Tafsir Surat An-Nisa’ Ayat 135: Keadilan sebagai Pilar Utama dalam Islam
NU Online · Kamis, 29 Agustus 2024 | 10:00 WIB
Zainuddin Lubis
Penulis
Di suatu siang yang cerah, dua orang berperkara, dengan langkah berat datang mengadu kepada Rasulullah. Salah satu dari mereka berpakaian sederhana, wajahnya menunjukkan tanda-tanda kesusahan. Sementara yang satunya berpakaian mewah dengan penampilan yang mencolok. Mereka berdua berselisih, dan masing-masing menginginkan keputusan yang adil.
Ketika Rasulullah saw. mendengar permasalahan mereka, kata As-Sudi, dalam Tafsir Thabari, Nabi melihat bahwa si miskin tidak bersalah dan berada di pihak yang benar. "Pastilah orang ini tidak akan menzalimi yang kaya," pikir Rasulullah dalam hatinya. Keberpihakan ini lahir dari empati dan rasa kasihan yang mendalam terhadap si miskin.
Namun, tak lama setelah itu, Allah menurunkan wahyu kepada Rasulullah. Wahyu itu datang dalam bentuk firman Allah dalam Surat An-Nisa Ayat 135, yang berbunyi, "Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kalian orang-orang yang benar-benar menegakkan keadilan, menjadi saksi karena Allah." Firman ini mengingatkan Rasulullah akan pentingnya menegakkan keadilan tanpa memandang status sosial, baik terhadap si kaya maupun si miskin.
Rasulullah pun tersadar, dan dengan penuh keyakinan, beliau menyampaikan keputusan yang adil kepada kedua orang tersebut. Tidak ada lagi keberpihakan, hanya keadilan yang sejati. Keduanya pun menerima keputusan tersebut dengan lapang dada, merasa puas karena keadilan telah ditegakkan tanpa pandang bulu.
Lewat ayat itu, Allah mengingatkan Rasulullah bahwa keadilan tidak mengenal status sosial. Allah memerintahkan agar keadilan ditegakkan, baik kepada yang kaya maupun yang miskin, tanpa memihak kepada siapa pun. Nabi pun dengan tegas menyampaikan keputusan yang adil, membuat kedua belah pihak merasa puas. (Imam Thabari, Tafsir Jami'ul Bayan, [Makkah: Darul Tarbiyah wa Turats, t.t.], jilid IX, halaman 303).
Simak firman Allah berikut;
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُوْنُوْا قَوَّامِيْنَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاۤءَ لِلّٰهِ وَلَوْ عَلٰٓى اَنْفُسِكُمْ اَوِ الْوَالِدَيْنِ وَالْاَقْرَبِيْنَۚ اِنْ يَّكُنْ غَنِيًّا اَوْ فَقِيْرًا فَاللّٰهُ اَوْلٰى بِهِمَاۗ فَلَا تَتَّبِعُوا الْهَوٰٓى اَنْ تَعْدِلُوْاۚ وَاِنْ تَلْوٗٓا اَوْ تُعْرِضُوْا فَاِنَّ اللّٰهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُوْنَ خَبِيْرًا ١٣٥
yâ ayyuhalladzîna âmanû kûnû qawwâmîna bil-qisthi syuhadâ'a lillâhi walau ‘alâ anfusikum awil-wâlidaini wal-aqrabîn, iy yakun ghaniyyan au faqîran fallâhu aulâ bihimâ, fa lâ tattabi‘ul-hawâ an ta‘dilû, wa in talwû au tu‘ridlû fa innallâha kâna bimâ ta‘malûna khabîrâ
Artinya, "Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu penegak keadilan dan saksi karena Allah, walaupun kesaksian itu memberatkan dirimu sendiri, ibu bapakmu, atau kerabatmu. Jika dia (yang diberatkan dalam kesaksian) kaya atau miskin, Allah lebih layak tahu (kemaslahatan) keduanya. Maka, janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang (dari kebenaran). Jika kamu memutarbalikkan (kata-kata) atau berpaling (enggan menjadi saksi), sesungguhnya Allah Mahateliti terhadap segala apa yang kamu kerjakan."
Tafsir Al-Misbah
Profesor Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah, mengatakan bahwa tafsir Surat An-Nisa ayat 135, Allah memberikan perintah tegas kepada orang-orang beriman untuk menjadi penegak keadilan yang sejati.
Mereka diingatkan agar selalu menjadi saksi yang jujur dan adil karena Allah, tanpa memandang siapa yang terlibat, baik itu diri mereka sendiri, orang tua, maupun kerabat terdekat. (Tafsir Al-Misbah, [Ciputat: Penerbit Lentera Hati, 2002], jilid II, halaman 616).
