Tasawuf/Akhlak

Menggapai Kemerdekaan Diri dengan Qana’ah

Kam, 28 Januari 2021 | 00:00 WIB

Menggapai Kemerdekaan Diri dengan Qana’ah

Sikap yang timbul dari qana’ah adalah ridha; menerima kekayaan dan kemiskinan, sukses dan kegagalan, sehat dan sakit, umur panjang dan pendek, dan sebagainya.

Qana’ah berakar kata dari qania-qanu’an-qana’atan diartikan ridha terhadap hal yang sedikit. Kata ridha merupakan arti dari qania (ain fi’il berupa huruf nun dikasrah). Berbeda jika ‘ain fi’il difathahkan, qanaa maka berarti meminta. Untuk memahami dua kata ini lebih jauh, dapat dilihat dalam Kifayatul Atqiya karya Syekh Sayid Muhammad Syatho Dimyati. Ia menggambarkan sebagai berikut:

 

قَالَ بَعْضُهُمْ أَلْعَبْدُ حُرٌّ إِنْ قَنِعَ وَالْحُرُّ عَبْدٌ إِنْ قَنَعَ

 

Artinya: “Sebagian ulama berpendapat, Seorang budak  layaknya seorang yang merdeka jika ia ridha, dan seorang yang merdeka layaknya seorang budak jika ia masih meninta-minta.

 

Lebih lanjut beliau menjelaskan dalam syairnya,

 

أَلْعَبْدُ حُرٌّ إِنْ قَنِعَ     ©    وَالْحُرُّ عَبْدٌ إِنْ طَنَعَ

فَاقْنَعْ وَلَا تَطْنَعْ فَمَا  ©     شَيْئٌ يَشِيْنُ سِوَى الطَّمَعُ

 

Artinya: “Seorang budak  layaknya seorang yang merdeka jika ia ridha, dan seorang yang merdeka layaknya seorang budak jika ia masih meninta-minta.

 

Maka ridhalah dan jangan meminta-minta, karena sesungguhnya tidak ada perangai yang lebih jelek selain daripada thama’ (mengharap kepada selain Allah). (Syekh Sayid Muhammad Syatho Dimyati, Kifayatul Atqiya, Indonesia: Dar Ihya, hal. 18-19).

 

Senada dengan kedua syair tersebut, perkataan Sayyidina Ali bin Abi Thalib sebagaimana dikutip Syekh Ibn Hajar al-Asqalani dalam al-Muntabihât li Isti‘dâdi li Yaumil Mî‘âd yang kemudian disyarat oleh Syekh Nawawi al-Bantani dalam Nashaih al-‘Ibad:

 

(وَاسْأَلْ مَنْ شِئْتَ فَأَنْتَ أَسِيْرُهُ) أي واسأل الناس ما تحتاجه من المال والعلم فإن احتجت إلى شخص في ذلك صرت عبدا له لأن النفوس جبلت بحب من أحسن إليها

 

Potongan maqalah tersebut secara umum dapat diartikan “Mintalah kepada seseorang yang kamu kehendaki, ketahuilah jika kamu meminta kepada orang lain, maka kamu menjadi budaknya. Karena sesungguhnya jiwa akan mencintai kepada siapa saja yang berbuat baik kepadanya” (Syekh Nawawi al-Bantani, Nashaih al-‘Ibad, hal. 14).

 

Penerimaan seseorang terhadap apa yang dimiliki menjadikannya jauh dari sifat tamak, meminta-minta dan ketergantungan kepada sesama makhluk. Karena memberi adalah lebih baik daripada menerima. Sikap yang timbul dari qana’ah adalah ridha; menerima kekayaan dan kemiskinan, sukses dan kegagalan, sehat dan sakit, umur panjang, dan pendek dan sebagainya.

 

Tanda-tanda ridha menurut Dzu Nun Al-Mishri adalah pertama, mempercayakan hasil usaha sebelum terjadi ketentutan. Kedua, lenyapnya resah gelisah sesudah terjadi ketentuan. Ketiga, cinta yang bergelora di saat turunnya malapetaka (Samsul Munir Amin, Ilmu Tasawuf, 2014: 176).

 

Ketenangan yang dirasakan seorang yang qana’ah adalah karena segala urusan hidupnya telah dikembalikan kepada Yang Maha Memiliki, Allah subhanahu wata’ala. Khalid Abu Syadzi (2012: 125) mendefinisikan ridha dengan hilangnya perasaan sedih terhadap hukum apa pun yang terjadi dan menyambutnya dengan kegembiraan. Juga tenangnya hati dengan pilihan Allah sebab ia meyakini bahwa pilihan Allah pasti yang terbaik. Mahasuci Allah dari segala sifat kekurangan.

 

Keadaan seperti inilah yang penulis pahami sebagai kemerdekaan diri. Yaitu keadaan hati terbebas dari ikatan-ikatan duniawi yang membelenggu. Etos kerja yang ada ditimbulkan oleh keyakinan terhadap mahakasihnya Allah. Dialah yang menjawab segala bentuk ikhtiar makhluk-Nya.

 

Jelas saja bila sang suriteladan terbaik Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

 

عَنْ جَابِرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم أَنَّهُ قَالَ أَلْقَنَاعَةُ كَنْزٌ لَا يَفْنَى. رواه البيهقي

 

Dari Jabir ra. dari Rasulillah shallallahu ‘alaihi wasallam, sesungguhnya Rasulullah bersabda “Qanaah adalah simpanan yang tidak akan rusak” (HR al-Baihaqi).

 

Maksud hadits tersebut, menurut Syekh Syatho Dimyati adalah, bahwa qana’ah diumpamakan seperti simpanan yang tidak akan pernah habis. Sebab qana’ah dapat menanggung pelakunya sehingga mampu menutup diri dari melihat apa-apa yang bukan miliknya. Dengan demikian seseorang senantiasa diliputi rasa cukup dan syukur dengan segala karunia-Nya.

 

مَا يَفْتَحِ اللَّهُ لِلنَّاسِ مِنْ رَحْمَةٍ فَلا مُمْسِكَ لَهَا وَمَا يُمْسِكْ فَلا مُرْسِلَ لَهُ مِنْ بَعْدِهِ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ (٢)

 

Artinya: “Apa saja yang Allah anugerahkan kepada manusia berupa rahmat, maka tidak ada seorang pun yang dapat menahannya; dan apa saja yang ditahan oleh Allah maka tidak seorang pun yang sanggup melepaskannya sesudah itu. dan Dialah yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana (QS Al-Fathir[35]: 2).

 

“Nasib seseorang dari keyakinannya tergantung dari kadar keridhaannya. Dan bagiannya dari ridha tergantung kepada seberapa jauh hidupnya bersama Allah” demikianlah Sahal At-Tustari dalam buku Khalid Abu Syadzi (2012) turut melengkapi tulisan singkat ini. Wallahu a’lamu bi ash-shawab.

 

Jaenuri, Dosen Fakultas Agama Islam UNU Surakarta