Tasawuf/Akhlak

Hadits ‘Bekerjalah untuk Duniamu’ dan Renungan Kezuhudan

Kam, 15 Juli 2021 | 16:00 WIB

Hadits ‘Bekerjalah untuk Duniamu’ dan Renungan Kezuhudan

Zuhud dalam menyikapi dunia adalah ketika engkau tak merasa pupus saat kehilangan duniamu, dan tak riang gembira kala mendapatkannya.

Dalam Mukhtashar Ihya’ Ulumiddin pada bab keempat puluh, terdapat penggalan hadits yang berbunyi, Lau ‘alimtum mâ a’lamu ladhahiktum qalil(an) wa labakaitum katsir(an), “Kalau saja kalian mengetahui apa yang kuketahui (tentang kematian), pastilah kalian tak banyak tertawa dan lebih sering menangis”. Kemudian, bila kita membaca kajian seputar etos kerja yang ditawarkan agama melalui hadits riwayat Abdullah Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu—yang mana akan menjadi objek kajian tulisan kali inimaka akan berkesimpulan bahwa kedua hadits tersebut memiliki spirit yang sama. Yaitu, sebagai nasihat kematian yang sekaligus menyadarkan kita akan rendahnya nilai gemerlap dunia ini di sisi Allah.

 

Berikut redaksi Hadits riwayat Ibnu Umar tersebut:

 

اعْمَلْ لِدُنْيَاكَ كَأَنَّكَ تَعِيْشُ أَبَداً وَاعْمَلْ لِآخِرَتِكَ كَأَنَّكَ تَمُوْتُ غَداً

 

Artinya, “Bekerjalah untuk duniamu seolah akan hidup selamanya, dan bekerjalah untuk akhiratmu seolah engkau akan mati esok hari.”

 

Sebenarnya, kajian hadits ini sudah sejak lama dan banyak tersebar, baik secara verbal oleh para dai kita maupun melalui media-media online dewasa ini. Bahkan, penulis sendiri pertama kali mendengar keterangan yang benar tentang hadits di atas, yaitu sekitar tahun 2016 dari KH Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus) di sebuah kanal Youtube dalam satu kesempatan.

 

Adalah kitab Tafsir wa Khawathir al-Imam Muhammad Mutawalli as-Sya’rawi, termasuk karya yang banyak dirujuk dalam hal ini. Hemat sang faqih, ushuli, juga mufasir kelahiran Mesir ini (1329-1419 H/1911-1998 M), hadits tersebut bukanlah motivasi agama untuk lebih giat mencari bekal duniawi ketimbang ukhrawi sebagaimana yang banyak dipahami. Justru memotivasi kita agar jauh lebih memprioritaskan bekal ukhrawi daripada duniawi. Menurut saya pribadi, tafsir hadits semacam ini harus didakwahkan lebih banyak dan masif. Mengingat, tanpa hadits dan tafsir yang benar pun, tabiat manusiawi selalu menghalangi kita untuk mengingat rumah abadi itu (akhirat). Apalagi bila hadits ini dipahami salah, tentu akan semakin menyesatkan.

 

Dalam Tafsir as-Sya’rawi (juz 3, hal. 1752) dijelaskan:

 

الناس تفهمها فهماً يؤدي مطلوباتهم النفسية بمعنى: اعمل لدنياك كأنك تعيش أبداً: يعني اجمع الكثير من الدنيا كي يَكفيك حتى يوم القيامة، وليس هذا فهماً صحيحاً لكن الصحيح هو أن ما فاتك من أمر الدنيا اليوم فاعتبر أنك ستعيش طويلًا وتأخذه غداً، أمَّا أمر الآخرة فعليك أن تعجل به

 

Artinya, “Masyarakat kebanyakan memahami hadits (di atas) mengikuti kehendak (naluri) kemanusiaannya. Jadi, saat hadits mengatakan, ‘Bekerjalah untuk duniamu seolah akan hidup selamanya’, kita memaknainya, karena kita akan hidup di dunia selamanya, maka harus mengumpulkan bekal sebanyak mungkin agar cukup dibawa hingga kiamat nanti. Padahal, tidak demikian. Tetapi logika yang benar, karena kita akan hidup di dunia ini selamanya, maka kita punya banyak kesempatan untuk mengumpulkan bekal, dari itu, kita harus memprioritaskan apa yang lebih dekat dan urgen, yaitu mengumpulkan bekal menghadapi kematian.”

