Tafsir

Tafsir Surat Al-Baqarah 213: Tujuan Diutusnya Nabi dan Diturunkannya Kitab

Kam, 21 Desember 2023 | 19:00 WIB

Tafsir Surat Al-Baqarah 213: Tujuan Diutusnya Nabi dan Diturunkannya Kitab

Kitab Al-Qur'an. (Foto: NU Online/Freepik)

Berikut ini adalah teks, terjemahan, dan kutipan sejumlah tafsir ulama atas surat al-Baqarah ayat 213:


كَانَ ٱلنَّاسُ أُمَّةٗ وَٰحِدَةٗ فَبَعَثَ ٱللَّهُ ٱلنَّبِيِّـۧنَ مُبَشِّرِينَ وَمُنذِرِينَ وَأَنزَلَ مَعَهُمُ ٱلۡكِتَٰبَ بِٱلۡحَقِّ لِيَحۡكُمَ بَيۡنَ ٱلنَّاسِ فِيمَا ٱخۡتَلَفُواْ فِيهِۚ وَمَا ٱخۡتَلَفَ فِيهِ إِلَّا ٱلَّذِينَ أُوتُوهُ مِنۢ بَعۡدِ مَا جَآءَتۡهُمُ ٱلۡبَيِّنَٰتُ بَغۡيَۢا بَيۡنَهُمۡۖ فَهَدَى ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لِمَا ٱخۡتَلَفُواْ فِيهِ مِنَ ٱلۡحَقِّ بِإِذۡنِهِۦۗ وَٱللَّهُ يَهۡدِي مَن يَشَآءُ إِلَىٰ صِرَٰطٖ مُّسۡتَقِيمٍ 


Kânan-nâsu ummatan wâḫidah, fa ba‘atsallâhun-nabiyyîna mubasysyirîna wa mundzirîna wa anzala ma‘ahumul-kitâba bil-ḫaqqi liyaḫkuma bainan-nâsi fîmakhtalafû fîh, wa makhtalafa fîhi illalladzîna ûtûhu mim ba‘di mâ jâ'at-humul-bayyinâtu baghyan bainahum, fa hadallâhulladzîna âmanû limakhtalafû fîhi minal-ḫaqqi bi'idznih, wallâhu yahdî man yasyâ'u ilâ shirâthim mustaqîm


Artinya: “Manusia itu (dahulunya) umat yang satu (dalam ketauhidan). (Setelah timbul perselisihan,) lalu Allah mengutus para nabi (untuk) menyampaikan kabar gembira dan peringatan. Allah menurunkan bersama mereka Kitab yang mengandung kebenaran untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. Tidak ada yang berselisih tentangnya, kecuali orang-orang yang telah diberi (Kitab) setelah bukti-bukti yang nyata sampai kepada mereka, karena kedengkian di antara mereka sendiri. Maka, dengan kehendak-Nya, Allah memberi petunjuk kepada mereka yang beriman tentang kebenaran yang mereka perselisihkan. Allah memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki ke jalan yang lurus (berdasarkan kesiapannya untuk menerima petunjuk)”.


Ragam Tafsir Al-Baqarah 213

Imam As-Suyuthi dalam Tafsirul Jalalain menjelaskan secara ringkas maksud ayat ini bahwa dahulunya umat manusia merupakan umat yang satu kesatuan dalam keimanan. Dengan seiring berjalannya waktu, manusia berselisih, sehingga sebagian dari mereka tetap beriman dan sebagian yang lain menjadi kufur. Kemudian Allah mengutus para nabi setelahnya sebagai pembawa kabar gembira dan peringatan serta menurunkan bersama mereka kitab-kitab sebagai pemutus hukum dan penjelas di antara manusia yang berselisih. Namun, meski setelah datangnya utusan yang membawa kebenaran, sebagian dari mereka ada yang tetap dalam kekufuran karena sifat dengki yang mereka miliki.


Maka kemudian Allah menegaskan bahwa, Ia memberi petunjuk kepada orang-orang yang beriman terhadap  yang diperselisihkan itu dan menegaskan bahwa Ia memberi petunjuk kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya. (As-Suyuthi, Tafsirul Jalalain pada Hasyiah As-Sawi, [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyah, 2013 M], juz I, hal 129).


Sebagaimana penjelasan As-Suyuthi ini, umat manusia dahulunya merupakan umat yang memiliki keimanan satu yaitu mentauhidkan dan meng-esakan Allah. Namun, kemudian mereka berselisih dan mengakibatkan perpecahan. Lalu kapankah umat manusia mulai berselisih?. Dalam hal ini, Ibnu Katsir dalam tafsirnya menyebutkan  riwayat yang menjelaskan 10 generasi di antara nabi Nuh dan Adam as masih dalam syariat yang benar. Kemudian mereka berselisih sehingga Allah menurunkan para nabi untuk kembali meluruskan mereka ke dalam syariat yang benar.


