Imam Khalil: Dunia Terasa Sempit bagi Orang yang Saling Membenci
NU Online ยท Senin, 14 Desember 2020 | 10:30 WIB
Muhammad Afiq Zahara
Kolomnis
Dalam kitab al-Bashรขโir wa al-Dzakhรขโir, Imam Abu Hayyan al-Tauhidi memasukkan perbincangan Imam Al-Ashmaโi (121-216 H) dan Imam Khalil bin Ahmad al-Farahidi (100-173 H) tentang persahabatan dan permusuhan. Berikut kisahnya:
ูุงู ุงูุฃุตู
ุนู: ุฏุฎูุชู ุนูู ุงูุฎููู ููู ุฌุงูุณ ุนูู ุญุตูุฑู ุตุบูุฑ, ููุงู ูู: ุชุนุงูู ุงุฌููุณู
โูููุช: ุฃูุถููููู ุนููู, โููุงู: ู
ููู! ุงูุฏููุง ุจุฃูุณุฑููุง ู
ุง ุชูุณูุน ู
ูุชุจุงุบูุถููู, ูุฅูู ุดูุจุฑูุง ูู ุดูุจุฑู ููููุณูุน ู
ูุชุญุงุจูููู
(Imam) al-โAsmaโi berkata: โAku (berkunjung) masuk ke (rumah Imam) Khalil, dan dia sedang duduk di atas tikar jerami yang kecil. Dia berkata kepadaku: โKemarilah, duduk (di sini).โ
Aku menjawab: โ(Maaf), aku membuat (tempat duduk)mu sempit.โ
(Imam) Khalil berkata: โAh, (kau ini)! Luasnya dunia akan terasa sempit (atau tidak cukup luas) bagi dua orang yang saling membenci. (Namun), sejengkal (tanah) akan terasa luas bagi dua orang yang saling mencintai.โ (Imam Abu Hayyan al-Tauhidi, al-Bashรขโir wa al-Dzakhรขโir, [Beirut, Dar Shadir: 1988 M], juz III, halaman 127).
***
Hubungan guru-murid ini luar biasa. Sang guru tidak keberatan kenyamanannya berkurang. Sang murid tidak enak hati menerima tawaran gurunya. Ya, Imam Ahmad bin Khalil al-Farahidi adalah guru dari Imam Abu Saโid Abdul Malik bin Quraib al-Ashmaโi.
Keduanya adalah ahli bahasa yang berhasil mengembangkan ilmu nahwu, sharaf, sastra, dan ilmu-ilmu lain yang berkaitan dengan bahasa. Imam Khalil memiliki banyak murid, termasuk di antaranya adalah Imam Sibaweih (148-180 H), dan Imam Abu al-Hasan Ali al-Kisai (119-189 H). Bersama Imam al-Ashmaโi, mereka berdua memperkaya literatur Islam dalam bidang bahasa.
Suatu hari, entah di waktu siang atau sore, Imam al-Ashmaโi sowan kepada gurunya. Ketika itu, Imam Khalil bin Ahmad sedang duduk di atas tikar jerami kecil, yang mungkin hanya bisa menampung satu orang. Tapi, dengan keluasan hati, ia mengundang muridnya untuk duduk bersamanya. Hal itu memberatkan hati sang pengarang al-Ashmaโiyyรขt, antologi puisi yang disusun oleh al-Ashmaโi sehingga ia berujar kepada gurunya: โ(Maaf), aku membuat (tempat duduk)mu sempit.โ
Imam Khalil, sembari seakan-akan tersenyum, membalas ujaran itu dengan mengucap: โAh, (kau ini)! Luasnya dunia akan terasa sempit (atau tidak cukup luas) bagi dua orang yang saling membenci. (Namun), sejengkal (tanah) akan terasa luas bagi dua orang yang saling mencintai.โ
Coba kita lihat persembahan akhlak yang cerdas ini. Apa yang ditampilkan di atas, tidak hanya mempertemukan dua pekerti mulia antara guru dan murid, tapi juga kecerdasan Imam Khalil dalam menenangkan kegelisahan muridnya. Bahwa, untuk orang yang saling membenci, dunia seluas ini, atau luasnya dunia ini, akan terasa sesak bagi mereka berdua. Berbeda halnya dengan orang yang saling mencinta, ruang sebesar jengkal tanah, terasa luas untuk dihuni dan ditinggali.
