Tafsir

Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 13

Ahad, 21 Juni 2020 | 17:30 WIB

Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 13

Ragam tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 13

وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ آمِنُوا كَمَا آمَنَ النَّاسُ قَالُوا أَنُؤْمِنُ كَمَا آمَنَ السُّفَهَاءُ أَلَا إِنَّهُمْ هُمُ السُّفَهَاءُ وَلَكِنْ لَا يَعْلَمُونَ


Wa idzā qīla lahum ‘āminū kamā āmanan nāsu,’ qālū ‘anu’minu kamā āmanas sufahā’u.’ Alā innahum humus sufahā’u wa lākil lā yasy‘urūna.


Artinya, “Bila dikatakan kepada mereka, ‘Berimanlah kalian sebagaimana sebagian manusia lain beriman,’ mereka menjawab, ‘Apakah kami harus beriman sebagaimana orang-orang bodoh beriman?’ Ketahuilah, mereka itulah orang-orang bodoh. Tetapi mereka tidak mengatahuinya.”


Ragam Tafsir

At-Thabari mengatakan dalam tafsirnya, Jami‘ul Bayān fī Ta’wīlil Qur’an, pengertian ayat ini adalah “Jika dikatakan kepada mereka, ‘Benarkanlah Muhammad, kenabiannya, dan kabar dari Allah yang dibawa olehnya sebagaimana sebagian orang  membenarkannya.’” “Mereka” di sini adalah orang yang disifatkan Allah sebelumnya dengan kalimat “Kami beriman kepada Allah dan hari akhir,” padahal mereka tidak beriman. Sedangkan “sebagian orang” adalah para sahabat rasul.


Ibnu Abbas RA, dikutip Ibnu Jarir At-Thabari, menafsirkan ayat ini, “Jika dikatakan kepada mereka, ‘Benarkanlah Muhammad sebagaimana sahabatnya membenarkannya. Katakanlah bahwa ia nabi dan rasul. Apa yang disampaikannya adalah kebenaran. Benarkanlah akhirat. Kalian akan dibangkitkan setelah kematian.’”


Ibnu Jarir mengatakan, “an-nas” menujukkan semua manusia. Padahal yang beriman adalah sebagian orang. Maksud dari ini adalah karena sebagian orang yang beriman itu telah mereka kenal semua. maknanya seolah, “Berimanlah kamu sebagaimana orang yang telah kalian kenal itu beriman dengan yakin, yaitu iman kepada Allah, Muhammad SAW, kabar yang disampaikan Muhammad, dan hari akhir.” Kata “al” pada “nās” yang menunjukkan makna semua manusia itu adalah semua manusia yang telah dikenal dengan baik oleh mukhatab ata lawan bicara Al-Qur’an.


“As-Sufaha” adalah bentuk jamak dari “as-safīh” yang berarti orang bodoh, lemah daya pikir, dan sedikit pengetahuan perihal manfaat dan mudharat. Jadi maknanya, “Apakah kami harus berima sebagaimana orang yang tidak berakal dan tidak berpaham itu beriman?” dan orang bodoh ini tidak lain lain adalah para sahabat rasul. Kata Abdurrahman bin Zaid bin Aslam, “Itulah jawaban orang munafik Madinah. Yang mereka maksud adalah para sahabat nabi.” Sahabat Ibnu Abbas pun menafsirkan demikian karena hakikat orang munafik berbeda keyakinan dengan para sahabat.


Imam At-Thabari mengatakan, ini merupakan informasi dari Allah perihal sifat-sifat orang munafik, yaitu keraguan dan pengingkaran. Tetapi sebenarnya mereka itulah yang bodoh pada agama mereka, kelemahan daya pikir pada akidah dan keyakinan pilihan mereka. Mereka ragu perihal Allah, rasulullah, kenabian Rasulullah, kabar yang berasal dari Allah, dan masalah kebangkitan karena keburukan mereka terhadap diri mereka sendiri atas perbuatan yang mereka lakukan. Tetapi mereka merasa bahwa mereka telah berbuat baik terhadap diri mereka.


Mereka bukan sekadar orang bodoh, tetapi inti kebodohan. Orang bodoh berbuat mafsadat dan mengira telah berbuat kemaslahatan; dan menyia-nyiakan seraya merasa telah menjaga. Demikian juga dengan orang munafik. Mereka hakikatnya bermaksiat kepada Allah seraya merasa berbuat taat; mengingkari Allah sambil merasa telah beriman; dan berbuat buruk terhadap diri mereka seraya merasa telah berbuat baik.


Imam Al-Baghowi dalam tafsirnya, Ma’alimut Tanzil fi Tafsiril Qur’an, mengatakan bahwa ayat ini ditujukan kepada orang munafik Madinah. Sebagian ahli tafsir mengatakan, ayat ini ditujukan kepada orang orang Yahudi sehingga “sebagian orang” yang dimaksud adalah Abdullah bin Salam dan ahli kitab lain yang beriman. Tetapi sebagian ahi tafsir mengatakan “sebagian orang” di sini adalah kelompok Muhajirin dan Anshor.


Bagaimana bisa kemunafikan dinyatakan? Kalimat kemunafikan ini disampaikan di tengah mereka, bukan di hadapan orang-orang beriman. Allah kemudian memberitahukan nabinya dan orang beriman. Sementara “as-safih” adalah kelemahan dan ketipisan akal. Ada juga ulama yang mengartikan “as-safih” adalah orang yang percaya diri mendustakan sesuatu yang berbeda dari apa yang ia ketahui.


Al-Baidhawi dalam tafsirnya, Anwārut Tanzīl wa Asrārut Ta’wīl, mengatakan, hamzah pada “anu’minu” bermakna ingkar. Orang-orang munafik itu mengingkari perintah iman karena kerusakan aqidah mereka dan karena penghinaan terhadap orang yang beriman. Pasalnya kebanyakan orang beriman di Madinah adalah orang-orang fakir. Sebagian dari mereka bahkan berstatus budak seperti Shuhaib dan Bilal.


Bisa jadi pengingkaran itu bermakna menahan diri dan tidak peduli terhadap mereka yang beriman dari kalangan mereka, yaitu Abdllah bin Salam dan sahabatnya. Sementara “As-Safih” bermakna keringanan dan kelemahan pikiran yang terjadi karena kekurangan daya akal. 


Ayat ini menjelaskan bahwa orang bodoh dan yakin pada kebodohannya di mana keyakinannya menyalahi apa yang sebenarnya adalah orang paling sesat dan paling dungu daripada orang bodoh yang menahan diri dan mengakui ketidaktahuannya. Orang bodoh yang disebut kedua kadang bisa disebut uzur dan masih dapat diperingati serta masih bermanfaat ayat-ayat Al-Qur’an padanya.


Pertimbangan pada soal agama dan pembedaan mana hak dan mana batil membutuhkan analisa dan pikiran. Adapun kemunafikan berikut fitnah dan mafsadatnya dapat diketahui dengan pandangan sekilas dari ucapan dan perbuatan orang munafik yang terlihat. (Al-Baidhawi) Wallahu a‘lam. (Alhafiz Kurniawan)