Tafsir

Tafsir Surat An-Nisa Ayat 19

Sen, 12 Juli 2021 | 14:00 WIB

Tafsir Surat An-Nisa Ayat 19

Simpulannya berbuat baik terhadap istri termasuk akhlak mulia meskipun mereka justru berbuat buruk terhadap suaminya.

Berikut ini adalah teks, transliterasi, terjemahan, dan kutipan sejumlah tafsir ulama atas Surat An-Nisa ayat 19:


يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَرِثُوا النِّسَاءَ كَرْهًا، وَلَا تَعْضُلُوهُنَّ لِتَذْهَبُوا بِبَعْضِ مَا آتَيْتُمُوهُنَّ إِلَّا أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ، وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ، فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا 


Yā ayyuhalladzīna āmanū lā yahillu lakum an taritsunnisā-a karhā, wa lā ta’dhulūhunna li tadzhabū bi ba’dhi mā ātaitmūhunna illā anta’tīna bi fāhisyatim mubaiyyinah, wa ‘āsyirūhunna bil ma’rūf, fa in karihtumūhunna fa’asā an takrahū syai’an wa yaj’alallāhu fīhi khairan katsārā.


Artinya, “Wahai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kalian mewarisi wanita (menjadikannya seperti barang warisan) dengan pemaksaan; janganlah kalian menghalang-halangi mereka (para wanita yang menjadi istri kalian untuk menikah dengan orang lain sementara kalian sudah tidak mencintainya) karena hendak mengambil kembali sebagian mahar yang telah kalian berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan perbuatan keji (zina atau nusyūz) yang nyata; dan pergaulilah mereka secara baik. Kemudian bila kalian tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kalian tidak menyukai sesuatu. Sementara Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (An-Nisa ayat 19).


Asbabun Nuzul

Imam Al-Bukhari meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas RA, ayat ini turun karena tradisi Jahiliyah menganggap wanita sebagai harta yang bisa diwariskan. Ketika suami mati meninggalkan istrinya, maka ahli waris suami akan menguasainya sesuai keinginan mereka. Bisa mereka nikahi sendiri, dinikahkan dengan orang lain yang mereka kehendaki, atau tidak dinikahkan sama sekali.


عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَرِثُوا النِّسَاءَ كَرْهًا، وَلَا تَعْضُلُوهُنَّ لِتَذْهَبُوا بِبَعْضِ مَا آتَيْتُمُوهُنَّ إِلَّا أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ [النساء: 19] قَالَ: كَانُوا إِذَا مَاتَ الرَّجُلُ كَانَ أَوْلِيَاؤُهُ أَحَقُّ بِامْرَأَتِهِ إِنْ شَاءَ بَعْضُهُمْ تَزَوَّجَهَا وَإِنْ شَاؤُوا زَوَّجُوهَا وَإِنْ شَاؤُوا لَمْ يُزَوِّجُوهَا فَهُمْ أَحَقُّ بِهَا مِنْ أَهْلِهَا. فَنَزَلَتْ هَذِهِ الآيَةُ فِي ذَلِكَ. رواه البخاري


Artinya, “Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas RA tentang ayat, ‘Yā ayyuhalladzīna āmanū lā yahillu lakum an taritsunnisā-a karhā, wa lā ta’dhulūhunna li tadzhabū bi ba’dhi mā ātaitmūhunna illā anta’tīna bi fāhisyatim mubaiyyinah’ …” [An-Nisa ayat 19], ia berkata, ‘Orang-orang Jahiliyah ketika ada seorang suami meninggal maka para ahli warisnya lebih berhak atas nasib istrinya. Bila sebagian mereka menghendaki menikahinya, maka ia menikahinya; bila mereka mengendaki menikahkannya dengan orang lain maka mereka menikahkannya kepadanya; dan bila mereka menghendaki tidak menikahkannya sama sekali maka mereka tidak menikahkannya. Maka mereka lebih berhak atas perempuan tersebut daripada keluarganya. Lalu ayat ini turun menjelaskan permasalahan tersebut,’” (HR Al-Bukhari).


Riwayat lebih detail disampaikan Ibnu Hajar Al-‘Asqalani dari Sahl bin Hunaif RA. Ayat turun berkaitan dengan anak laki-laki dari Abu Qais bin Al-Aslat RA yang ingin menikahi istri ayahnya ketika ayahnya meninggal, lalu turunlah ayat ini.


