Tasawuf/Akhlak

Hakikat Zuhud menurut Imam Al-Ghazali

Sab, 26 Februari 2022 | 10:15 WIB

Hakikat Zuhud menurut Imam Al-Ghazali

Adapun hakikat zuhud itu sendiri adalah kondisi batin yang tidak tercemar oleh ambisi harta duniawi. (Ilustrasi: sothebys.com)

Imam Al-Ghazali menerangkan zuhud yang berkaitan harta duniawi. Menurutnya, banyak orang keliru memahami zuhud. Banyak orang mengira, zuhud merupakan kondisi papa dan menjauhi kehidupan (harta) duniawi. Ini anggapan keliru yang terlanjur populer di masyarakat.


Imam Al-Ghazali kemudian meluruskan kekeliruan pandangan terkait zuhud sebagaimana berikut:


اعلم أنه قد يظن أن تارك المال زاهد وليس كذلك فإن ترك المال وإظهار الخشونة سهل على من أحب المدح بالزهد 


Artinya, “Ketahuilah, banyak orang mengira, orang yang meninggalkan harta duniawi adalah orang yang zuhud (zahid). Padahal tidak mesti demikian. Pasalnya, meninggalkan harta dan berpenampilan “buruk” itu mudah dan ringan saja bagi mereka yang berambisi dipuji sebagai seorang zahid,” (Imam Al-Ghazali, Ihya Ulumiddin, [Beirut, Darul Fikr: 2018 M/1439-1440 H], juz IV, halaman 252).


Berapa banyak kelompok rahib, kata Imam Al-Ghazali, yang mengonsumsi sedikit makanan setiap harinya? Mereka juga mendiami padepokan tanpa pintu? Tetapi mereka mengharapkan perhatian masyarakat agar disebut sebagai kelompok yang zuhud. Padahal sikap demikian sama sekali tidak menunjukkan kezuhudan karena kezuhudan dari harta duniawi tidak dapat dilepaskan dari kezuhudan yang berkaitan dengan ketenaran.


Adapun hakikat zuhud itu sendiri adalah kondisi batin yang tidak tercemar oleh ambisi harta duniawi. Hal ini diangkat oleh Imam Al-Ghazali ketika menceritakan kezuhudan ulama besar dalam Islam Imam Malik ra yang kaya raya dan dermawan.


Imam Malik ra adalah orang yang zuhud di mana harta duniawi tidak singgah di dalam hati dan pikirannya. Sementara ia adalah ulama besar yang kaya raya.


وليس الزهد فقد المال وإنما الزهد فراغ القلب عنه ولقد كان سليمان عليه السلام في ملكه من الزهاد


Artinya, “Zuhud bukan berarti ketiadaan harta duniawi. Zuhud merupakan kesucian hati dari harta duniawi. Nabi Sulaiman as sendiri di tengah gemerlap kekuasaannya tetap tergolong orang yang zuhud,” (Imam Al-Ghazali, 2018 M/1439-1440 H: I/43).


Imam Al-Ghazali kemudian tiga tanda kezuhudan.


1. Tidak terpengaruh oleh keberadaan dan ketiadaan harta.


العلامة الأولى أن لا يفرح بموجود ولا يحزن على مفقود كما قال تعالى لكيلا تأسوا على ما فاتكم ولا تفرحوا بما آتاكم


Artinya, “Tanda pertama, tidak berbangga ketika berada dan tidak bersedih ketika tiada harta sebagaimana firman Allah, ‘Agar kalian tidak putus asa atas harta yang luput dan tidak berbangga dengan apa yang Allah berikan kepada kalian,’ (Surat Al-Hadid ayat 23),” (Al-Ghazali, 2018 M: IV/252).


2. Tidak terpengaruh oleh pujian dan hinaan.


العلامة الثانية أن يستوى عنده ذامه ومادحه 


Artinya, “Tanda kedua, orang yang menghina dan memujinya sama saja baginya,” (Imam Al-Ghazali, 2018 M: IV/252).


Kalau tanda pertama berkaitan dengan kezuhudan harta, maka tanda kedua berkaitan dengan kezuhudan kepangkatan/kewibawaan, kata Imam Al-Ghazali.


Az-Zabidi dalam Kitab Ithafus Sadatil Muttaqin Syarah Kitab Ihya Ulumiddin mengatakan perihal tanda kedua. Menurutnya, orang yang zuhud takkan bahagia mendengar pujian orang lain dan tidak kecewa menerima hinaan orang lain.


3. Terhibur atau senang dengan Allah SWT.


العلامة الثالثة أن يكون أنسه بالله تعالى والغالب على قلبه حلاوة الطاعة


Artinya, “Tanda ketiga, senang dengan Allah yang ditandai dengan kenikmatan ibadah dalam hatinya,” (Imam Al-Ghazali, 2018 M: IV/252).


Demikian hakikat dan beberapa tanda kezuhudan. Wallahu a’lam. (Alhafiz Kurniawan)