Tafsir

Tafsir Surat Yusuf Ayat 5: Solusi Cegah Bullying pada Anak

Sab, 2 Maret 2024 | 20:00 WIB

Tafsir Surat Yusuf Ayat 5: Solusi Cegah Bullying pada Anak

Tafsir ayat Al-Qur'an tentang solusi cegah bullying. (Foto: NU Online/Freepik)

Akhir-akhir ini, publik kembali diramaikan dengan beragam kasus bullying atau perundungan. Mirisnya, tindakan buruk ini menimpa kalangan anak yang masih dalam usia taraf pertumbuhan. Baik terjadi di rumahnya maupun lingkungan bermain ataupun di mana ia bersekolah dan mencari ilmu.


Satu sisi anak bisa jadi korban dan di waktu lain ia juga bisa menjadi pelaku perundungan. Hasil penelitian yang dilakukan University of Cambridge menyatakan bahwa anak yang kerap menjadi korban bullying kemungkinan besar mereka akan tumbuh menjadi aktor bullying. Maka tidak mengherankan jika pada banyak kasus, anak menjadi korban bullying dari kawannya sendiri yang juga pernah menjadi korban bullying sebelumnya.


Beragam perundungan, ejekan, hinaan yang dilontarkan dari pihak lawan, yang sebenarnya adalah teman sendiri, sangat berpengaruh terhadap mental dan kondisi psikis korban. Kondisi ini jika tidak segera ditangani akan terus berdampak buruk bagi masa depan anak. Anak yang menjadi korban akan menjadi pribadi yang penakut, menutup diri, dan enggan bersosialiasi.


Pencegahan sebelum terjadi merupakan hal penting untuk diketahui bersama. Dalam hal ini, Islam menawarkan resep Qur’ani untuk memblokir pintu terjadinya kasus tersebut. Tepatnya pada surat Yusuf ayat 5 di mana terjadi percakapan antara Nabi Ya’qub dengan putranya, Nabi Yusuf.


قَالَ يٰبُنَيَّ لَا تَقْصُصْ رُءْيَاكَ عَلٰٓى اِخْوَتِكَ فَيَكِيْدُوْا لَكَ كَيْدًا ۗاِنَّ الشَّيْطٰنَ لِلْاِنْسَانِ عَدُوٌّ مُّبِيْنٌ 


Artinya: “Dia (ayahnya) berkata, “Wahai anakku, janganlah engkau ceritakan mimpimu kepada saudara-saudaramu karena mereka akan membuat tipu daya yang sungguh-sungguh kepadamu. Sesungguhnya setan adalah musuh yang jelas bagi manusia.”


Jika kita telisik, ada pesan penting dari dialog yang terjadi antar ayah dan anak tersebut. Nabi Ya’qub mengawali nasihatnya dengan munada (panggilan) kepada anaknya dengan lafal ya bunayya (wahai anakku). Redaksi tersebut merupakan isim tasghir (pengecilan) dari lafal ibn (anak) yang ikut wazan fu’ailun sehingga menjadi bunayya.


Faidah dari tasghir ini untuk menunjukkan rasa belas kasih dan penuh cinta. Hal ini disebutkan Ibnu ‘Asyur tatkala menafsirkan ayat ini.


وهَذا التَّصْغِيرُ كِنايَةٌ عَنْ تَحْبِيبٍ وشَفَقَةٍ. نَزَّلَ الكَبِيرَ مَنزِلَةَ الصَّغِيرِ لِأنَّ شَأْنَ الصَّغِيرِ أنْ يُحَبَّ ويُشْفَقَ عَلَيْهِ. وفي ذَلِكَ كِنايَةٌ عَنْ إمْحاضِ النُّصْحِ لَهُ.


Artinya: “Tasghir di sini merupakan kinayah dari rasa cinta dan penuh kasih sayang. Menurunkan sikap orang yang sudah dewasa ke taraf anak kecil. Hal ini karena kondisi anak kecil memang patut untuk dicintai dan disayangi. Dalam hal tersebut menjadi kinayah untuk dari tulusnya nasihat yang disampaikan kepada anaknya” (Ibnu ‘Asyur, At-Tahrir wa At-Tanwir, Juz 12, halaman 213)


Senada dengan Ibnu ‘Asyur, Prof. Quraish Shihab juga mengatakan bahwa bentuk tasghir di sini untuk menggambarkan rasa kasih sayang, karena rasa tersebut biasanya tercurahkan kepada anak, apalagi yang masih kecil. (Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan Keserasian Al-Qur’an, Juz 6 [Jakarta: Lentera Hati, 2002], halaman 397)


Begitu pula pada surah Luqman ayat 31, dengan redaksi yang sama, Luqman menasihati anaknya dengan kata ya bunayya. Ini merupakan bentuk tarqiq menjaga kelembutan dan kasih sayang terhadap anak. Sama halnya dengan kalimat yang diungkapkan kepada seseorang dengan lafal "ya akhi, wahai saudaraku". (Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Juz 11, halaman 127).


Nabi Muhammad sendiri juga memanggil sahabatnya dengan menggunakan tasghir, seperti Abu Hurairah. Kata ‘hurairah’ merupakan bentuk tasghir dari kata ‘hirrah’, yakni kucing, karena kedekatannya dengan kucing.


Apa yang diungkapkan mufasir Tafsir Al-Misbah, mengenai Abu Hurairah menunjukkan bahwa panggilan tasghir tidak hanya terbatas pada anak kecil saja, namun juga bisa diterapkan pada teman sejawat. Karena pesan yang ingin disampaikan Al-Qur’an ialah bagaimana komunikasi berlangsung sopan dan penuh kesantunan kepada siapa saja.


Komunikasi yang efektif terhadap anak berpengaruh besar untuk membuatnya mudah menerima nasihat yang disampaikan. Nasihat yang dibalut rasa kedekatan dan kelembutan akan membentuk mental dan pola pikir anak yang tidak ingin mengganggu dan berkata kasar dalam berinteraksi pada orang lain.


Membentuk pola komunikasi seperti ini memang merupakan tanggung jawab bagi keluarga, terutama orang tua sebagai awal madrasah mereka. Tapi, di samping itu, juga diperlukan sokongan dan kerja sama dari berbagai pihak mulai dari guru, masyarakat dan lingkungan sekitar.


Pembiasaan seperti ini akan menjadikan anak tumbuh sebagai generasi cinta akan kedamaian dan mencegah mereka terhadap kekerasan, baik menjadi korban ataupun pelaku kekerasan, seperti bullying. Wallahu a’lam


Ustadz Muhammad Izharuddin, Mahasantri STKQ Al-Hikam