Ibnu Katsir berkata:


قَالَ ابْنُ جَرِيرٍ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ، حَدَّثَنَا أَبُو دَاوُدَ، أَخْبَرَنَا هَمَّامٌ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ عِكْرِمَةَ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: كَانَ بَيْنَ نُوحٍ وَآدَمَ عَشَرَةُ قُرُونٍ، كُلُّهُمْ عَلَى شَرِيعَةٍ مِنَ الْحَقِّ، فَاخْتَلَفُوا، فَبَعَثَ اللَّهُ النَّبِيِّينَ مُبَشِّرِينَ وَمُنْذِرِينَ 


Artinya: “Ibnu Jarir berkata: menceritakan kepadaku Muhammad bin Basyar, menceritakan kepadaku Abu Daud, mengkhabarkan kepadaku Hammam dari Qatadah, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas berkata: Dahulu, 10 generasi yang terletak antara nabi Nuh dan Adam semuanya dalam satu syariat yang benar. Kemudian mereka berselisih dan Allah mengirimkan para nabi sebagai pembawa kabar gembira dan peringatan”. (Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’anul Adzim, [Riyadh, Dar Thayyibah linnasyri wa Tauzi’: 1999 M/ 1420 H] juz I, hal 569).


Sementara itu, dalam tafsirnya, Syekh Nawawi Al-Bantani menghubungkan ayat ini dan ayat sebelumnya. Ia menjelaskan dahulu, umat manusia anak keturunan nabi Adam itu berada dalam satu kesatuan. Ia menjelaskan bahwa sebab perselisihan yang terjadi di antara umat manusia yang timbul kemudian hari sehingga menimbulkan perpecahan ialah hasud dan dengki yang terjadi di antara mereka serta pertikaian yang terjadi karena kecintaan mereka terhadap dunia. Meski kemudian diutus kepada mereka nabi dan diturunkan kitab sebagai petunjuk, mereka tetap dalam kesesatan sebab sifat hasud dan kecintaan mereka terhadap dunia itu. (Al-Bantani, Marah Labid, Juz I, hal 50).


Dalam hal ini, Syekh Nawawi mengarahkan fokus penafsirannya kepada para pimpinan orang-orang kafir saat itu pada ayat sebelumnya. Dan pada ayat ini Syekh Nawawi kemudian menghubungkannya dengan bagaimana Allah setelahnya memberikan petunjuk kepada orang-orang beriman terhadap apa yang diperselisihkan.


Syekh Nawawi mengutip riwayat yang bersumber dari Ibnu Zaid berkata:


قال ابن زيد: اختلفوا في القبلة، فصلّت اليهود إلى بيت المقدس، والنصارى إلى المشرق، فهدانا الله للكعبة. واختلفوا في الصيام، فهدانا الله لشهر رمضان. واختلفوا في إبراهيم، فقالت اليهود: كان يهوديا. وقالت النصارى: كان نصرانيا. فقلنا: إنه كان حنيفا مسلما. واختلفوا في عيسى فاليهود فرطوا حيث أنكروا نبوته ورسالته، والنصارى أفرطوا حيث جعلوه إلها. وقلنا قولا عدلا وهو إنه عبد الله ورسوله


Artinya: “Ibnu Zaid berkata: mereka berselisih dalam kiblat, umat Yahudi menghadap Baitul Maqdis, umat Nasrani menghadap Timur, dan Allah memberi kita petunjuk untuk menghadap Ka’bah. Mereka berselisih dalam puasa, Allah memberi kita petunjuk untuk berpuasa di bulan Ramadhan. Mereka berselisih dalam masalah Ibrahim, umat Yahudi berkata: ia umat Yahudi. Umat Nasrani berkata ia umat Nasrani. Dan kita berkata ia adalah seorang yang muslim yang hanif. Mereka juga berselisih terkait Isa as. Umat Yahudi membuat kekeliruan dengan mengingkari kenabian dan kerisalahannya, umat Nasrani membuat kekeliruan dengan menjadikannya Tuhan. Sedangkan kita mengucapkan kebenaran yaitu bahwa Isa as ialah hamba Allah dan utusan-Nya.”. (Al-Bantani, 50).


Kesimpulan yang dapat diambil dari penjelasan di atas ialah kita harus menjauhi sifat-sifat buruk yang seperti hasud, iri, dengki dan cinta dunia serta tidak menerima kebenaran. Sebab itu semua dapat menyebabkan kehancuran bagi diri sendiri, serta perpecahan dengan orang lain. Wallahu a’lam


Alwi Jamalulel Ubab, Mahasantri Ma'had Aly Saidussidiqiyah, Jakarta