Tafsir

Tafsir Surat an-Nisa’ Ayat 23, Daftar Perempuan yang Haram Dinikahi dalam Islam

Sen, 26 Juli 2021 | 01:00 WIB

Tafsir Surat an-Nisa’ Ayat 23, Daftar Perempuan yang Haram Dinikahi dalam Islam

Surat An-Nisa’ ayat 23 ini merupakan kelanjutan ayat 22 yang menjelas muharramātun nisā atau perempuan yang diharamkan dalam Islam

Berikut ini adalah teks, transliterasi, terjemahan, dan kutipan sejumlah tafsir ulama atas Surat An-Nisa’ ayat 23:


حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالَاتُكُمْ وَبَنَاتُ الْأَخِ وَبَنَاتُ الْأُخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللَّاتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللَّاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ، فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلَائِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلَابِكُمْ وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ الْأُخْتَيْنِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ، إِنَّ اللهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا


Hurrimat ‘alaykum ummahātukum wa banātukum wa akhawātukum wa‘ammātukum wa khālātukum wa banātul akhi wa banātul ukhti wa ummahātukumul lātī ardha’nakum wa akhawātukum minar radhā’ah wa ummahātu nisā’ikum wa rabā’ibukumul lātī fi hujūrikum min nisā’ikumul lātī dakhaltum bihinna, fa ’il lam takūnū dakhaltum bihinna fa lā junāha ‘alaykum wa halā’ilu abnā’ikumul ladzīna min ashlābikum wa an tajma’ū baynal ukhtayni illā mā qad salaf. Innallāha kāna ghafūrar rahīmā.


Artinya, “Diharamkan bagi kalian menikahi (1) ibu-ibu kalian; (2) anak-anak perempuan kalian; (3) saudara-saudara perempuan kalian; (4) bibi-bibi dari jalur ayah kalian; (5) bibi-bibi dari jalur ibu kalian; (6) anak-anak perempuan dari saudara laki-laki kalian; (7) anak-anak perempuan dari saudara perempuan kalian; (8) ibu-ibu susuan kalian; (9) saudara-saudara perempuan kalian dari satu susuan; (10) ibu-ibu dari para istri kalian; (11) anak-anak tiri kalian yang dalam perawatan kalian dari para istri yang telah kalian setubuhi, bila kalian belum menyetubuhinya, maka tidak ada dosa bagi kalian untuk menikahi anak tiri kalian dari mereka; (12) para istri dari anak laki-laki kalian yang dari anak kandung kalian (bukan anak adopsi); dan (13) diharamkan bagi kalian mengumpulkan dua saudara perempuan dalam satu pernikahan; kecuali pernikahan terhadap para perempuan tersebut pada zaman Jahiliyah yang telah lewat. Sungguh Allah adalah Zat yang Maha Mengampuni dan Maha Pengasih.” (An-Nisa’ ayat 23).


Ragam Tafsir

Surat An-Nisa’ ayat 23 ini merupakan kelanjutan ayat 22 yang menjelas muharramātun nisā atau perempuan yang diharamkan dalam Islam. Dalam ayat 23 ini dijelaskan 13 wanita yang haram dinikahi oleh laki-laki. Merujuk penafsiran Imam As-Suyuthi, Imam Ahmad bin Muhammad As-Shawi, dan Syekh Sulaiman Al-Jamal, berikut 13 wanita yang haram dinikahi tersebut:


1. Ibu. Ibu mencakup nenek dan seatasnya. Semuanya baik seayah seibu, seayah atau seibu saja.


2. Anak perempuan. Anak perempuan mencakup cucu perempuan dan sebawahnya, baik dari anak laki-laki maupun dari anak perempuan. Semuanya baik seayah seibu, seayah atau seibu saja.


3. Saudara perempuan. Semuanya baik seayah seibu, seayah atau seibu saja.


4. Saudara perempuan ayah. Ini mencakup saudara perempuan kakek dan seatasnya. Semuanya baik seayah seibu, seayah atau seibu saja.


5. Saudara perempuan ibu. Ini mencakup saudara perempuan nenek dan seatasnya. Semuanya baik seayah seibu, seayah atau seibu saja.


6. Anak perempuan dari saudara laki-laki dan anak perempuan dari saudara perempuan. Ini mencakup anak perempuan mereka berdua dan sebawahnya.


8. Ibu susuan. Maksudnya laki-laki tersebut sebelum mencapai usia dua tahun qamariyah telah menyusu kepadanya dengan lima kali susuan sebagaimana dalam hadits shahih:


عَنْ عَائِشَةَ أَنَّهَا قَالَتْ: كَانَ فِيمَا أُنْزِلَ مِنَ الْقُرْآنِ عَشْرُ رَضَعَاتٍ مَعْلُومَاتٍ يُحَرِّمْنَ، ثُمَّ نُسِخْنَ بِخَمْسٍ مَعْلُومَاتٍ. فَتُوُفِّيَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُنَّ فِيمَا يُقْرَأُ مِنَ الْقُرْآنِ. رواه مسلم


Artinya, “Diriwayatkan dari ‘Aisyah ra, sungguh ia berkata: ‘Ditemukan dalam Al-Qur’an yang diturunkan 10 susuan yang diketahui yang membuat haram (laki-laki menikahi ibu susuannya), kemudian 10 susuan itu dinasakh dengan lima susuan yang diketahui. Lalu Rasulullah saw wafat dan lima susuan itu tetap ada dalam Al-Qur’an yang dibaca.'” (HR Muslim). 