وَبِإِسْنَادٍ حَسَنٍ عَنْ أَبِي أُمَامَةَ بْنِ سَهْلِ بْنِ حُنَيْفٍ، عَنْ أَبِيهِ، قَالَ: لَمَّا تُوُفِّيَ أَبُو قَيْسِ بْنِ الْأَسْلَتَ أَرَادَ ابْنَهُ أَنْ يَتَزَوَّجَ امْرَأَتَهُ وَكَانَ ذَلِكَ لَهُمْ فِي الْجَاهِلِيَّةِ، فَأَنَزَلَ اللهُ هَذِهِ الْآيَةَ


Artinya, “Dengan sanad hasan diriwayatkan dari Abu Umamah bin Sahl bin Hunaif, dari ayahnya, ia berkata, ‘Ketika Abu Qais bin Al-Aslat wafat, putranya ingin menikahi istrinya. Tradisi seperti itu diperbolehkan bagi orang-orang di masa Jahiliyah, lalu turun ayat ini,’” (Ahmad bin Ali bin Hajar Al-‘Asqalani, Fathul Bâri Syarh Shahîhil Bukhâri, [Beirut, Dârul Ma’rifah: 1379 H], juz VIII, halaman 247).


Ragam Tafsir 

Ayat ini menegaskan pembelaan Al-Qur’an terhadap berbagai intimidasi dan kezaliman kaum lelaki terhadap para wanita. Secara terperinci, ayat ini memuat empat (4) pembahasan.


Pembahasan pertama, penentangan Al-Qur’an terhadap tradisi masyarakat Jahiliyah yang menganggap wanita seolah-olah seperti harta benda sehingga diri seorang wanita dapat diwaris oleh ahli waris suaminya ketika ia meninggal sesuai dengan riwayat sababun nuzûl ayat di atas. Ini substansi frasa: 


يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَرِثُوا النِّسَاءَ كَرْهًا


Artinya, “Wahai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kalian mewarisi wanita (menjadikannya seperti barang warisan) dengan pemaksaan.”


Imam As-Suyuthi menjelaskan, dalam tradisi Jahiliyah ahli waris suami mewarisi istri yang ditinggal mati olehnya, yang kemudian dinikahinya tanpa mahar; dinikahkan kepada orang lain dan ia ambil maharnya; dicegahnya untuk menikah dengan orang lain hingga ia menebus dirinya dengan harta yang diwariskan oleh suami; atau mereka biarkan istri tersebut sampai mati dan hartanya mereka ambil. Demikian inilah tradisi Jahiliyah yang terus berlangsung hingga masa awal Islam sampai turunnya ayat ini. (Jalâluddîn As-Suyûthi dan Jalâluddîn Al-Mahallai, Tafsîrul Jalâlain pada Hasyiyyatus Shâwi ‘ ala Tafsiril Jalalain, [Beirut, Darul Fikr: 1424 H/2004 M], juz I, halaman 279).


Pembahasan kedua, pelarangan Al-Qur’an terhadap sikap suami yang menggantung nasib istrinya. Yaitu ketika suami tidak menyukai istrinya, tapi mencegahnya untuk bercerai dan menikah dengan orang lain dengan tujuan agar istri menebus dirinya melalui proses khulu’ dan mengembalikan mahar atau sebagiannya yang telah diberikannya pada saat pernikahan. Namun demikian, tindakan seperti ini ada pengecualiannya, yaitu bila istri melakukan zina atau nusyûz (menentang suami) secara terang-terangan. Inilah maksud frasa: 


وَلَا تَعْضُلُوهُنَّ لِتَذْهَبُوا بِبَعْضِ مَا آتَيْتُمُوهُنَّ إِلَّا أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ


Artinya, “Janganlah kalian menghalang-halangi mereka (para wanita yang menjadi istri kalian untuk menikah dengan orang lain sementara kalian sudah tidak mencintainya) karena hendak mengambil kembali sebagian mahar yang telah kalian berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan perbuatan keji (zina atau nusyûz) yang nyata.”


Imam Ahmad As-Shâwi menjelaskan, secara substansial ayat ini melarang suami menggantung nasib istrinya karena bertujuan mengambil kembali mahar yang telah diberikannya kecuali istri melakukan zina atau nusyûz secara terang-terangan.


