Tafsir

Tafsir Surat Al-Anbiya Ayat 7: Keharusan Bertanya pada Orang yang Kompeten

Sab, 2 September 2023 | 10:00 WIB

Tafsir Surat Al-Anbiya Ayat 7: Keharusan Bertanya pada Orang yang Kompeten

Tafsir Surat Al-Anbiya Ayat 7: Keharusan Bertanya pada Orang yang Kompeten. (Foto: NU Online/Faizin)

Malu bertanya, sesat di jalan”. Mungkin kata-kata ini sangat tepat untuk menggambarkan betapa pentingnya bertanya pada orang yang lebih tahu tentang ilmu pengetahuan dan suatu pengalaman. Tanpa bertanya, maka selama-lamanya tidak akan tahu, dan dengan bertanya, maka segala yang tidak diketahui akan menjadi tahu.


Namun tidak hanya tentang itu, bertanya juga harus pada orang yang tepat agar jawaban yang didapat tidak sesat. Kita tidak diperbolehkan bertanya pada sembarang orang yang tidak memiliki kompeten perihal apa yang ditanyakan, tidak menguasai materi yang ditanya, atau juga tidak memiliki pengalaman sama sekali tentang apa yang sedang dihadapi.


Nah, berikut ini penulis akan menjelaskan tafsir surat Al-Anbiya ayat 7, yang menjelaskan tentang keharusan bertanya pada orang-orang yang memiliki kompetensi perihal apa yang ditanyakan. Dalam Al-Qur’an Allah swt berfirman:


وَما أَرْسَلْنا قَبْلَكَ إِلاَّ رِجالاً نُوحِي إِلَيْهِمْ فَسْئَلُوا فَاسْأَلُواْ أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ


Artinya, “Dan Kami tidak mengutus (rasul-rasul) sebelum engkau (Muhammad), melainkan beberapa orang laki-laki yang Kami beri wahyu kepada mereka, maka tanyakanlah kepada orang yang berilmu, jika kamu tidak mengetahui.


Sebab Turunnya Ayat (Asbabun Nuzul)

Imam Abu Abdillah Syamsuddin al-Qurthubi (wafat 671 H) dalam kitab tafsirnya menjelaskan bahwa ayat ini diturunkan Allah sebagai jawaban atas argumentasi orang-orang kafir yang meragukan kenabian Nabi Muhammad dan menyangsikan kerasulannya. Mereka menganggap bahwa nabi itu harus dari golongan para malaikat, bukan manusia biasa sebagaimana Nabi Muhammad.


Argumentasi tersebut kemudian mendapatkan respon dari Allah swt berupa ayat ini, sebagai perbandingan antara Nabi Muhammad dengan nabi-nabi sebelumnya, di mana para nabi sebelumnya juga sama sepertinya. Mereka sama-sama manusia biasa, bukan dari kalangan malaikat. Hanya saja Allah memberikan mereka wahyu untuk disebarkan dan diajarkan kepada umatnya.


Penyebutan beberapa laki-laki (illa rijâlan) adalah untuk menunjukkan bahwa para nabi terdahulu juga manusia sebagaimana Nabi Muhammad. Hanya saja, yang membedakan dari manusia pada umumnya adalah para nabi oleh Allah diberi wahyu sedangkan manusia selain nabi tidak.


Dengan demikian, ayat ini menegaskan bahwa para nabi bukanlah malaikat, karena disebutkan dengan kata laki-laki, yang menunjukkan bahwa mereka berasal dari jenis manusia. (Imam al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, [Riyadh, Daru Alimil Kitab: 2003], juz XI, halaman 272).


Ragam Tafsir Fas’alû Ahlad Dzikri

Setelah Allah membantah argumentasi orang kafir Quraisy yang mengatakan bahwa Nabi Muhammad harus berasal dari golongan malaikat, Allah juga menegaskan untuk bertanya kepada ahlad dzikri, yaitu para ahli Taurat dan Injil (Yahudi dan Nasrani) yang telah beriman kepada Nabi Muhammad.