Adapun hitungan satu susuan adalah bayi menyusu ibunya kemudian melepasnya dengan kemauannya sendiri, tanpa ada hal lain yang mengganggunya. Seperti ini dihitung satu susuan. Kemudian bila ia menyusu lagi seperti itu, maka dihitung satu susuan lagi, dan seterusnya. Namun bila ia memutus susuannya karena tersedak atau karena sesuatu yang mengganggunya, lalu ia menyusu lagi; atau ia berpindah dari susu satu ke susu lainnya, maka susuan seperti ini dihitung satu susuan. (Abu Ishaq As-Syirazi, Al-Muhaddzab fi Fiqhil Imâmis Syâfi’i, juz II, halaman 156). 


9. Saudara perempuan satu susuan. Baik saudara perempuan satu susuan ini adalah anak kandung ibu susuan, atau tidak (sama-sama anak susuan ibu tersebut). Misal seorang perempuan menyusui anak laki-laki Pak Umar dan anak perempuan Pak Zaid, maka anak perempuan Pak Zaid itu menjadi saudara satu susuan bagi anak laki-laki Pak Umar dan haram dinikahinya.


Imam As-Suyuthi menjelaskan, ada beberapa wanita yang disamakan hukumnya dengan ibu susuan dan saudara perempuan satu susuan tersebut dalam hal haram dinikahi, yaitu: satu, anak-anak perempuan mereka (yaitu perempuan-perempuan yang pernah disusui oleh wanita yang disetubuhi oleh laki-laki yang bersangkutan dalam pernikahan yang sah maupun secara wathi syubhat); dua, saudara perempuan ayah susuan; tiga, saudara perempuan ibu susuan; empat, anak perempuan dari saudara laki-laki satu susuan; dan lima, anak perempuan dari saudara perempuan satu susuan. Hal ini berdasarkan hadits:


يَحْرُمُ مِنَ الرَّضَاعِ مَا يَحْرُمُ من النَّسَبِ. متفق عليه


Artinya, “Haram dinikah sebab susuan apa yang haram dinikah sebab nasab.” (Muttafaq ‘Alaih)


10. Ibu dari istri, atau ibu mertua. Baik dari jalur nasab maupun dari jalur susuan.


11. anak tiri perempuan, yaitu anak perempuan istri dari laki-laki lain, dimana istri tersebut sudah disetubuhi oleh bapak tiri anak tersebut. 


Dalam hal ini, yang perlu diperhatikan frasa ayat: “Wa rabâibukumul lati fi hujûrikum” (Dan anak-anak tiri perempuan kalian yang ada dalam perawatan kalian), kata fi hujûrikum dengan makna yang ada dalam perawatan kalian, ini hanya membahasakan kebiasaan anak tiri hidup bersama ibu kandungnya sementara ibu kadungnya hidup bersama dan bapak tiri anak tersebut. Artinya meskipun anak tiri perempuan itu tidak hidup bersamanya dan tidak dirawatnya, maka tetap haram dinikah.


12. Istri anak, atau menantu perempuan dari anak kandung. Bukan dari anak angkat.


13. Saudara perempuan istri baik dari jalur nasab mauun jalur susuan. Khusus untuk saudara istri perempuan ini keharaman menikahinya bersifat sementara, yaitu haram menikahi keduanya dalam satu waktu. Bila sedang menjadi suami salah satunya maka haram menikahi lainnya, dan sebaliknya.


Imam As-Suyuthi menjelaskan, ada dua orang yang disamakan dengan saudara perempuan istri dalam hal tidak boleh dinikah dalam satu waktu, yaitu saudara perempuan dari ayah istri dan saudara perempuan dari ibu istri. Bila sedang menjadi suami dari istri maka haram menikahi kedua orang tersebut, dan sebaliknya. Hal ini berdasarkan hadits:


وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لَا يُجْمَعُ بَيْنَ الْمَرْأَةِ وَعَمَّتِهَا، وَلَا بَيْنَ الْمَرْأَةِ وَخَالَتِهَا. مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ


Artinya, “Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra: sungguh Nabi saw  bersabda: “Tidak boleh mengumpulkan antara seorang perempuan dan saudara perempuan ayahnya dan antara seorang perempuan dan saudara perempuan ibunya dalam satu pernikahan (sama-sama menjadi istri dalam satu waktu).” (Muttafaq ‘Alaih)


Inilah 13 muharramātun nisā atau wanita yang haram dinikah, kecuali yang pernah terjadi pada masa Jahiliyah tempo dulu sebelum turun ayat-ayat dan hadits yang melarangnya.


(Jalâluddîn Al-Mahalli dan Jalâluddîn As-Suyûthi, Tafsîrul Jalâlain pada Hâsyiyyatus Shâwi ‘alâ Tafsîril Jalâlain, [Beirut, Darul Fikr: 1424 H/2004 M], juz I, halaman 281-282); (As-Shawi, 1424 H/2004 M: I/278); dan (Sulaiman bin Umar Al-Jamal, Al-Futûhâtul Ilâhiyyah bi Taudhîhi Tafsîril Jalâlain, [Beirut, Dâr Ihyâ’it Turâtsil ‘Arabi: tth.], juz I, halaman 370-371). Wallâhu a’lam.


Penulis: Ustadz Ahmad Muntaha AM-Founder Aswaja Muda-Redaktur Keislaman NU Online

Editor: Alhafiz Kurniawan