Tasawuf/Akhlak

Saat Abu Hanifah Tolak Tawaran Berteduh

Sen, 10 Desember 2018 | 11:00 WIB

Abu Hanifah An-Nu’man bin Tsâbit (80-150 H) adalah salah satu imam mazhab empat yang hidup pada periode tabi’in. Ia mendapati sahabat Anas bin Malik dan beberapa sahabat peserta perang badar.

Kealimannya di bidang fiqih diakui khalayak. Para ulama sudah bersepakat. Karena kredibilitas dan kapabilitasnya, Abu Hanifah layak menyandang level mujtahid mutlak. Artinya, ia sudah boleh menggali hukum agama dari Al-Qur’an hadits dan sebagainya secara mandiri tanpa bergantung pada pendapat orang lain.

Abu Hanifah selain masyhur sebagai punggawa kajian fiqih ternyata dia pelaku fiqih murni yang seolah hanya membicarakan sisi hitam-putih, namun ia juga memadukannya dengan ilmu-ilmu yang lain. Di antara ramuan fiqihnya, Abu Hanifah memadukan fiqihnya yang hebat dengan tashawufnya yang matang.

Dalam dunia tasawuf, dikenal sebuah kutipan, “Barang siapa mendalami aspek fiqih saja seraya meninggalkan amaliyah tashawwuf, ia sangat berpotensi terjerumus pada tindakan fâsiq. Barang siapa hanya bertashawwuf saja namun tidak dibarengi dengan fiqih yang tepat, ia bisa menjadi zindiq (imannya hanya berpura-pura saja). Dan barang siapa yang bisa menggabungkan keduanya, berarti ia sudah pada derajat tahqiq (beragama dengan sesungguhnya).” Demikian perkataan Imam Malik yang sangat terkenal itu dikutip dalam Kitab Al-Futûhât Al-Ilâhiyyah halaman 64.

Menelisik sisi kehati-hatian Abu Hanifah salah satunya adalah sebuah cerita dari Imam As-Sya’rani yang bersumber dari Syaqîq Al-Balkhi sebagai berikut.

Satu ketika, Imam Hanifah itu tidak berkenan duduk atau berteduh di terasnya orang yang sedang mempunyai utang kepada Abu Hanifah. Sebab apa? Alasan Abu Hanifah tidak mau berteduh adalah:

اِنَّ عِنْدَهُ لِيْ قَرْضًا وَكُلُّ قَرْضٍ جَرَّ نَفْعًا فَهُوَ رِبًا. وَجُلُوْسِيْ فِيْ ظِلِّ جِدَارِهِ اِنْتِفَاعٌ بِهِ

Artinya, “Sesunggunya dia mempunyai hutang kepadaku. Padahal aturannya, setiap hutang-piutang yang menarik sebuah keuntungan di salah satu pihak, itu termasuk riba. Nah, dudukku berteduh di bawah naungan orang tersebut berarti saya mengambil sisi manfaat darinya,” (Lihat Muhammad bin Salim Bâ Bashîl, Is’adur Rafîq, [Al-Haramain], juz I, halaman 143).

Demikianlah kelembutan dan kejernihan hati Abu Hanifah. Jadi, pijakan hukumnya begitu mendalam. Kalau kita cermati pada aturan dasar hukum fiqih, jika ada orang berhutang, tidak boleh ada bunganya (atau manfaat sejenis), namun larangannya selama aturan bunga disepakati dalam majelis transaksi.

Misalkan Ahmad berhutang kepada Abdullah sebanyak Rp. 100.000,-. Selama transaksi berlangsung mereka berdua tidak ada kesepakatan nanti saat mengembalikan uangnya harus lebih dari jumlah nominal hutang.

Tapi apabila dalam transaksi tanpa ada kesepakatan riba, namu besok lusa ternyata Abdullah ketemu dengan Ahmad dan kemudian ia menyusuli aturan “Besok kalau mengembalikan ditambah Rp. 20.000,- ya!.” Sekali lagi, secara aturan standar fiqih, demikian tidak ada masalah. Karena sudah tidak dalam satu transaksi pertama tadi.

Di sinilah letak tashawwuf dijalankan. Imam Abu Hanifah saat transaksi tidak melakukan riba. Namun lebih dari itu, bahkan sampai sudah pisah pun, ia tidak berkenan mengambil keuntungan padahal hanya sekedar berteduh di emperan orang yang mempunyai hutang kepadnya. Inilah contoh sikap wira’i Abu Hanifah yang patut kita contoh.

Dengan demikian, dapat kita ambil kesimpulan, berusaha merawat hati itu sangat penting. Kalau ada orang hatinya bersih, pribadinya akan timbul kehati-hatian dari makan harta haram, tidak sombong, suka mencela orang lain dan sebagainya. Tidak heran, jika dalam Kitab Lathâiful Ma’ârif karya Ibnu Abi Rajab Al-Hanbali disebutkan: 

الإشتغال بتطهير القلوب أفضل من الإستكثار من الصوم والصلاة مع غش القلوب

Artinya, “Sibuk membersihkan hati itu lebih utama daripada memperbanyak puasa, shalat, namun dengan hati yang tercemar.” Wallâhu a’lam. (Ahmad Mundzir)