Tasawuf/Akhlak

13 Adab Pelajar terhadap Pelajarannya Menurut KH Hasyim Asy’ari (4)

Rab, 13 Maret 2019 | 13:15 WIB

13 Adab Pelajar terhadap Pelajarannya Menurut KH Hasyim Asy’ari (4)

Ilustrasi (Tebuireng Online)

Kesepuluh, tertib mengambil giliran

Dalam penggunaan fasilitas umum atau hak milik bersama, pelajar harus tertib mengambil giliran, ia tidak boleh mendahului hak orang lain yang datang lebih awal tanpa kerelaan darinya. KH Muhammad Hasyim Asy’ari selanjutnya meriwayatkan sebuah hadits tentang kewajiban antri mengambil giliran.

Bahwa salah seorang sahabat Anshar mendatangi Nabi untuk menanyakan sebuah persoalan, lalu datang seorang pria dari daerah Tsaqif juga bermaksud untuk berkonsultasi kepada Nabi. Karena sahabat Anshar datang lebih dahulu, Nabi menertibkan giliran dua orang tersebut, beliau bersabda: “Wahai saudara dari Tsaqif, sesungguhnya orang Anshar telah mendahuluimu bertanya, maka duduklah, agar kami selesaikan dulu kebutuhannya sebelum keperluanmu.”

Baca juga:
13 Adab Pelajar terhadap Pelajarannya Menurut KH Hasyim Asy’ari (1)
13 Adab Pelajar terhadap Pelajarannya Menurut KH Hasyim Asy’ari (2)
13 Adab Pelajar terhadap Pelajarannya Menurut KH Hasyim Asy’ari (3)
Syekh al-Khathib al-Baghdadi berkata “disunnahkan bagi orang yang datang awal, mendahulukan orang asing, karena sangat kuat kemuliannya. Demikian pula bila orang yang datang akhir memiliki kebutuhan mendesak, dianjurkan untuk mendahulukannya atau sang guru memberi isyarat untuk mendahulukan orang yang datang lebih akhir karena sebuah hal yang menurutnya mashlahat.”

Bisa dianggap mendapat giliran lebih dulu dengan datang lebih awal di majlisnya guru atau kediamannya. Hak mendapat terdepan tidak menjadi gugur dengan beranjak sejenak untuk memenuhi kebutuhan yang mendesak seperti membuang hajat, memperbarui wudlu dan lain sebagainya. 

Bila dua orang datang dahulu dan mereka berselisih, maka untuk menentukan siapa yang lebih layak didahulukan adalah dengan cara diundi atau kebijakan guru dengan kerelaan dari salah satu pihak atau keduanya.

Kesebelas, duduk di depan guru dengan penuh adab

Duduknya pelajar di depan guru hendaknya yang sopan sebagaimana keterangan yang telah dijelaskan oleh KHM. Hasyim Asy’ari dalam fasal “Etika murid kepada gurunya.”

Seorang murid hendaknya membawa kitab yang ia pelajari dari sang guru, hendaknya kitab tidak diletakan di lantai dalam keadaan terbuka saat membacanya, akan tetapi diangkat dan dipegang dengan tangan.

Pelajar hendaknya tidak memulai membaca sebelum dipersilakan guru. Jangan membaca atau berkonsultasi dengan guru ketika beliau sedang sibuk, bosan atau marah.

Bila dipersilakan membaca, maka mulailah dengan bacaan ta’awwudz, basmalah, hamdalah dan membaca shalawat kepada Nabi beserta keluarga dan para sahabatnya. Lalu mendoakan untuk guru, kedua orang tua, masyayikh, diri sendiri dan segenap kaum muslimin.

KH Muhammad Hasyim Asy’ari menganjurkan untuk mendoakan tarahhum (Memohon limpahan rahmat) untuk pengarang kitab ketika namanya disebut. Semisal “telah berkata Imam al-Ghazali Rahimahullah”, “menurut pendapat al-Imam al-Nawawi Rahimahullah demikian”, “Syekh Abdul Qadir al-Jailani Rahimahullah adalah wali Allah yang agung.”

