Tasawuf/Akhlak

Cinta Hakiki dan Indah dalam Pandangan Imam Al-Ghazali

Kamis, 24 Desember 2020 | 11:00 WIB

Cinta Hakiki dan Indah dalam Pandangan Imam Al-Ghazali

Imam Al-Ghazali menyebut cinta seseorang terhadap keindahan dan kebaikan sebagai contoh cinta hakiki karena setiap keindahan itu disukai oleh mereka yang merasakannya.

Imam Al-Ghazali menjelaskan cinta tanpa pamrih terhadap sesuatu sebagai cinta hakiki. Menurut Imam Al-Ghazali, cinta hakiki adalah cinta seseorang terhadap sesuatu tanpa ada kepentingan dan pamrih di balik itu. Bahkan, 'kepentingannya' adalah sesuatu itu sendiri.


Cinta hakiki dalam pengertian seperti ini, kata Imam Al-Ghazali, dipercaya sebagai cinta yang kekal. Imam Al-Ghazali menyebut cinta seseorang terhadap keindahan dan kebaikan sebagai contoh cinta hakiki karena setiap keindahan itu disukai oleh mereka yang merasakannya.


Kecintaan seseorang pada keindahan itu terjadi semata karena keindahan itu sendiri. Perasaan atau akses terhadap keindahan merupakan kenikmatan itu sendiri. Sedangkan kenikmatan dan kelezatan itu disukai karena kenikmatan itu sendiri, bukan karena faktor lain.


Jangan dikira, kata Imam Al-Ghazali, kecintaan pada bentuk-bentuk rupawan, elok, dan indah itu hanya karena pemenuhan syahwat. Pemenuhan syahwat memang kenikmatan tersendiri. Tetapi kita dapat mencintai suatu keindahan karena keindahan itu sendiri. 'Merasakan' inti keindahan merupakan sebuah kenikmatan sehingga keindahan sesuatu itu sendiri sangat mungkin disukai.


Imam Al-Ghazali menyebut contoh adanya cinta hakiki pada ladang hijau dan air mengalir. Bukankah semua itu disukai semata untuk dipandang, bukan diminum dan dimakan? Bukankah Rasulullah SAW menyukai ladang hijau dan gemericik air yang mengalir?


Akal sehat, kata Imam Al-Ghazali, menuntut keinkmatan pandangan pada cahaya, tumbuh kembang, burung-burung yang indah warna-warni, keindahan ukiran dengan bentuk-bentuk yang harmonis sehingga orang dapat terbebas dari kebimbangan dan kesumpekan pikiran hanya dengan memandang keindahan tersebut, bukan karena pamrih di balik keindahan tersebut.


Semua sebab itu, kata Imam Al-Ghazali, merupakan kenikmatan. Segala kenikmatan itu disukai orang. Demikian juga setiap kebaikan dan keindahan dirasakan karena kelezatan. Tiada seorang pun yang mengingkari keindahan disukai secara alamiah.


Kalau tetap riwayat bahwa Allah adalah sesuatu yang indah, maka Dia tentu disukai oleh orang yang dapat mengakses (inkisyaf) keindahan dan keagungan-Nya sebagai hadits riwayat Imam Muslim dari sahabat Ibnu Mas’ud, "Innallāha jamīlun, wa yuhibbul jamāla" atau "Sungguh, Allah adalah yang indah dan Dia menyukai keindahan," (Imam Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, [Beirut, Darul Fikr: 2018 M], juz IV, halaman 310). Wallahu a’lam. (Alhafiz Kurniawan)