Tafsir

Tafsir Surat An-Nisa’ Ayat 16

Sab, 24 April 2021 | 08:00 WIB

Tafsir Surat An-Nisa’ Ayat 16

Berkaitan dengan pelaku sodomi dalam tataran fiqihnya, menurut Imam As-Syafi’i hukumannya sama dengan hukuman had zina, yaitu bila berstatus muhsan maka dirajam sampai mati dan bila berstatus ghairu muhsan maka dicambuk 100 kali

Berikut ini adalah Surat An-Nisa ayat 16 berikut terjemahan dan beberapa tafsir seputarnya:


وَاللَّذَانِ يَأْتِيَانِهَا مِنْكُمْ فَآذُوهُمَا، فَإِنْ تَابَا وَأَصْلَحَا فَأَعْرِضُوا عَنْهُمَا، إِنَّ اللهَ كَانَ تَوَّابًا رَحِيمًا


Walladzâni ya’tiyânihâ minkum fa-âdzûhumâ, fa-in tâbâ wa ashlahâ fa-a’ridhû ‘anhumâ, innalâha kâna tawwâbar rahîmâ.


Artinya, “Dua orang yang melakukan perbuatan keji dari kalian maka sakitilah mereka, kemudian bila mereka bertobat dan beramal saleh maka berpalinglah dari mereka. Sungguh Allah adalah Dzat Yang Maha Menerima Tobat dan Dzat Yang Maha Penyayang.”


Ragam Tafsir 

Ada tiga pembahasan utama dalam ayat ini, yaitu apakah ayat 16 membicarakan pelaku zina atau pelaku sodomi, bentuk hukumannya dan status mansukh atau tersalin tidaknya.


Pembahasan pertama, ulama berbeda pendapat apakah ayat 16 menerangkan pelaku zina atau pelaku sodomi. Kebanyakan ulama menafsirkan bahwa maksud ayat adalah pelaku zina baik laki-laki maupun perempuan. Ulama yang berpendapat seperti ini kemudian juga masih berbeda pendapat, apakah frasa وَاللَّذَانِ يَأْتِيَانِهَا مِنْكُمْ “dan dua orang yang melakukan perbuatan keji” hanya mencakup pelaku zina ghairu muhsan (yang belum mempunyai pasangan sah) atau juga mencakup pelaku zina muhshan (yang sudah mempunyai pasangan sah). 


Mayoritas ulama memilih pendapat pertama, yaitu ayat 16 hanya mencakup pelaku zina ghairu muhsan. Sebab dalam ayat 15 dan ayat 16 ini Allah menyebutkan dua hukum, yaitu penjara di rumah (al-habsu fil buyut) dan disakiti (al-idza’) dengan ucapan atau perbuatan. Keduanya jelas berbeda, sementara syariat memberi hukum yang lebih ringan bagi pezina ghairu muhsan daripada pezina muhsan, sebagaimana ketika kemudian ayat ini dinasakh, maka pezina muhsan dihukum rajam yang lebih berat daripada pezina ghairu muhsan yang dihukum cambuk.


Karenanya, hukuman penjara di rumah yang termasuk kategori berat diperuntukkan bagi pezina muhsan, sedangkan hukuman disakiti dengan ucapan atau perbuatan yang lebih ringan diperuntukkan bagi pezina ghairu muhsan. Sementara itu Abu Muslim Al-Ashfihani menafsirkan ayat 16 khusus untuk kaum gay pelaku sodomi (ahlul liwath), yaitu para lelaki yang mempunyai berhubungan seksual dengan sesama jenis yang hukumannya adalah disakiti (al-idza’). 


Meskipun tidak populer, pendapat Abu Muslim inilah yang kemudian dinilai lebih unggul oleh Imam As-Suyuthi berdasarkan dua argumentasi. Argumentasi pertama, karena dhamirnya berupa dhamir tatsniyyah yang menunjukkan pelakunya dua orang, yang tidak bisa dipahami sebagai lelaki dan perempuan pelaku zina, sebab redaksi ayatnya bersambung dengan dhamir laki-laki مِنْكُمْ. Lengkapnya وَاللَّذَانِ يَأْتِيَانِهَا مِنْكُمْ “dan dua orang yang melakukan perbuatan keji dari kalian laki-laki”. Argumentasi kedua, konsekuensi hukum dua orang yang dimaksud ayat sama, yaitu disakiti dan bila bertobat maka tidak boleh disakiti, dimana mana hukum ini merupakan hukum khusus bagi laki-laki, karena hukum untuk perempuan sudah dijelaskan dalam ayat sebelumnya. (Fakhruddin Muhammad ar-Razi, Tafsir al-Fakhr ar-Razi, [Beirut, Darul Fikr: tth.], juz IX, halaman 242); (Jalaluddin Al-Mahalli dan Jalaluddin As-Suyuthi, Tafsirul Jalalain dalam Hasyiyyatus Shawi, [Beirut, Darul Fikr: 1424 H/2004 M], editor: Shidqi Muhammad Jamil, juz I, halaman 278); (Muhammad As-Sayyid Thanthawi, Al-Wasîth, juz I, halaman 889).