Hadratussyekh juga memberi contoh redaksi mendoakan guru saat membaca kitab di hadapannya, semisal “Radliya Allahu ‘Ankum, semoga Allah meridhai engkau”, “Radliya Allahu ‘an Syaikhina, semoga Allah meridhai guru kami”, “Radliya Allahu ‘an Imamina, semoga Allah meridhai imam kita.” Redaksi-redaksi doa tersebut diniati dan ditujukan untuk sang guru.

Ketika telah selesai belajar, dianjurkan pula untuk mendoakan sang guru. Bagi sang guru sendiri, bila beberapa etika di atas tidak dilakukan oleh murid, semisal karena lupa atau bodoh, hendaknya diingatkan dan diajarkan, sebab hal tersebut termasuk etika yang sangat penting.

Demikian pentingnya seorang murid mendoakan gurunya, karena salah satu kunci kesuksesan para ulama salaf adalah dengan mendoakan guru-gurunya. Penekanan Hadratussyekh mengenai hal ini senada dengan sikap para ulama salaf terhadap guru-guru mereka. Contohnya sebagaimana teladan yang dilakukan oleh al-Imam al-Nawawi, pembesar ulama mazhab Syafi’i yang memiliki banyak karya. 

Saat masih menimba ilmu, al-Nawawi muda rajin untuk mendoakan gurunya. Setiap kali beliau hendak datang ke majelis guru untuk menimba ilmu, beliau bersedekah di tengah jalan yang pahalanya ditujukan untuk gurunya. Kisah ini sebagaimana ditegaskan oleh al-Habib Zain bin Smith sebagai berikut:

وَكَانَ رضي الله عنه إِذَا خَرَجَ لِلدَّرْسِ لِيَقْرَأَ عَلَى شَيْخِهِ يَتَصَدَّقُ عَنْهُ فِي الطَّرِيْقِ بِمَا تَيَسَّرَ وَيَقُوْلُ اللهم اسْتُرْ عَنِّيْ عَيْبَ مُعَلِّمِيْ حَتَّى لَا تَقَعَ عَيْنِيْ لَهُ عَلَى نَقِيْصَةٍ وَلَا يُبَلِّغُنِيْ ذَلِكَ عَنْهُ أَحَدٌ، رضي الله عنه

“Al-Imam al-Nawawi setiap kali keluar untuk belajar di hadapan gurunya, beliau bersedekah untuk gurunya di jalan dengan nominal yang beliau mampu, dan beliau berdoa, ya Allah tutupilah dariku aib guruku, hingga mataku tidak melihat kekurangannya dan janganlah engkau sampaikan kepadaku informasi tentang aib guruku dari siapapun. Semoga Allah meridloi al-Imam al-Nawawi.” (al-Habib Zain bin Smith, al-Manhaj al-Sawi, hal. 220)

Keduabelas, konsisten belajar hingga meyelesaikan pendidikan

Pelajar tidak boleh setengah-setengah, begitu ia masuk pada sebuah materi atau kelas tertentu, harus sampai selesai. Jangan sampai meninggalkan kitab di bagian tengah atau akhir menjadi bolong-bolong, tanpa ada keterangan. Demikian pula tidak berpindah kepada disiplin ilmu sebelum menyelesaikan fan ilmu sebelumnya, tidak pula berpindah-pindah dari satu institusi pendidikan menuju institusi yang lain tanpa kebutuhan mendesak. Sebab hal demikian dapat menyibukan pikiran dan menyia-nyiakan waktu.

Pelajar hendaknya bertawakal kepada Allah dalam urusan rezeki, pikirannya jangan sampai terganggu oleh urusan ekonomi.

Pelajar juga jangan suka mencari musuh atau hobi mendebat orang lain, sebab hal tersebut menyia-nyiakan waktu dan menyebabkan permusuhan.

KH Muhammad Hasyim Asy’ari juga menekankan kepada pelajar untuk menjauhkan diri dari lingkungan dan pergaulan yang buruk, seperti bergumul dengan orang fasik, pemalas dan orang yang banyak bicara. Sebab lingkungan akan mempengaruhi baik dan buruknya seseorang.

