Tasawuf/Akhlak

Cara Menata Hati menurut Al-Muhasibi

Sabtu, 28 September 2024 | 11:00 WIB

Cara Menata Hati menurut Al-Muhasibi

Ilustrasi hati. (Foto: NU Online)

Dalam kitab Adabun Nufus, Al-Muhasibi menulis, cinta pada dunia secara berlebihan adalah akar dari segala bencana. Seperti embun yang sirna oleh terik matahari, kehidupan yang hanya berpusat pada duniawi akan lenyap, meninggalkan kekosongan yang tak bertepi.

 

Dunia, dengan segala pesona dan fatamorgana, lanjutnya, seringkali membutakan mata hati manusia dari kebenaran yang sejati. Ketika jiwa terbuai oleh keindahan fana, ia menjadi lupa akan tujuan hakikinya, tenggelam dalam lautan hasrat dan ambisi.

 

Cinta dunia, kata ulama yang lahir tahun 781 M ini, seperti tali yang menjerat, membelenggu manusia dari kebebasan spiritualnya. Ia adalah ilusi yang memperdaya, mengalihkan perhatian dari keindahan yang abadi kepada bayangan yang menipu. Dalam keserakahan mengejar dunia, manusia seringkali kehilangan dirinya sendiri, melupakan hakikat penciptaan dan terperangkap dalam lingkaran tanpa akhir dari ketidakpuasan.

 

Simak penjelasan Al-Muhasibi dalam Adabun Nufus (Lebanon: Darul Ajyal, t.t​: 136) berikut;

 

حب الدُّنْيَا رَأس كل بلَاء. ويروى عَن النَّبِي صلى الله عَلَيْهِ وَسلم حبك الشَّيْء يعمي ويصم. ويروى عَن عِيسَى عَلَيْهِ السَّلَام انه قَالَ حب الدُّنْيَا راس كل خَطِيئَة

 

Artinya; "Cinta berlebihan pada dunia adalah akar dari segala bencana. Diriwayatkan dari Nabi SAW bahwa beliau bersabda: 'Kecintaanmu terhadap sesuatu dapat membutakan dan menulikan.' Diriwayatkan pula dari Nabi Isa bahwa beliau bersabda: 'Cinta dunia adalah akar dari segala kesalahan." .

 

Apa yang ditulis Muhasibi, mengingatkan dialog antara Candide dan Martin dalam karya Voltaire [1751], seperti diurai Goenawan Mohamad, di Catatan Pinggir, Majalah Tempo: sifat manusia yang tak terelakkan, terjerat dalam labirin hasrat dan kebencian yang tak berujung. Manusia berbunuh-bunuhan sejak dulu sampai sekarang. Seperti elang yang memangsa anak burung, begitulah manusia seringkali memangsa sesamanya, terperangkap dalam siklus kebencian dan keserakahan yang tak pernah berakhir. 

 

Candide, dengan segala kepolosan, mencoba memahami kenapa dunia seolah tak pernah berubah; kenapa manusia tetap jatuh pada kebobrokan dan kebencian? Jawab Martin, dengan tegas dan tanpa ilusi, seperti elang yang tak berubah untuk terus memangsa, manusia pun cenderung berjalan di lintasan yang sama. Jika elang punya watak memangsa, mengapa kamu mengira manusia akan mengubah wataknya pula?

 

Bagi Al-Muhasibi, begitu pun Voltaire dengan pandangan filsafatnya yang tajam, melihat watak manusia sebagai makhluk yang senantiasa dibayangi oleh nafsu yang tak pernah puas. Kerakusan bukan sekadar keinginan akan materi, melainkan kehausan tak terpuaskan akan kekuasaan, pengakuan, dan dominasi. Watak manusia yang buas, tercermin dalam sejarah peradaban yang penuh dengan peperangan, penindasan, dan ketidakadilan. 

 

Untuk itu, kerakusan adalah penyakit batin yang berakar pada kegagalan manusia mengenal dirinya dan Tuhannya. Dalam setiap hasrat yang berlebihan, ada ketakutan yang mendalam; takut kehilangan, takut kekurangan, dan takut akan kefanaan dunia. Watak buas manusia tak hanya muncul dalam bentuk fisik, tetapi juga dalam cara ia merusak harmoni batinnya sendiri, menghancurkan relasi antara dirinya dengan Sang Pencipta.

 

Selanjutnya, pembahasan Al-Muhasibi tidak terhenti pada kerakusan manusia pada duniawi. Pada kitab Adabun Nufus, ia juga memasukkan satu bab tentang hati yang rusak. Ulama yang bernama asli, Abu Abdillah al-Haris bin Asad al-Basri Al-Muhasibi, meyakini bahwa pangkal bencana di dunia yang disebabkan manusia dan kerusakan batin, disebabkan hati manusia yang kotor dan rusak.   

 

Al-Muhasibi menggambarkan betapa Iblis mencintai hati yang rusak, layaknya serangga malam yang tertarik pada kegelapan. Hati yang rusak, jadi ladang subur bagi Iblis untuk menaburkan benih-benih kejahatan, mengobarkan api nafsu, dan menggiring manusia ke lembah kehancuran. [hlm. 50]

 

Ketika hati kosong dari rasa takut kepada Allah, lanjutnya, tidak ada lagi penghalang bagi Iblis untuk merasuki relung-relung jiwa. Ia mengisi kekosongan itu dengan hasrat yang membara akan dunia, membuat manusia tenggelam dalam khayalan panjang tentang harapan-harapan yang menipu. 