Allah menyebutkan bahwa keadilan harus ditegakkan meski terhadap orang yang disayangi atau dihormati, seperti anak, saudara, atau teman. Bahkan jika orang yang terlibat adalah kaya atau miskin, yang mungkin dapat memengaruhi keputusan mereka, keadilan tetap harus dijaga dengan sebaik-baiknya.
Tidak boleh ada ruang bagi hawa nafsu atau kecenderungan pribadi untuk menyimpang dari kebenaran. Allah lebih mengetahui apa yang terbaik bagi mereka yang terlibat, dan keadilan yang ditegakkan karena Allah akan selalu membawa kebaikan.
Lebih lanjut, secara definisi adil, menurut Profesor Quraish Shihab, berarti menetapkan keputusan dengan benar sesuai ajaran Allah SWT, tanpa memihak kecuali kepada kebenaran. Keadilan juga menuntut agar sanksi hanya dijatuhkan kepada mereka yang melanggar, tanpa menganiaya meskipun terhadap lawan, dan tidak memihak, sekalipun kepada teman.
Pada sisi lain, 'Ali Ibn Muhammad Jurjani dalam kitab At-Ta'rifat, keadilan diartikan sebagai suatu keadaan yang berada di tengah-tengah antara dua ekstrem, yaitu berlebihan dan kekurangan. Keadilan mencerminkan keseimbangan dan keteguhan dalam bersikap, serta cenderung untuk berpihak pada kebenaran.
Dengan kata lain, keadilan adalah kemampuan untuk menjaga sikap yang seimbang dan lurus, tidak condong kepada sikap yang terlalu keras atau terlalu lemah, melainkan selalu berada di jalur yang benar dan adil. Simak penjelasan Jurjani berikut;
والعدل هو الأمر المتوسط بين طرفي الإفراط والتفريط، وهو الاعتدال والاستقامة والميل إلى الحق.
Artinya; "Keadilan adalah sesuatu yang berada di tengah-tengah antara dua sisi berlebihan dan kekurangan, yaitu keseimbangan, keteguhan, dan kecenderungan untuk berpihak pada kebenaran." (At-Ta'rifat, [Beirut: Darul Kutub Ilmiyah, 1983], halaman 152)
Selanjutnya, mengapa dalam surat An-Nisa' ayat 135 ini, Allah mendahulukan perintah untuk menegakkan keadilan [قَوَّامِيْنَ بِالْقِسْطِ] sebelum menyampaikan kesaksian [شُهَدَاۤءَ]? Quraish Shihab menjelaskan bahwa banyak orang mampu memerintahkan kebaikan kepada orang lain, tetapi ketika tiba waktunya untuk melaksanakan kebaikan tersebut dalam hidupnya sendiri, mereka sering lalai.
Ayat ini mengajarkan bahwa seseorang harus lebih dulu menegakkan keadilan dalam dirinya sebelum menjadi saksi yang bisa mendukung atau memberatkan orang lain. Hal ini menunjukkan bahwa keadilan harus dimulai dari diri sendiri sebagai langkah awal sebelum memberikan pengaruh kepada orang lain.
Penegakan keadilan tidak hanya dianggap penting dalam rangka mencegah mudharat bagi diri sendiri, tetapi juga sebagai dasar untuk mencegah bahaya yang bisa menimpa orang lain. Oleh karena itu, penegakan keadilan didahulukan dalam ayat ini karena mencegah kerugian bagi diri sendiri lebih diutamakan daripada menghindari kerugian bagi orang lain.
Selain itu, menegakkan keadilan memerlukan tindakan nyata dan fisik, sedangkan kesaksian hanya berupa ucapan. Dengan mengutip Fakhruddin Ar-Razi, Quraish Shihab menyatakan tindakan nyata dalam menegakkan keadilan memiliki bobot yang lebih berat daripada sekadar menyampaikan kata-kata dalam kesaksian.
Tafsir Qurthubi
Imam Qurthubi dalam Tafsir Jami' Li Ahkami Al-Qur'an menjelaskan bahwa firman Allah SWT, كُوْنُوْا قَوَّامِيْنَ بِالْقِسْطِ, merupakan perintah tegas untuk menegakkan keadilan. Keadilan ini harus dijalankan ketika seseorang memberikan kesaksian, termasuk ketika bersaksi atas dirinya sendiri.
Menjadi saksi atas diri sendiri berarti seseorang mengakui dan memenuhi hak-hak yang ada pada dirinya. Selanjutnya, Allah menyebutkan pentingnya bersikap adil terhadap kedua orang tua, karena berbuat baik kepada mereka adalah kewajiban yang sangat besar dalam Islam.