Mengenai pengaruh lingkungan terhadap kepribadian pealajar ini senada dengan keterangan yang disampaikan oleh al-Imam al-Mawardi berikut ini:

وَقَالَ عَدِيُّ بْنُ زَيْدٍ

Dan berkata ‘Adi bin Zaid:

عَنْ الْمَرْءِ لَا تَسْأَلْ وَسَلْ عَنْ قَرِينِهِ    *    فَكُلُّ قَرِيــــنٍ بِالْمُقَارَنِ يَقْتَدِي

“Janganlah bertanya tentang perilaku seseorang, tanyalah perilaku temannya. Maka seorang teman akan mengikuti perilaku sahabat karib yang ditemani.”

إذَا كُنْت فِي قَوْمٍ فَصَاحِبْ خِيَارَهُمْ     *    وَلَا تَصْحَبْ الْأَرْدَى فَتَرْدَى مَعَ الرَّدِي

“Bila engkau berada dalam komunitas, maka bersahabatlah dengan orang baik dari mereka. Janganlah bersahabat dengan orang rendah (perilakunya), maka engkau akan rendah beserta orang yang rendah.”

فَلَزِمَ مِنْ هَذَا الْوَجْهِ أَيْضًا أَنْ يَتَحَرَّزَ مِنْ دُخَلَاءِ السُّوءِ، وَيُجَانِبَ أَهْلَ الرِّيَبِ، لِيَكُونَ مَوْفُورَ الْعَرْضِ سَلِيمَ الْعَيْبِ، فَلَا يُلَامُ بِمَلَامَةِ غَيْرِهِ

“Maka konsekuensi dari sudut pandang ini, agar menjauhi bergumul dengan orang-orang buruk (perilakunya), agar sempurna (terjaga) harga dirinya dan selamat dari aib, sehingga ia tidak tercela disebabkan tercelanya perilaku orang lain.” (Abu al-Hasan Ali bin Muhammad al-Mawardi, Adab al-Dunia wa al-Din, hal.160)

Saat duduk, hendaknya menghadap qiblat, sebisa mungkin untuk menjalankan kesunnahan-kesunnahan yang diajarkan Nabi. Pelajar juga dianjurkan untuk mencari sebanyak-banyaknya doanya orang shaleh dan menjauhi doanya orang yang terzalimi. Pelajar juga dianjurkan untuk memperbanyak shalat, serta melaksanakan shalat dengan khusyu’.

Ketigabelas, memberi pengaruh positif terhadap pelajar lain

Pelajar hendaknya menjadi contoh yang baik untuk teman-temannya, bukan justru menjadi provokator untuk perilaku tidak terpuji. Hendaknya pelajar menyemangati rekan-rekannya untuk giat belajar, menunjukan kepada mereka tips-tips untuk rajin menuntut ilmu, memalingkan dari mereka hal-hal yang dapat mengganggu kegiatan belajar.

Pelajar hendaknya ringan tangan, mudah dimintai bantuan oleh teman-temannya. Juga harus pro aktif menyampaikan penjelasan atau keterangan yang bagus dengan dibuat metode diskusi atau memberi masukan. Dengan hal demikian, hatinya akan terang bersinar, berkah ilmunya dan besar pahalanya. Pelajar yang kikir, enggan untuk berbagi ilmu, ia tidak akan mendapatkan apa-apa, andai mendapat ilmu, maka tidak akan produktif ilmunya. Hal demikian telah diuji coba oleh sekelompok ulama salaf.

Pelajar jangan sombong kepada temannya karena kecerdasan akalnya, akan tetapi memujilah kepada Allah dan mintalah tambahan ilmu dengan senantiasa bersyukur.

Pelajar hendaknya memuliakan teman-temannya dengan mengucapkan salam, menampakkan kecintaan, menjaga hak-hak pertemanan dan persaudaraan seagama. Hendaknya mudah untuk memaafkan dan memaklumi kesalahan-kesalahan mereka, menutupi keburukan mereka serta berterima kasih atas kebaikan mereka.


Ustadz M. Mubasysyarum Bih, Dewan Pembina Pondok Pesantren Raudlatul Qur’an, Geyongan Arjawinangun Cirebon Jawa Barat