 

Bila dibaca secara cermat, hadits riwayat Ibnu Umar di atas menyimpan pesan kezuhudan yang amat dalam. Ia sedang membisiki kita tentang begitu dekatnya kematian itu. Jadi, seakan-akan hadits tersebut menyadarkan kita semua yang tengah larut dalam gemerlap kehidupan, bahkan nyaris sampai ingin hidup selamanya, bahwa kita bisa saja mati esok hari. Begitulah adanya, angan-angan manusia memang jauh melampaui usianya. Sehingga, tepat sekali sabda Nabi ﷺ yang berbunyi, Kafa bilmauti wa’idhza, “Cukuplah kematian sebagai penasihat terbaik kita”.

 

Tiada patut diragukan, baginda Nabi ﷺ memang sosok suri teladan terbaik sepanjang masa, di mana pun dan dalam keadaan apa pun. Dalam hal ini, kita dapat meneladani kehidupan sang insan mulia ini melalui sabdanya dalam mukadimah kitab Ma’na az-Zuhdi wa al-Maqalat wa Shifat az-Zahidin (hal. 16) karya sang sufi kelahiran Bashrah, Imam Abu Sa’id Ahmad bin Muhammad bin Ziyad bin Bisyr Ibnu al-A’rabi al-Bashri (340 H), atau dalam kitab Mukhtashar Minhaj al-Qashidin (hal. 193) karya imam Najmuddin Abu al-Abbas Ahmad bin Abdurrahman Ibnu Qudamah al-Muqdisi (689 H). Berikut redaksinya:

 

مالي وللدنيا؟ إنما أنا كراكب قال في ظل شجرة، ثم راح وتركها

 

Artinya, “Apalah dunia bagiku, saya di dunia ini laiknya seorang musafir pengendara yang hanya menumpang istirahat (tidur qailulah) di bawah pohon, yang sesaat kemudian beranjak pergi dan meninggalkan pohon tersebut.”

 

Analogi yang digunakan sang baginda nabi dalam hadits di atas merupakan analogi yang sempurna. Bahkan mampu menembus batas logika dan relung hati sekalian umatnya. Analogi kehidupan duniawi semacam ini sebagaimana yang dilakukan nabi, sungguh sangat rasional. Selain itu, karena pengibaratan tersebut akrab dengan aktivitas kita sehari-hari, di mana kita sering besafar, ziarah, dan sempat mampir di mana-mana, akhirnya mampu menciptakan suasana hati yang tidak biasa. Lebih terasa dan mampu diterima oleh hati tanpa sedikit pun penolakan. Dalam bahasa agama, karib dikenal dengan ‘auqa’u fi an-nafsi’.

 

Membincang zuhud, kami jadi tertarik untuk membahas tiga tingkatan zuhud yang dikemukakan Hujjatul Islam Abu Hamid al-Ghazali (505 H) dalam Mukhtashar Ihya’ Ulumiddin (hal. 198). Pertama, yaitu ketika seseorang menginginkan sesuatu yang bernuansa duniawi, lalu ia melawan nafsu dan keinginannya itu. Dan, inilah tingkatan pemula yang disebut darajatul mutazahhid (orang yang baru belajar zuhud). Bila terus demikian, lambat laun ia akan sampai pada zuhud yang sebenarnya.

 

Tingkatan kedua adalah ketika seseorang lebih memilih sesuatu—dengan pertimbangan substansi ukhrawi—yang jauh lebih berharga ketimbang yang lain. Jadi, ia rela meninggalkan yang lain demi sesuatu yang lebih berharga. Ibarat kata, rela melepas sepuluh ribu demi mendapatkan 20 ribu di kemudian hari. Kemudian yang ketiga, dan inilah yang tertinggi, yakni ketika seseorang memandang dunia dan segenap keduniawian di dalamnya tiada lagi berharga. Dirinya hanya menyoroti nilai-nilai ukhrawi dan ketuhanan. Dunia dan akhirat baginya bagaikan secarik kain kotor dan permata. Ia terus mengejar permata tanpa menghiraukan secarik kain tersebut. Tak sedikit pun nilai yang dapat dihargai dari secarik kain dibanding permata yang indah nan mempesona.

 

Terakhir, saya ingin mengutip Ma’na az-Zuhdi wa al-Maqalat wa Shifat az-Zahidin (hal. 56). Di sana, terdapat statement imam Wahib al-Makki tentang zuhud yang berbunyi

 

الزهد في الدنيا أن لا تأسى على ما فاتك منها، ولا تفرح على ما أتاك منها

 

Artinya, “Zuhud dalam menyikapi dunia adalah ketika engkau tak merasa pupus saat kehilangan duniamu, dan tak riang gembira kala mendapatkannya.”

 

Semoga kita mampu proporsional dalam memilih serta menjalankan skala prioritas antara duniawi dan ukhrawi. Amin. Wallahu a’lam bisshawâb.

 

Ustadz Ahmad Dirgahayu Hidayat, alumni sekaligus pengajar di Ma’had Aly Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo Jawa Timur.