Tasawuf/Akhlak AL-HIKAM

Ini Pengertian Keramat Menurut Ibnu Athaillah

Sab, 10 Februari 2018 | 07:00 WIB

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menyebut dua pengertian kata “keramat”, yaitu pertama sebagai suci dan dapat mengadakan sesuatu di luar kemampuan manusia biasa karena ketakwaannya kepada Tuhan. Sedangkan pengertian kedua dalam KBBI, kata “keramat” bermakna suci dan bertuah yang dapat memberikan efek magis dan psikologis kepada pihak lain.

Keramat atau karamah dalam pengertian lazimnya masyarakat lebih dekat denga pengertian pertama dalam KBBI. Keramat atau karamah itu bisa dalam bentuk pemangkasan jarak di mana seseorang dapat berpindah dari satu ke lain tempat yang sangat berjauhan dalam tempo singkat di luar batas kelaziman.

Tetapi kemampuan di luar kelaziman itu bukanlah pemangkasan jarak hakiki. Kemampuan luar biasa itu sejatinya adalah pemangkasan jarak dunia sehingga seseorang dapat melihat akhirat sebelum waktunya sebagaimana disinggung Syekh Ibnu Athaillah dalam hikmah berikut ini:

الطي الحقيقي أن تطوي مسافة الدنيا عنك حتى ترى الآخرة أقرب إليك منك

Artinya, “Lipatan hakiki adalah kau melipat jarak dunia sehingga kau melihat akhirat lebih dekat ketimbang dirimu sendiri.”

Selain jarak, keramat atau karamah juga bisa bermakna pemangkasan waktu di mana seseorang mampu berpuasa sepanjang tahun atau bertahajud setiap malam tanpa terasa. Ini yang dimaksud pemangkasan waktu. Tetapi sesungguhnya bukan ini keramat atau karamah sejati sebagaimana disinggung Syekh Syarqawi berikut ini:

الطي الحقيقي أن تطوي) أيها المريد (مسافة الدنيا عنك) بأن لا تشتغل بلذاتها وشهواتها ولا تركن إليها بل تغيب عنها (حتى ترى الآخرة أقرب إليك منك) أي تكن نصب عينيك ليست غائبة عن قلبك فهذا هو الطي الحقيقي الذي يكرم الله به أولياءه وبه تتحقق عبوديتهم لربهم لا طي مسافة الأرض بأن تكون من أهل الخطوة لأنه ربما كان استدراجا ومكرا ولا طي الليالى والأيام بالقيام والصيام لأنه ربما قارنه رياء أو عجب فتكون عاقبته الخسران.

Artinya, “(Lipatan hakiki adalah kau) wahai murid (melipat jarak dunia) dalam arti kau tidak sibuk dengan kelezatan dan keinginan duniawi serta tidak bergantung padanya, tetapi kau tersembunyi darinya (sehingga kau melihat akhirat lebih dekat ketimbang dirimu sendiri) dalam arti akhirat tampak di hadapan kedua matamu. Akhirat tidak tersembunyi. Inilah lipatan jarak hakiki di mana Allah memuliakan para wali-Nya. Dengan lipatan hakiki ini, kehambaan mereka kepada Allah terwujud, bukan dengan melipat jarak dalam arti langkah ‘ajaib’. Pasalnya langkah ajaib itu bisa jadi bentuk istidraj dan tipu daya belaka. Lipatan hakiki juga bukan melipat jarak waktu malam dan siang dengan tahajud dan puasa karena boleh jadi riya dan ujub terselip di dalam keduanya sehingga berakhir dengan kerugian,” (Lihat Syekh Syarqawi, Syarhul Hikam, Al-Haramain, 2012M, juz I, halaman 67).

Keramat atau karamah sejati itu muncul karena terbitnya nurul yaqin (cahaya keyakinan) di dalam hati. Tanpa terbitnya cahaya keyakinan itu, orang tidak akan bisa memandang jauh akhirat seakan di hadapannya. Hal ini dijelaskan oleh Syekh Syarqawi sebagai berikut:

ولا يمكن أن تطوي عن العبد مسافة الدنيا إلا إذا أشرق نور اليقين في قلبه فحينئذ تنعدم الدنيا في نظره ويرى الآخرة حاضرة لديه موجودة عنده. ومن كانت هذه مشاهدته لا يتصور منه حب الفاني وهو الدنيا واستبداله بالباقي وهو الآخرة. أما إذا لم يشرق نور اليقين في قلبه كان راغبا في الدنيا مؤثرا لها على الآخرة راكنا إليها وغائبا عن مولاه لضعف يقينه وتقواه.

Artinya, “Seorang hamba tidak mungkin melipat jarak dunia kecuali setelah terbitnya cahaya keyakinan di dalam hatinya. Ketika cahaya itu terbit, dunia lenyap dari pandangannya dan ia melihat akhirat hadir di hadapannya dan muncul di dekatnya. Orang yang pandangannya seperti ini takkan terbayang padanya mencintai sesuatu yang fana, yaitu dunia, dan menganti sesuatu yang kekal, yaitu akhirat, dengan dunia. Sedangkan orang yang tidak terbit cahaya keyakinan di dalam hatinya akan mencintai dunia, mengutamakan dunia ketimbang akhirat, bergantung pada dunia, dan lenyap dari kehadiran Allah karena kelemahan keyakinan dan ketakwaannya,” (Lihat Syekh Syarqawi, Syarhul Hikam, Al-Haramain, 2012M, juz I, halaman 68).

Dengan pandangan yang tembus ke akhirat itu seseorang diharapkan dapat bertobat dan memperbaiki perilaku kesehariannya agar dapat menjalani kewajiban yang diperintahkan agama dan menjauhi larangan agama dengan memanfaatkan sisa hidup yang ada entah sampai kapan. Wallahu a‘lam. (Alhafiz K)