Seakan-akan Imam Khalil hendak berkata kepada muridnya untuk menjauhi kebencian, dan mengembangkan kasih sayang. Hidup terlalu singkat untuk membenci; hidup terlalu cepat untuk memusuhi, daripada sibuk berpikir untuk menang, atau membalas permusuhan, alangkah indahnya jika saling mengasihi dan berbagi. Pikiran dan hati menjadi luas, laiknya sejengkal tanah yang ditempati sepasang kekasih. Ia akan disyukuri dan dinikmati sepanjang hari.ย
Dalam salah satu riwayat, Imam Khalil pernah ditanya oleh seseorang tentang persahabatan:
ููุฏ ููู ูู: ุฅูู ุงุณุชููุณุงุฏ ุงูุตุฏูู ุฃููู ู
ู ุงุณุชุตูุงุญ ุงูุนุฏูู, ูุงู: ูุนู
ูู
ุง ุฃูู ุชุฎุฑููู ุงูุซููุจ ุฃููู ู
ู ูุณุฌู
Artinya, โTelah dikatakan kepadanya: โSesungguhnya merusak pertemanan jauh lebih mudah daripada memperbaiki permusuhan.โ (Imam) Khalil menjawab: โBetul, sebagaimana merobek kain jauh lebih mudah daripada menenunnya.โโ (Al-Tauhidi, 1988 M: III/127).
Imam Khalil sangat berharap agar manusia dapat menjaga persahabatannya. Sebab, sekali persahabatan putus, memperbaikinya sangat susah, seperti halnya menenun kain jauh lebih susah daripada merobeknya. Karena itu, kita harus membuka pintu persahabatan sekaligus pintu maaf secara bersamaan.
Setiap manusia pasti โpernahโ, atau โakanโ berbuat salah, selama dia masih bernafas. Jika kita bisa menggunakan pikiran itu kepada orang lain, kenapa tidak kita gunakan untuk diri kita sendiri, bahwa kita telah berbuat salah di masa lalu, dan mungkin akan berbuat salah di masa depan.ย
Dengan demikian, kita akan lebih memahami bahwa sahabat atau saudara-saudara kita, pasti memiliki kekurangan dan kelebihannya sendiri-sendiri, sebagaimana diri kita. Memahami kekurangan orang lain adalah kunci keharmonisan, dan mengakui kelebihannya adalah langkah kebaikan. Sebab, sebagai makhluk yang memiliki potensi salah, kita tidak punya hak untuk menilai berlebihan dalam persahabatan dan persaudaraan.
Jangan sampai ketidakpahaman kita tentang kekurangan orang lain menimbulkan kebencian dan kemarahan. Apalagi, orang lain pun, mungkin, memandang kita sebagai pihak yang bersalah.
Maka dari itu, jangan sampai kita dimakan oleh kebencian yang membabi buta, entah kepada orang yang kita kenal, maupun yang tidak kita kenal. Bukankah hidup terlalu singkat untuk membenci? Bukankah hati terlalu berat untuk terus marah? Bukankah pikiran terlalu lelah untuk terus memusuhi? Allahumma shalli โala sayyidina Muhammad. Lagi pula, kedamaian dan cintalah yang mengindahkan dunia. Bukankah demikian? Wallahu aโlam bis shawwab.....
Muhammad Afiq Zahara, alumni Pondok Pesantren Darussaโadah, Bulus, Kritig, Petanahan, Kebumen.
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Inilah Obat bagi Jiwa yang Hampa dan Kering
2
Khutbah Jumat: Bahaya Tamak dan Keutamaan Mensyukuri Nikmat
3
Khutbah Jumat: Belajar dari Pohon Kurma dan Kelapa untuk Jadi Muslim Kuat dan Bermanfaat
4
Kontroversi MAN 1 Tegal: Keluarkan Siswi Juara Renang dari Sekolah
5
PBNU Tata Ulang Aset Nahdlatul Ulama Mulai dari Sekolah, Rumah Sakit, hingga Saham
6
Ekologi vs Ekstraksi: Beberapa Putusan Munas NU untuk Lindungi Alam
Terkini
Lihat Semua