 

Kerusakan hati, kian parah saat seorang hamba kehilangan dua penjaganya: rasa takut yang menahan dari perbuatan dosa dan kesedihan yang mengingatkan akan kefanaan dunia. Ketika penjaga-penjaga ini pergi, Iblis datang membawa angin godaan yang menyesatkan, menghembuskan ketakutan akan kemiskinan dan menabur kecintaan pada dunia. Dengan demikian, hati itu menjadi wilayah yang gelap, di mana Iblis bebas berlalu lalang.

 

Pada halaman 50, di Adabun Nufus sebagai solusi agar hati tidak kosong dan rusak, seyogianya hati seorang hamba dipenuhi dengan iman dan takwa yang menjadi benteng yang kokoh, tak tertembus oleh godaan Iblis. Hati yang penuh dengan rasa takut kepada Allah dan kesedihan atas dosa-dosa yang lalu, bersinar terang bagaikan obor di tengah malam yang gelap. 

 

Iblis pun akan mundur, terhalang oleh cahaya iman yang menakutkan baginya. Tidak ada ruang baginya untuk menanamkan godaan, karena hati tersebut telah dipenuhi dengan ingatan kepada Allah. Cahaya dari hati yang murni ini menerangi pandangan batin seorang hamba, membuatnya mampu melihat jalan-jalan masuk Iblis dan menutupnya rapat-rapat.

 

Lebih jauh, seorang hamba yang hatinya terang benderang dengan cahaya keimanan akan segera menyadari tipu daya Iblis. Ia berpegang teguh pada zikir, berlindung kepada Allah, dan mengusir Iblis yang mencoba mendekat. Iblis yang hina itu pun akan pergi, mencari hati lain yang gelap, kehilangan cahaya iman, kosong dari rasa takut kepada Allah, dan tidak lagi memiliki kesedihan yang mengingatkan. Di sanalah, dalam hati yang rusak dan terabaikan itu, Iblis menemukan tempatnya, membangun sarangnya, dan terus menyebarkan keburukan dan kehancuran.

 

فَإِذا وجد الْقلب عَامِرًا خنس وَنَفر مِنْهُ وَلم يجد فِيهِ مساغا وَلَا من جوانبه مدخلًا لِأَن الْقلب عَامر بالخوف وَالْأَحْزَان والفكر فَهُوَ مُنِير مضيء. يرى العَبْد بِنور قلبه مدَاخِل إِبْلِيس فيرميه بالإنكار لما يَدْعُو إِلَيْهِ ويعتصم بِمَا أيده الله بِهِ من نور قلبه فيدحره عَنهُ فولى الْخَبيث الى قلب قد فقد الْخَوْف فخرب وأظلم فَلَا نور فِيهِ

 

Artinya: “Maka apabila hati itu dipenuhi (oleh cahaya iman), setan akan bersembunyi dan menjauh darinya, serta tidak menemukan jalan untuk masuk dari sisi mana pun, karena hati tersebut dipenuhi dengan rasa takut (kepada Allah), kesedihan, dan pikiran yang mendalam. Hati itu menjadi terang dan bercahaya, sehingga seorang hamba dapat melihat dengan cahaya hatinya jalur-jalur masuknya setan. Kemudian, ia menolaknya dengan penolakan terhadap apa yang setan serukan, dan ia berlindung dengan cahaya yang telah Allah karuniakan kepadanya, sehingga ia dapat mengusir setan darinya. Maka, setan yang hina itu pun beralih kepada hati yang telah kehilangan rasa takut (kepada Allah), yang telah rusak dan gelap, tanpa cahaya di dalamnya.” (hlm.50).

 

Terakhir, sebagai wejangan, agar selamat dari kerakusan dunia dan hati yang rusak, Al-Muhasibi berwasiat, sebagaimana ia tulis di awal bab: 

 

"Aku wasiatkan kepada diriku dan kepada siapa saja yang mendengar ucapanku untuk bertakwa kepada Allah, yang telah menciptakan hamba-hamba dan kepada-Nya tempat kembali, dengan-Nya pula ada kebenaran dan petunjuk,". (hlm. 35)

 

Nasihat Al-Muhasibi ini sangat relevan. Pasalnya, sebagai manusia yang tengah berada dalam perjalanan hidup, seringkali kita terjebak dalam gemerlapnya dunia yang mengaburkan pandangan hati. Seolah segala kenikmatan duniawi menjadi tujuan akhir, kita lupa bahwa jiwa yang rakus dan hati yang rusak hanya akan mengantarkan pada kesengsaraan. 

 

Pun, wejangan ini mengajarkan bahwa kehidupan yang penuh dengan ketakwaan adalah kehidupan yang terarah. Ketika hati kita dipenuhi dengan takwa, dunia tak lagi menguasai kita, melainkan menjadi alat untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Seperti Al-Muhasibi yang berwasiat kepada dirinya sendiri, ia juga mengajak kita semua untuk menyadari bahwa di akhir segalanya, hanya kepada Allah kita kembali, dan Dialah satu-satunya sumber kebahagiaan dan keselamatan yang sejati. Wallahu a'lam.

 

Ustadz Zainuddin Lubis, Pegiat Kajian Islam Tinggal di Parung.