Pembahasan kedua, bentuk hukuman yang diungkapkan dengan kata فَآذُوهُمَا “maka sakitilah mereka berdua”. Ulama mufassirin sepakat bahwa maksud menyakiti di sini adalah menyakiti dengan ucapan, yaitu dengan celaan. Seperti ucapan: “Seburuk-buruk perbuatan adalah perbuatan kalian berdua, kalian berdua telah melakukan perbuatan yang menyebabkan siksa dan murka Allah …”.


Namun mereka berbeda pendapat, apakah maksud menyakiti di sini juga mencakup menyakiti dengan perbuatan yaitu dengan memukul pelakunya? Dalam konteks ini terdapat riwayat dari Ibnu Abbas RA yang menyatakan bahwa pelakunya dihukum dengan dipukul sandal. 


عَنِ ابْنِ عَبَّاس: قَوْلُهُ: وَاللَّذَانِ يَأْتِيَانِهَا مِنْكُمْ فَآذُوهُمَا، فَكَانَ الرَّجُلُ إِذَا زَنَى أُوذِيَ بِالتَّعْيِيرِ وَضُرِبَ بِالنِّعَالِ. 


Diriwayatkan dari Ibnu Abbas RA: “Firman Allah: ‘Dan dua orang yang melakukan perbuatan keji dari kalian maka sakitilah mereka’, karenanya seorang lelaki bila berzina maka ia dihukum dengan disakiti dengan celaan dan dipukul dengan sandal.” (Abu Ja’far Muhammad bin Jarir at-Thabari, Jâmi’ul Bayân fî Ta’wîlil Qurân, [ttp.: Muassasatur Risâlah: 1420 H/2000 M], ed.: Ahmad Muhammad Syakir, juz VIII, halaman 85).


Dari kedua penafsiran ini, Imam Fakhurddin Ar-Razi mengunggulkan penafsiran yang hanya mencakup menyakiti dengan ucapan saja, tidak mencakup menyakiti dengan perbuatan atau dengan memukul pelakunya. Sebab makna yang ditunjukkan nash فَآذُوهُمَا “maka sakitilah mereka berdua” hanya menyakiti saja yang sudah dapat wujud dengan menyakiti secara ucapan, dan dalam nash tidak ada petunjuk yang mengarahkan pada makna menyakiti dengan perbuatan, sehingga tidak boleh diarahkan pada makna demikian. (Ar-Razi, Tafsir al-Fakhr ar-Razi, juz IX, halaman 243).


Namun bila pelaku bertobat, maka hukuman tersebut tidak boleh diterapkan sebagaimana frasa selanjutnya: 


فَإِنْ تَابَا وَأَصْلَحَا فَأَعْرِضُوا عَنْهُمَا، إِنَّ اللهَ كَانَ تَوَّابًا رَحِيمًا 


Artinya, “Kemudian bila mereka bertobat dan beramal shaleh maka berpalinglah dari mereka. Sungguh Allah adalah Dzat Yang Maha Menerima Tobat dan Dzat Yang Maha Penyayang.”


Pembahasan ketiga, apakah status ayat mansukh atau tidak. Kebanyakan ulama menyatakan bahwa status ayat 16 surat An-Nisa’—sebagaimana ayat 15—adalah mansukh dengan ayat 2 surat An-Nur. Sedangkan ulama lain berpendapat tidak mansukh. Sebab hukuman dalam ayat ini masih bersifat mujmal sangat umum, hanya menyakiti, yang kemudian dijelaskan secara detail dalam ayat 2 surat an-Nur dan tidak ada hubungan nasihkh mansukh pada dua ayat tersebut. Sementara Abu Muslim Al-Ashfihani yang juga berpendapat status ayat 16 tidak mansukh punya pertimbangan lain. Menurutnya, ayat 15 surat An-Nisa’ khusus untuk kaum lesbi, ayat 16 surat An-Nisa’khusus untuk gay pelaku sodomi dan ayat 2 surat an-Nur khusus untuk pelaku zina. (Muhammad As-Sayyid Thanthawi, Al-Wasîth, juz I, halaman 889). 


Berkaitan dengan pelaku sodomi dalam tataran fiqihnya, menurut Imam As-Syafi’i hukumannya sama dengan hukuman had zina, yaitu bila berstatus muhsan maka dirajam sampai mati dan bila berstatus ghairu muhsan maka dicambuk 100 kali. Ini bagi fail atau laki-laki yang memasukkan alat kelaminnya ke anus laki-laki lain. Sedangkan bagi mauf’ul atau yang dimasuki, maka hukumannya tidak dirajam meskipun berstatus muhsan, namun dicambuk 100 kali dan diasingkan selama setahun. Sedangkan menurut Imam Malik hukumannya dirajam secara mutlak, baik berstatus muhsan atau ghairu muhsan, baik fail atau maf’ul, selama pelaku tersebut sudah baligh dan atas keinginan sendiri. (Ahmad bin Muhammad as-Shawi, Hasyiyyatus Shawi ‘ ala Tafsiril Jalalain, [Beirut, Darul Fikr: 1424 H/2004 M], editor: Shidqi Muhammad Jamil, juz I, halaman 278). Wallahu a’lam.


Ahmad Muntaha AM, Founder Aswaja Muda