Ayat ini juga menekankan keadilan terhadap kaum kerabat, karena sifat kasih sayang dan fanatisme biasanya berawal dari hubungan keluarga. Oleh karena itu, seseorang dituntut untuk lebih memperhatikan keadilan dalam hubungan ini dan menjadi saksi yang jujur. Pembahasan dalam ayat ini berkaitan dengan menjaga hak-hak manusia, terutama dalam urusan yang berkaitan dengan harta.
أَيْ لِيَتَكَرَّرْ مِنْكُمُ الْقِيَامُ بِالْقِسْطِ، وَهُوَ الْعَدْلُ فِي شَهَادَتِكُمْ عَلَى أَنْفُسِكُمْ، وَشَهَادَةُ الْمَرْءِ عَلَى نَفْسِهِ إِقْرَارُهُ بِالْحُقُوقِ عَلَيْهَا. ثُمَّ ذَكَرَ الْوَالِدَيْنِ لِوُجُوبِ بِرِّهِمَا وَعِظَمِ قَدْرِهِمَا، ثُمَّ ثَنَّى بِالْأَقْرَبِينَ إِذْ هُمْ مَظِنَّةُ الْمَوَدَّةِ وَالتَّعَصُّبِ، فَكَانَ الْأَجْنَبِيُّ مِنَ النَّاسِ أَحْرَى أَنْ يُقَامَ عَلَيْهِ بِالْقِسْطِ وَيُشْهَدَ عَلَيْهِ، فَجَاءَ الْكَلَامُ فِي السُّورَةِ فِي حِفْظِ حُقُوقِ الْخَلْقِ فِي الْأَمْوَالِ
Artinya; "Yaitu agar kalian terus berulang kali menegakkan keadilan, yang merupakan keadilan dalam kesaksian kalian terhadap diri kalian sendiri. Kesaksian seseorang terhadap dirinya sendiri adalah pengakuan terhadap hak-hak yang ada atas dirinya. Kemudian di ayat ini disebutkan orang tua, karena kewajiban berbakti kepada mereka dan besarnya kedudukan mereka.
Setelah itu, disebutkan kerabat, karena mereka merupakan tempat yang biasanya ada kasih sayang dan kecenderungan untuk berpihak. Maka, orang asing lebih layak ditegakkan keadilan terhadapnya dan diberikan kesaksian atasnya. Oleh karena itu, dalam surah ini, disebutkan tentang menjaga hak-hak manusia dalam hal harta benda." (Tafsir Qurthubi, [Kairo: Darul Kutub Mishriyah, 1964 M], jilid V, halaman 410).
Tafsir Al-Munir
Sementara itu, Syekh Wahbah Zuhaili dalam Tafsirul Munir mengatakan ayat 153 menekankan pentingnya menegakkan keadilan dalam berbagai aspek kehidupan, baik dalam hukum, pekerjaan, maupun keluarga. Keadilan dalam ayat ini sifatnya universal, yang harus diterapkan oleh setiap orang, tanpa terkecuali.
Dalam konteks hukum, hakim diharuskan untuk bersikap adil terhadap semua pihak yang terlibat. Dalam dunia bisnis, seorang pengusaha harus memperlakukan karyawan dan pekerjanya dengan adil. Di dalam keluarga, seorang suami diharuskan untuk bersikap adil terhadap istri dan anak-anaknya dalam hal perlakuan dan pemberian.
Kesaksian yang benar dan jujur adalah kunci dalam menegakkan keadilan. Kesaksian harus diberikan murni karena Allah SWT, tanpa dipengaruhi oleh kepentingan pribadi atau bias tertentu.
Bahkan jika kesaksian itu memberatkan diri sendiri, orang tua, atau kerabat, hal tersebut harus dilakukan dengan jujur dan tanpa menyembunyikan kebenaran. Kesaksian yang benar adalah bentuk pengungkapan kebenaran yang sebenarnya, dan ini adalah bagian dari kewajiban seorang Muslim.
يأمر الله تعالى عباده المؤمنين أن يقوموا بالعدل، فلا تأخذهم في الله لومة لائم، وأن يتعاونوا ويتعاضدوا فيه. يا أيها المؤمنون كونوا مبالغين بإقامة العدل، والعدل عام شامل الحكم بين الناس من الحكام، والعمل في أي مجال، وفي الأسرة، فيسوي الحاكم أو الوالي أو الموظف بين الناس في الأحكام والمجالس وقضاء لحوائج، كما يسوي كل صاحب عمل بين عماله، وكما يسوي الرجل بين زوجاته وأولاده في المعاملة والهبة
Artinya; "Allah SWT memerintahkan orang yang beriman untuk menegakkan keadilan, dan janganlah mereka takut dalam menjalankan perintah Allah karena celaan orang lain. Mereka juga diperintahkan untuk saling tolong menolong dalam menegakkan keadilan. Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kalian orang-orang yang sangat berhati-hati dalam menegakkan keadilan."
