarang hamba-hamba-Nya untuk berbuat kerusakan. Kerusakan di sini mencakup hal-hal yang tidak disukai oleh Allah seperti syirik, berbuat dosa, bid’ah dan termasuk juga merusak lingkungan. Untuk itu, merusak lingkungan seperti pembalakan hutan secara liar yang dapat menyebabkan gejala panas dan kesuburan tanah yang terancam, pembuangan sampah yang dampaknya pada pencemaran air serta tindakan destruktif lainnya terhadap alam dan lingkungan, sangat dilarang dalam Islam dan dibenci oleh Allah swt.


Lukman Hakim, Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya