Tasawuf/Akhlak

Etika Khutbah dan Ceramah Agama saat Terjadi Musibah atau Bencana

Jumat, 17 Januari 2020 | 01:15 WIB

Khutbah Jumat tidak dapat dipisahkan dari ibadah per pekan umat Islam. Sementara ceramah agama dalam pengajian dan berbagai peringatan hari besar Islam sudah lazim di tengah masyarakat. Tetapi dalam situasi musibah atau bencana para khatib, penceramah, dan dai perlu menjaga etika dakwah.

Etika dakwah ini perlu diingat dan dijaga mengingat sebagian khotib, penceramah, dan dai memvonis begitu saja masyarakat terdampak bencana sebagai pelaku maksiat dan menilai bencana atau musibah sebagai azab bagi individu atau masyarakat tersebut.

Khotib, penceramah, dan dai tidak etis menghakimi dan menuding masyarakat (juga individu) terdampak musibah atau bencana sebagai pelaku maksiat. Mereka harus menghindari vonis dan tudingan bahwa bencana atau musibah itu merupakan azab Allah untuk masyarakat (juga individu) yang bersangkutan.

Etika ini perlu diingat khotib, penceramah, dan dai karena menimbang perasaan masyarakat (dan individu) yang mengalami musibah atau menderita sebagai korban bencana dan menimbang perbedaan pendapat di kalangan ulama. Jangan sampai masyarakat (dan individu) yang sedang menderita mengalami dua kali derita akibat tudingan khotib, penceramah, dan dai yang tidak etis.

Buku Fikih Kebencanaan dalam Perspektif NU yang dikeluarkan Lembaga Bahtsul Masail (LBM) PWNU Jatim dan Lembaga Penanggulangan Bencana dan Iklim Nahdlatul Ulama (LPBINU) Jatim menyebutkan bahwa ulama memang berbeda pendapat perihal musibah dan bencana yang menimpa suatu masyarakat atau individu tertentu.

Sebagian ulama menyatakan, musibah atau bencana merupakan azab dari Allah. Sedangkan ulama lainnya menyatakan, musibah atau bencana bukan merupakan azab dari Allah. Dalil yang digunakan ulama pertama adalah Surat As-Syura ayat 30.
 
وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ

Artinya, “Musibah yang menimpa kalian, maka disebabkan oleh perbuatan kalian, dan Allah telah memaafkan banyak kesalahan.” (As-Syura: 30).

Adapun ulama kedua antara lain diwakili oleh Imam Fakhruddin Ar-Razi dalam karya tafsirnya, Mafatihul Ghaib, [Beirut, Darul Fikr: tth], halaman 173-174. Dalil yang diajukan oleh Imam Ar-Razi adalah sebagai berikut:

1. Balasan suatu dosa hanya akan terjadi pada hari kiamat sebagaimana Surat ghafir ayat 17.

الْيَوْمَ تُجْزَى كُلُّ نَفْسٍ بِمَا كَسَبَتْ

Artinya, “Pada hari itu (kiamat) setiap orang dibalas karena apa yang dilakukannya,” (Surat Ghafir ayat 17).

2. Bencana menimpa pada siapa saja, saleh atau tidak, beriman atau tidak. Semua orang tertimpa bencana.

3. Dunia adalah tempat beramal, bukan tempat pembalasan.

4. Bencana sebagai suatu musibah diturunkan karena menjadi proses yang terbaik bagi manusia.

Buku Fikih Kebencanaan dalam Perspektif NU menganjurkan masyarakat dan individu yang terdampak bencana untuk melakukan delapan hal berikut ini:

1.Menyelamatkan diri.

2.Bersabar.

3.Membaca istirja’ (innalillahi wa inna ilaihi raji’un).

4.Merendahkan diri kepada Allah dengan berdoa.

5.Melakukan shalat sunnah.

6.Introspeksi diri, tidak menyalahkan orang lain.

7.Bertobat.

8.Membantu korban terdampak bencana.

Para khatib, penceramah, dan dai juga seharusnya mengajak masyarakat untuk berempati dan saling membantu dalam mengatasi bencana atau musibah yang sedang dialami oleh sebagian masyarakat atau individu tertentu.

Buku Fikih Kebencanaan dalam Perspektif NU menyebut pendapat Atha As-Salami, salah seorang tabi’in, yang dikutip oleh Abdul Wahhab As-Sya’rani berikut ini:

وكان إذا أصاب أهل بلده بلاء يقول هذا بذنوب عطاء لو أنه خرج من بلادهم لما نزل عليهم بلاء

Artinya, “Syekh Atha’ As-Salami (tabi’in junior Kota Bashrah) saat penduduk negerinya tertimpa bencana berkata, ‘Ini disebabkan dosa Atha’. Andai ia (Atha) keluar dari negerinya, niscaya bencana tidak akan menimpa mereka.’” (Abdul Wahhab As-Sya’rani, Tanbihul Mughtarrin, [Kairo, Maktabahat Taufiqiyyah: tanpa tahun], halaman 87).

Delapan hal ini seharusnya juga patut menjadi perhatian bagi para khatib, penceramah, dan dai dalam menyampaikan materi-materi dakwahnya. Meski demikian, etika ini tidak menafikan catatan, kritik, introspeksi, evaluasi masyarakat, akademisi, pengamat terkait penanggulangan bencana, tata kota, pembalakan liar, dan sikap sewenang-wenang individu, masyarakat, dan salah kelola pemerintah atas lingkungan. Wallahu a‘lam. (Alhafiz Kurniawan)