Tasawuf/Akhlak

Makna Luas Silaturahmi, Hindari Salah Kaprah Memahami

Kam, 7 Maret 2024 | 15:00 WIB

Makna Luas Silaturahmi, Hindari Salah Kaprah Memahami

Ilustrasi makna silaturahim (NU Online).

Mendekati bulan Ramadhan, umat muslim dianjurkan untuk saling memaafkan dan menjaga hubungan baik kepada saudara, kerabat, teman dan lain sebagainya. Di Indonesia, kita biasa menyebut tali hubungan macam ini dengan silaturahmi.
 

Silaturahmi merupakan konsep yang mendalam dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Istilah ini dalam KBBI diartikan sebagai ‘tali persahabatan atau persaudaraan’, sedangkan bersilaturahmi artinya ‘menjalin kembali tali persahabatan’.
 

Dalam teks-teks hadits kita mendapati banyak anjuran dan pesan Nabi saw akan urgensi silaturahmi. Misalnya beliau bersabda bahwa silaturahmi dapat membuka pintu rejeki. Beliau bersabda:
 

مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ وَيُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ

Artinya, “Siapapun ingin dilapangkan pintu rezeki untuknya dan dipanjangkan umurnya hendaknya ia menyambung tali silaturrahmi.” (HR Al-Bukhari).
 

Hadits di atas setidaknya menjadi landasan anjuran bagi kita untuk menjalin tali silaturahmi. Meskipun demikian, sebagian kita menganggap bahwa silaturahmi merupakan aktivitas kunjungan dan pertemuan semata, baik kepada keluarga maupun teman. 
 

Dampaknya jika memaknai silaturahmi sesempit itu, jika suatu saat aktivitas kunjungan dan pertemuan tidak lagi atau jarang dilakukan, sering disimpulkan bahwa hubungan persaudaraan atau pertemanan telah terputus, padahal realitanya belum tentu demikian.
 

Sebab itu, tentunya kita harus mengetahui hakikat makna silaturahmi secara definitif berikut bagaimana pemahaman para ulama dalam memandang silaturahmi. 
 

Pertama secara bahasa, silaturahmi dalam bahasa asalnya, yaitu bahasa Arab terdiri dari dua kata, silah (صلة) yang artinya adalah pemberian atau hubungan yang menyambungkan antara dua orang atau bahkan lebih.
 

Kemudian yang perlu dipertegas bahwa ‘rahmi’ dengan ‘rahim’ merujuk kepada kantong selaput dalam perut seorang ibu di mana janin dikandung selama kurang lebih sembilan bulan. Sehingga dapat dimaknai bahwa tali persaudaraan dalam silaturahmi berlaku pada saudara yang memiliki hubungan nasab.
 

Jika disebut secara spesifik sedemikian rupa bahwa silaturahmi merupakan tali hubungan antarsaudara, maka hubungan dengan teman dan sahabat tidak masuk ke dalam istilah ini. Keterangan ini diperkuat dengan keterangan Sa’di Abu Habib dalam kamusnya Al-Qamus al-Fiqhi Lughatan washTilahan, ia menyebutkan:
 

وفي الحديث الشريف: " لا يدخل الجنة قاطع رحم " والمراد بالرحم الاقارب. وهم من بينه وبين الآخر نسب، سواء كان يرثه أم لا، وسواء كان ذا محرم أم لا
 

Artinya, “Dalam hadits disebutkan, "Tidak masuk surga orang yang memutuskan silaturahmi." Yang dimaksud dalam hadits tersebut adalah hubungan dengan kerabat, terutama mereka yang memiliki hubungan nasab, baik yang diwarisi maupun yang tidak, serta dengan mahram atau bukan." (Sa’di Abu Habib, Al-Qamusul Fiqhi Lughatan washTilahan, [Damaskus: Darul Fikr, 1988], halaman 145).
 

Jika demikian maknanya, maka anggaplah silaturahmi sebagai istilah khusus untuk hubungan antarsaudara, sehingga ruang lingkupnya tidak begitu luas. Meskipun secara realita, suatu istilah dapat saja bergeser makna dan fungsinya di suatu masyarakat.
 

Mengutip Ida Nursida dalam artikel jurnalnya yang berjudul “Perubahan Makna, Sebab dan Bentuknya” Sebuah Kajian Historis”, terdapat beberapa faktor yang menjadikan suatu istilah mengalami pergeseran makna. (Ida Nursida, “Perubahan Makna, Sebab dan Bentuknya” Sebuah Kajian Historis”, Jurnal Alfaz, vol. 2, no. 2, 2014, halaman 50-51).
 

Faktor-faktor tersebut misalnya perkembangan sosial dan budaya di tengah masyarakat, perbedaan bidang dalam pemakaian istilah, perkembangan teknologi, penggunaan analogi, kiasan hingga bahasa metaforis terhadap kata tertentu di tengah masyarakat hinga faktor emotif di dalamnya.
 

Sementara lain, silaturahmi sendiri biasa diartikan oleh para ulama sebagai perbuatan baik kepada para kerabat, baik dengan harta atau bantuan atau kunjungan atau bahkan hanya dengan ucapan salam. Keterangan ini disebutkan An-Nawawi dalam Syarhu Shahih Muslim:
 

صلة الرحم هي الإحسان إلى الأقارب على حسب حال الواصل والموصول فتارة تكون بالمال وتارة تكون بالخدمة وتارة بالزيارة والسلام وغير ذلك

Artinya, “Silaturahmi adalah perbuatan baik kepada kerabat sesuai dengan kondisi hubungan yang terjalin antara yang menjalin silaturahmi dan yang menerima silaturahmi. Kadang-kadang dilakukan melalui pemberian materi, kadang melalui bantuan, atau dengan berkunjung atau juga menyapa, dan lain sebagainya.” (An-Nawawi, Syarhu Shahih Muslim, [Beirut: Dar Ihya at-Turats, t.t.], jilid I, hal. 139).


Pemahaman Imam An-Nawawi di atas menekankan bahwa silaturahmi tidak hanya terbatas pada pertemuan saja. Silaturahmi bisa jadi berarti memberi bantuan berupa finansial, memberi bantuan, berkunjung dan lain sebagainya. 
 

Pandangan yang luas semacam ini penting dipahami supaya makna silaturahmi tidak terbatas hanya pada kunjungan antar individu maupun kelompok semata, meskipun tidak dapat dinafikan bahwa pertemuan yang diadakan secara sering akan membuat suasana menjadi cair. Namun, lagi-lagi hal ini relatif.
 

Memasuki era di mana perangkat digital telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari, maka silaturahmi pun kini dapat dilakukan bahkan hanya melalui gawai masing-masing. 
 

Orang tua dan anaknya, kakak dan adiknya, hingga suami dan istri dapat tetap terhubung satu sama lain dengan mudah melalui perangkat digital masing-masing, meskipun jiwa dan raga mereka bahkan sedang berada di belahan dunia yang berbeda.
 

Pertemuan dengan keluarga melalui media sosial pun pada hakikatnya tetap mengandung esensi dari silaturahmi, yaitu menjalin ikatan emosional dan sosial yang menghubungkan hati dan pikiran, terlepas dari medium yang digunakan.
 

Mengutip Ibnus Shalah dalam Adabul Mufti wal Mustafti, beliau menyatakan jika seorang anggota keluarga tidak bisa bertemu secara langsung, akan tetapi ia dapat mengirim surat agar tali persaudaraan tetap terjalin maka seyogyanya tetap dilakukan. Ibnus Shalah berkata:
 

مسألة في حد صلة الرحم وما ورد في الحديث المشهور المذكور وهل يجب على من له صلة الرحم أن يكتب كتابا مع عجزه من السعي إليهم أم لا. أجاب رضي الله عنه صلة الرحم هي أن تكون مع نسيبه وقريبه بحيث يعد واصلا له متجنبا لما يوجب المنافرة بين قلبيهما والمقاطعة وإذا حصل ذلك بمكاتبة الغائب كفى في ذلك
 

Artinya, “Masalah tentang hukum dalam menjalin silaturahmi yang disebutkan dalam hadits, serta apakah wajib bagi seseorang yang memiliki hubungan kekerabatan untuk menulis surat jika tidak mampu menemui mereka atau tidak.
 

Ibnus Shalah menjawab, yang dinamakan silaturahmi adalah ketika seseorang tetap berhubungan dengan kerabat dan orang-orang terdekatnya, sehingga ikatan yang kuat dalam hubungan keluarga terjaga.
 

Hal ini dilakukan untuk menghindari terjadinya perasaan saling menjauh dan memutuskan hubungan, dan jika hal tersebut dapat dilakukan dengan menulis surat kepada keluarga yang tidak dapat ia jangkau, maka sudah cukup.” (Ibnu Shalah, Adabul Mufti wal Mustafti, [Beirut: Maktabatul ‘Ulum wal Hikam, 1407], halaman 399).
 

Simpulannya, pada hakikatnya istilah silaturahmi secara fungsi merujuk kepada tali persaudaraan antarorang yang memiliki kekerabatan. Keterangan ini merujuk kepada asal makna dalam kata berikut paparan penjelasan yang tertera di atas.
 

Adapun bentuk silaturahmi, apalagi di era modern maka tidak terbatas hanya pada bertemu dan berkunjung saja, sehingga jika aktivitas ini hilang kesalahpahaman terhadap simpulan bahwa silaturahmi telah terputus pun sering terjadi.
 

Makna luas silaturahmi secara substantif adalah menjalin hubungan baik dengan cara berbuat baik kepada saudara dan kerabat, baik dengan memberi hadiah, bantuan finansial hingga berkunjung untuk bercengkrama hingga pertemuan dan komunikasi digital sebagaimana umumnya. Wallahu a’lam.
 

Ustadz  Amien Nurhakim, Musyrif Pesantren Darussunnah Tangerang