Keadilan tersebut bersifat umum dan mencakup berbagai aspek, seperti dalam memutuskan perkara di antara manusia oleh para hakim, dalam bekerja di berbagai bidang, serta dalam keluarga. Seorang hakim, pemimpin, atau pegawai hendaknya menyamakan kedudukan semua orang dalam memberikan putusan, dalam majelis, dan dalam memenuhi kebutuhan mereka, sebagaimana seorang pemimpin perusahaan menyamaratakan perlakuannya kepada semua pekerjanya, dan sebagaimana seorang pria menyamaratakan perlakuan dan pemberian kepada istri-istri dan anak-anaknya. (Tafsirul Munir, [Beirut: Darul Fikr Mua'shirah, t.t.], jilid V, halaman 312).
Tak hanya itu, keadilan juga harus ditegakkan dalam memberikan kesaksian. Seseorang tidak boleh memihak kepada si kaya karena kekayaannya, atau merasa belas kasihan kepada si miskin karena kemiskinannya.
Semua keputusan dan kesaksian harus diserahkan kepada Allah SWT, yang lebih mengetahui apa yang terbaik bagi setiap individu. Allah SWT adalah penguasa yang mengetahui segala hal, termasuk apa yang membawa maslahat dan kebaikan bagi manusia.
Hawa nafsu sering kali menjadi penghalang dalam menegakkan keadilan. Oleh karena itu, seseorang harus berusaha menghindari mengikuti hawa nafsu yang dapat menyesatkan dari kebenaran.
Hawa nafsu, fanatisme, dan kebencian bisa mendorong seseorang untuk meninggalkan sikap adil, tetapi seorang Muslim harus tetap teguh dan konsisten dalam menegakkan keadilan, apa pun situasinya.
Pentingnya menegakkan keadilan juga ditegaskan dalam firman Allah SWT di Surah Al-Maidah Ayat 8. Allah SWT memerintahkan umat Muslim untuk selalu konsisten dalam menegakkan keadilan, tanpa memedulikan keadaan atau tekanan yang dihadapi, karena keadilan adalah jalan menuju ridha Allah.
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُوْنُوْا قَوَّامِيْنَ لِلّٰهِ شُهَدَاۤءَ بِالْقِسْطِۖ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَاٰنُ قَوْمٍ عَلٰٓى اَلَّا تَعْدِلُوْا ۗاِعْدِلُوْاۗ هُوَ اَقْرَبُ لِلتَّقْوٰىۖ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ خَبِيْرٌۢ بِمَا تَعْمَلُوْنَ
Artinya; Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu penegak (kebenaran) karena Allah (dan) saksi-saksi (yang bertindak) dengan adil. Janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlakulah adil karena (adil) itu lebih dekat pada takwa. Bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Teliti terhadap apa yang kamu kerjakan.
Dengan demikian, surat An-Nisa' ayat 153 berisi tentang pentingnya menegakkan keadilan dan menjadi saksi yang benar. Allah SWT memerintahkan orang-orang beriman untuk selalu bersikap adil dalam semua aspek kehidupan, tanpa diskriminasi.
Lebih jauh lagi, ayat ini menekankan bahwa keadilan harus ditegakkan bahkan jika itu melibatkan diri sendiri atau orang-orang terdekat, seperti orang tua dan kerabat. Status sosial, baik kaya maupun miskin, tidak boleh mempengaruhi penegakan keadilan.
Ustadz Zainuddin Lubis, Pegiat Kajian Islam, tinggal di Parung
Terpopuler
1
3 Jenis Puasa Sunnah di Bulan Muharram
2
Niat Puasa Muharram Lengkap dengan Terjemahnya
3
Innalillahi, Nyai Nafisah Ali Maksum, Pengasuh Pesantren Krapyak Meninggal Dunia
4
Keutamaan Bulan Muharram dan Amalan Paling Utama di Dalamnya
5
Khutbah Jumat: Persatuan Umat Lebih Utama dari Sentimen Sektarian
6
Innalillahi, Buya Bagindo Leter Ulama NU Minang Meninggal Dunia dalam Usia 91 Tahun
Terkini
Lihat Semua