Hal itu karena mereka benar-benar paham dan tahu betul tentang kisah para nabi terdahulu yang belum dikenal oleh bangsa Arab. Pendapat ini sebagaimana disebutkan oleh Syekh Muhammad Sayyid at-Thanthawi dalam kitab tafsirnya, ia mengatakan:


يُرِيْدُ أَهْل التَّوْرَاةِ وَالْإِنْجِيْلِ الَّذِيْنَ آمَنُوْا بِالنَّبِى وَسَمَّاهُمْ أَهْلَ الذِّكْرِ، لِأَنَّهُمْ كَانُوْا يَذْكُرُوْنَ خَبَرَ الْأَنْبِيَاءِ مِمَّا لَمْ تَعْرِفْهُ الْعَرَبُ


Artinya, “Yang dikehendaki (dari ahlidz-dzikri) adalah ahli Taurat dan Injil yang telah beriman kepada Nabi Muhammad saw. Mereka disebut ahludz-dzikri karena mereka tahu tentang sejarah para nabi terdahulu, yang tidak diketahui oleh orang-orang Arab.” (Syekh at-Thanthawi, Tafsir al-Wasith lil Qur’anil Karim, [Mesir, Daru Nahdlah: tt], halaman 2883).


Sedangkan tujuan Allah menyuruh orang kafir Quraisy untuk bertanya kepada mereka (umat terdahulu), tujuannya tidak lain agar keraguan-keraguan dalam diri mereka hilang, dan agar benar-benar yakin bahwa utusan Allah yang diberi wahyu merupakan manusia, bukan malaikat sebagaimana yang mereka yakini.


فَاللهُ يَأْمُرُهُمْ أَنْ يَسْأَلُوْا عُلَمَاءَ الْكُتُبِ السَّابِقَةِ عَنْ حَالِ الرُّسُلِ الْمُتَقَدِّمَةِ لِتَزُوْلَ عَنْهُمُ الشُّبْهَةُ وَلِيَعْلَمُوْا أَنَّ رُسُلَ اللهِ الْمُوْحَى إِلَيْهِمْ كَانُوْا بَشَرًا وَلَمْ يَكُوْنُوْا مَلاَئِكَةً كَمَا اعْتَقَدُوْا


Artinya, “Allah memerintahkan mereka (kafir Quraisy) untuk bertanya kepada ahli kitab terdahulu tentang para rasul terdahulu agar keraguan hilang dari mereka, dan juga agar mereka tahu bahwa utusan Allah yang diutus kepada mereka juga manusia, bukan malaikat sebagaimana yang mereka yakini.” (Syekh Wahbah Zuhaili, Tafsir al-Munir fil Manhaj was Syari’ah wal Manhaj, [Damaskus, Darul Fikr: 1418], juz XVII, halaman 19).


Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa perintah untuk bertanya kepada ahlud-dzikri (ahli Taurat dan Injil) seperti Waraqah bin Naufal dan lainnya, hanya bagi orang-orang yang meyakini bahwa Nabi Muhammad harus berasal dari golongan malaikat, bukan manusia. Tentu ini bukan pertanyaan yang berkaitan dengan hukum Islam, aqidah, dan lain sebagainya, tetapi hanya fokus pada kemanusiaan para nabi terdahulu, bahwa mereka juga manusia bukan malaikat.


Sementara itu, menurut Imam Abu Abdillah Syamsuddin al-Qurthubi (wafat 671 H) dalam kitab tafsirnya, dengan mengutip pendapat Ibnu Zaid, mengatakan bahwa yang dimaksud dengan ahlud-dzikri dalam ayat di atas adalah orang-orang yang paham betul pada Al-Qur’an,


قَالَ ابْنُ زَيْدٍ: أَرَادَ بِالذِّكْرِ الْقُرْآنَ؛ أي فَاسْأَلُوْا الْمُؤْمِنِيْنَ الْعَالِمِيْنَ مِنْ أَهْلِ الْقُرْآنِ


Artinya, “Ibnu Zaid berkata: yang dimaksud kata dzikri adalah Al-Qur’an; maksudnya, maka tanyakanlah kepada orang-orang mukmin berilmu dari ahli Al-Qur’an.” (Imam al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, [Riyadh, Daru Alamil Kutub: tt], juz XI, halaman 272).


Dari beberapa penjelasan ini, dapat diketahui betapa Al-Qur’an benar-benar menjaga kompetensi setiap orang. Mereka yang tidak paham betul tentang suatu materi, maka kita tidak bertanya kepadanya. Kita harus benar-benar tepat dalam mencari sosok seorang guru untuk mengambil ilmu kepadanya. Karena itu, ketika berhubungan dengan status kemanusiaan nabi, Allah memerintahkan manusia untuk bertanya kepada ahli kitab yang tahu betul bahwa para nabi terdahulu juga manusia biasa yang diberi wahyu oleh Allah swt. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.


Sunnatullah, Pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam Durjan Kokop Bangkalan Jawa Timur