Tasawuf/Akhlak

Hakikat Rendah Hati: Ditujukan pada Allah, Bukan Manusia

Jum, 14 Juni 2024 | 10:30 WIB

Hakikat Rendah Hati: Ditujukan pada Allah, Bukan Manusia

Seorang muslim sedang i'tikaf di masjid. (Foto ilustrasi: NU Online/Freepik)

Islam mengajarkan kesetaraan dan menafikan kasta di antara umat manusia. Semua manusia di hadapan Allah merupakan seorang hamba yang derajatnya dinilai mulia sebab ketakwaan. Keterangan tersebut terpampang jelas dalam Al-Quran surat Al-Hujurat ayat 13:


اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْۗ اِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ


Artinya: “Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa.” (QS Al-Hujurat: 13).


Meskipun menafikan kasta, Islam senantiasa memerintahkan agar manusia saling menghormati satu sama lain dan juga saling bersikap rendah hati serta tidak menyombongkan diri. Rendah hati sendiri kerap disebut tawaduk, atau ‘tawadhu’. Salah satu ayat Al-Quran yang menjelaskan sikap rendah hati adalah QS Al-Furqan ayat 63:


وَعِبَادُ الرَّحْمٰنِ الَّذِيْنَ يَمْشُوْنَ عَلَى الْاَرْضِ هَوْنًا وَّاِذَا خَاطَبَهُمُ الْجٰهِلُوْنَ قَالُوْا سَلٰمًا 


Artinya: “Hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pengasih itu adalah yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang bodoh menyapa mereka (dengan kata-kata yang menghina), mereka mengucapkan, ‘Salam’.” (QS Al-Furqan: 63).


Az-Zuhaili dalam At-Tafsirul Munir pernah menjelaskan maksud seorang hamba dalam ayat tersebut dengan: “Mereka adalah orang-orang yang berjalan dengan tenang dan penuh kewibawaan tanpa kesombongan dan keangkuhan. Mereka bertindak dan memperlakukan orang lain dengan penuh kelembutan. Mereka tidak menginginkan derajat yang luhur di dunia, dan tidak pula membuat kerusakan.” (Syekh Wahbah az-Zuhaili, At-Tafsirul Munir, [Beirut: Darul Fikr, 1418], jilid XIX, hal. 105).


Al-Fudhail bin 'Iyadh mendefinisikan sifat rendah hati atau tawaduk sebagai: “Tunduk pada kebenaran dan menerimanya dari siapa pun yang menyampaikannya.” Sementara seorang tokoh sufi, Abu Yazid Al-Bustami, mendefinisikan kerendahan hati dengan ketiadaan pandangan bahwa dirinya memiliki kedudukan tertentu, dan tidak memandang orang lain lebih buruk darinya.” (Yasir ‘Abdurrahman, Mawsu’atul Akhlaq waz Zuhd war Riqaq, [Kairo: Muassasah Iqra’, 2007], jilid I, hal. 351).


Dua definisi terkait kerendahan hati dari dua tokoh besar di atas mengandung poin penting bahwa kerendahan hati meniscayakan seseorang untuk menghormati orang lain dan tidak menganggap dirinya lebih tinggi kedudukannya. 


Al-Muhasibi dalam Adabun Nufus pernah memaparkan penjelasan terkait hakikat rendah hati. Menurutnya, kerendahan hati adalah ketika seseorang keluar dari rumah dan bertemu orang-orang, lalu merasa bahwa dirinya tidak lebih baik atas mereka. (Al-Muhasibi, Adabun Nufus, [Beirut: Darul Jayl, 1984], hal. 187)


Selanjutnya terkait dengan sifat tawaduk dalam hadits, Rasulullah saw merupakan sosok yang memiliki sifat rendah hati. Beliau pernah menyampaikan pesan terkait hal ini dalam hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahih-nya:


وما تواضع أحد لله إلا رفعه


Artinya: “Siapa pun yang tawadhu' (rendah hati) karena Allah, maka Allah akan mengangkat derajatnya.” (HR Muslim).


Menanggapi hadits di atas, Al-Munawi menegaskan bahwa tawaduk atau rendah hati sejatinya diperuntukkan hanya kepada Allah saja, bukan kepada manusia, sebagaimana disebut dalam hadits Rasulullah saw.


Al-Munawi mengutip Ibnu ‘Athaillah, bahwa kerendahan hati yang ditujukan kepada Allah merupakan sifat tawaduk yang sempurna, sedangkan kerendahan hati yang ditujukan pada manusia seraya meyakini kebesaran diri sendiri bukanlah kerendahan hati yang sejati, akan tetapi lebih layak disebut dengan kesombongan. 


Kemudian Al-Munawi melanjutkan penjelasannya bahwa balasan dari kerendahan hati yang ditujukan kepada Allah adalah kemuliaan baik di dunia maupun di akhirat. Kerendahan hati kepada Allah termanifestasikan dalam bentuk menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangannya. (Al-Munawi, Faydhul Qadir, [Beirut: Darul Kutub al-‘Ilmiyyah, 1994], jilid III, hal. 274).


Adapun balasan kerendahan hati kepada Allah dalam pandangan an-Nawawi memiliki dua kemungkinan. Pertama, derajatnya akan ditinggikan oleh Allah di sisi manusia. Kedua, dirinya akan mendapat pahala di akhirat kelak sebab kerendahan hatinya. (An-Nawawi, Syarh Shahih Muslim, [Beirut: Dar Ihya Turats al-‘Arabi, 1392], jilid XVI, hal. 142).


Adapun praktik pengamalan hadits tersebut secara sederhana adalah perlunya menanamkan sifat kerendahan hati dalam diri kita dengan tujuan semata-mata ingin mendekatkan diri kepada Allah. Dengan adanya kerendahan hati, maka akan lahir sikap penghormatan terhadap orang lain, sebab tidak ada rasa lebih istimewa serta penilaian bahwa orang lain lebih buruk daripada diri kita. Wallahu a’lam.


Amien Nurhakim, Penulis Keislaman NU Online