As-Shâwi juga menjawab kemusykilan bolehhnya suami merugikan istri dengan menggantung nasibnya dalam kondisi seperti itu. Menurutnya, kemuskilan itu bisa dijawab dengan dua (2) jawaban. Pertama, ayat itu manshukh. Kedua, maksud merugikan istri dalam hal ini adalah dengan menasihati, mendiamkannya, dan memukulnya dengan pukulan yang tidak membuat luka sesuai ayat:


وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ، فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا، إِنَّ اللهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا


Artinya, “Istri-istri yang kalian duga melakukan nusyûz, maka nasihatilah mereka, menjauhlah dari mereka di tempat tidur, dan pukullah mereka (dengan pukulan yang tidak membuat luka). Jika mereka menaati kalian, maka janganlah kalian mencari-cari jalan untuk memukulnya secara zalim. Sungguh Allah adalah Dzat yang Maha Luhur dan Maha Agung.” (An-Nisa ayat 34)  


Karenanya, merugikan istri yang dimaksud di sini adalah sekadar membalas penentangannya terhadap suami sebagaimana dalam ayat:


فَمَنِ اعْتَدَى عَلَيْكُمْ فَاعْتَدُوا عَلَيْهِ بِمِثْلِ مَا اعْتَدَى عَلَيْكُمْ 


Artinya, “Siapa saja yang memusuhimu, maka musuhilah dia dengan seimbang permusuhan mereka kepada kalian.” (Al-Baqarah ayat 194). (As-Shâwi, 1424 H/2004 M: I/280).


Pembahasan ketiga, perintah Al-Qur’an kepada para suami agar bergaul secara baik terhadap istri, dalam ucapan, penyediaan tempat tinggal, dan nafkahnya sebagaimana frasa: 


وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ


Artinya, “Pergaulilah mereka secara baik.”


Ibnu Katsîr secara komprehensif menjelaskan, maksud ayat ini adalah “Perindah ucapan kalian terhadap mereka, perindah perbuatan dan tingkah kalian kepada mereka sesuai kemampuan kalian.” Ini sesuai dengan firman Allah:


وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ 


Artinya, “Para istri mempunyai hak yang sama sebagaimana kewajiban yang dibebankan kepada mereka secara baik (sesuai syariat dalam hal berhak mendapat sikap yang baik, tidak diganggu dan semisalnya.” (Al-Baqarah ayat 228).


Ibnu Katsîr juga mencontohkan teladan akhlak nabi terhadap istri, yaitu selalu menampakkan kebahagiaan, bermain-main dengan mereka, sayang dan bersikap halus, melonggarkan nafkah, bergurau dengan mereka dan lainnya. (Ismâ’îl bin Umar bin Katsîr Ad-Dimasyqi, Tafsîrul Qur’ânil ‘Âzhîm, [ttp., Dâr Thaibah: 1420 H/1999 M], juz II, halaman 242).


Pembahasan keempat, perintah Al-Qur’an kepada para suami ketika muncul rasa tidak suka terhadap istri hendaknya ia tetap bersabar menjadi suaminya. Bisa jadi ia tidak menyukainya sementara Allah jadikan berbagai kebaikan untuknya di dalam diri istrinya. Allah berfirman:


فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا


Artinya, “Kemudian bila kalian tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kalian tidak menyukai sesuatu, sementara Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.”


Syekh Nawawi Al-Bantani menafsirkan: 


“Bila kalian tidak menyukai mereka maka pertahankan mereka sebagai istri secara baik. Jangan cerai mereka hanya karena ketidaksukaan hati sementara tidak ada faktor-faktor dari mereka yang membuatnya tidak suka. Bisa jadi kalian tidak suka terhadap mereka sementara Allah jadikan kebaikan yang banyak dengan menjadi suami mereka. Seperti mendapatkan anak yang (saleh) sehingga ketidaksukaan berbalik menjadi rasa cinta, mendapatkan pahala yang sangat besar di akhirat, dan pujian yang indah di dunia karena tetap menafkahi dan tetap berbuat baik kepada mereka meskipun sebenarnya bertentangan dengan hati.” (Muhammad Nawawi Al-Jawi, At-Tafsîrul Munîr li Ma’âlimit Tanzîl, [Beirut: Dar al-Fikr, 1425 H/2006 M], juz I, halaman 159).


Sementara Imam As-Shâwi menegaskan, simpulannya berbuat baik terhadap istri termasuk akhlak mulia meskipun mereka justru berbuat buruk terhadap suaminya. Wallâhu a’lam. (As-Shâwi, 1424 H/2004 M: I/280).

Ustadz Ahmad Muntaha AM-Founder Aswaja Muda