Tasawuf/Akhlak

Sikap Moderat dalam Menghormati Ahlul Bait

Sab, 12 Desember 2020 | 00:50 WIB

Sikap Moderat dalam Menghormati Ahlul Bait

Ilustrasi Ahlul Bait. (NU Online)

Tawasuth atau moderatisme dalam beragama adalah baik karena sikap ini merupakan sikap tengah yang mempertemukan dua sikap ekstrim yang saling bertolak belakang, yakni ekstrem kiri dan ekstrem kanan. Menghormati ahlul bait tanpa mengenal batas adalah sikap ekstrem kanan. Melecehkan atau tidak menghoarmati ahlul bait adalah sikap ekstrem kiri. Maka sikap terbaik di antara keduanya adalah tawassuth, yakni mengambil posisi di tengah yang juga disebut sikap moderat.


Sikap moderat memiliki dasar teologis yang jelas, yakni sebagaimana dinyatakan dalam hadits Rasulullah ﷺ sebagai berikut:


خَیْرُ اْلأُمُوْرِ أَوْسَاطُهَا

 
Artinya, “Sebaik-baik perkara adalah sikap tengah.” (HR. Ibn As-Sam’ani).


Sebagai Muslim kita harus menghormati sekaligus mencintai keluarga dan keturunan Rasulullah ﷺ yang disebut Ahlul Bait. Hal ini karena Rasulullah memang mengimbau agar umatnya menghormati dan mencintai keluarga dan keturunannya. Namun apabila di antara mereka ada yang menyimpang dari jalan leluhurnya, hendaklah ada yang menasihatinya.


Imbauan seperti itu menunjukkan sikap moderat dalam menghormati dan mencintai ahlul bait. Imbaun ini dikemukakan oleh salah seorang ulama sekaligus habib yang merupakan dzurriyah Rasulullah ﷺ asal Tarim Hadramaut Yaman, yakni Allamah Sayyid Abdullah bin Alawi Al-Haddad (1634-1720 M) dalam kitabnya berjudul Al-Fushul al-‘Ilmiyyah wal Ushul al-Hikamiyyah, (Dar Al-Hawi, Cet. II, 1998, hal. 89 ) sebagai berikut:


 لأهل بيت رسول الله صلى الله عليه وسلم شرف، ولرسول الله صلى اللهعليه وسلم  بهم مزيد عناية وقد أكثر على أمته من الوصيّة بهم والحث على حبّهم ومودتهم. وبذالك أمرالله تعالى في كتابه في قوله تعالى: "قل لا أسألكم عليه أجرا إلا المودة في القربى" .(الشورى، ٢٣) ـ 


Artinya: “Ahlul Bait memiliki kemuliaan tersendiri, dan Rasulullah telah menunjukkan perhatiannya yang besar kepada mereka. Beliau berulang-ulang berwasiat dan mengimbau agar umatnya mencintai dan menyayangi mereka. Dengan itu pula Allah subhanahu wataála telah memerintahkan di dalam Al-Qur’an dengan firman-Nya: “Katakanlah wahai Muhammad, tiada aku minta suatu balasan melainkan kecintan kalian pada kerabatku.” (QS Asy-Sura: 23).


Dari kutipan di atas dapat ditegaskan bahwa kaum Muslimin memang harus menghormati dan mencintai Ahlul Bait bukan saja karena kekerabatan mereka dengan Rasulullah ﷺ, tetapi juga karena Allah telah memerintahkan kepada beliau untuk berseru kepada umatnya agar mencintai kerabat beliau. Dengan kata lain perintah untuk mencintai Ahlul Bait merupakan perintah dari Allah subhanahu wataála.


Namun Sayyid Abdullah Al-Haddad mengingatkan agar dalam memberikan penghormatan dan kecintaan kepada Ahlul Bait, kaum Muslimin bersikap wajar dan tidak berlebih-lebihan. Hal ini sebagaimana ditegaskannya dalam kutipan berikut:


فعلى كافة المسلمين أن يعتقدوا حبّهم ومودتهم، وان يوقّروهم ويعظّموهم من غير غلوّ ولا إسراف


Artinya: “Seluruh kaum Muslimin hendaknya memastikan kecintaan dan kasih sayang mereka kepada Ahlul Bait, serta menghormati dan memuliakan mereka secara wajar dan tidak berlebih-lebihan.”


Terhadap Ahlul Bait yang menyimpang dari apa yang dicontohkan Rasulullah ﷺ, Sayyid Abdullah Al-Haddad mengimbau agar mereka tetap dihormati semata-mata karena mereka adalah kerabat Nabi Muhammmad ﷺ dengan tidak meninggalkan perlunya memberikan nasihat kepada mereka sebagaimana kutipan berikut:


وأما من كان من أهل هذا البيت ليس على مثل طرائق أسلافهم الطاهرين، وقد دخل عليهم شيئ من التخليط لغلبة الجهل، فينبغي أيضا أن يعظّموا ويحترموا لقرابتهم من رسول الله الله صلى الله عليه وسلم. ولا يدعوا المتأهل للنصيحة نصحهم وحثّهم على الأخذ بما كان عليه سلفهم الصالح, من العلم والعمل الصالح، والأخلاق الحسنة والسيرالمرضية 


Artinya: “Adapun mereka yang berasal dari keluarga dan keturunan Rasulullah ini yang tidak menempuh jalan leluhur mereka yang disucikan, lalu mencampur adukkan antara yang baik dan yang buruk disebabkan kejahilannya, seyogyanyalah mereka tetap dihormati semata-mata karena kekerabatan mereka dengan Nabi ﷺ. Namun siapa saja yang memiliki keahlian atau kedudukan untuk memberi nasihat, hendaknya tidak segan-segan menasihati dan mendorong mereka kembali menempuh jalan hidup para pendahulu mereka yang saleh-saleh, yang berilmu dan beramal kebajikan, berakhlak terpuji dan berperilaku luhur.” (Lihat hal. 90).


Dari kutipan di atas, dapat diketahui secara jelas bahwa Sayyid Abdullah Al-Haddad mengimbau agar siapa pun yang memiliki kapasitas keilmuan dan kewenangan untuk tidak segan-segan memberikan nasihat kepada ahlul bait yang menyimpang dari apa yang dicontohkan Rasulullah ﷺ dalam kehidupan sehari-hari, yakni bertakwa kepada Allah dan menjunjung tinggi akhlak mulia.


Imbauan seperti itu untuk merespons bahwa dalam masyarakat Muslim ada sebagian orang yang karena penghormatannya yang berlebihan kepada ahlul bait, mereka melakukan pembiaran kepada ahlul bait yang menyimpang dari jalan leluhurnya. Mereka bersikap diam  karena meyakini bahwa para ahlul bait sudah pasti akan mendapat syafaat dari Rasulullah ﷺdi hari kiamat karena kedekatannya secara nasab dengan beliau.


Keyakinan seperti itu mendapat penentangan dari Sayyid Abdullah Al-Haddad dengan pernyataannya sebagai berikut:


فيقول هؤلاء أهل بيت رسول الله صلى الله عليه وسلم، ورسول الله شفيع لهم، ولعل الذنوب لا تضرهم، وهذا قول شنيع، يضر القائل به نفسه، ويضر به غيره من الجاهلين، وكيف يقول أحد ذالك وفي كتاب الله العزيز ما يدل غلى اهل أن أهل البيت يضاعف لهم الثواب على الحسنات، والعقاب على السيئات.  


Artinya: “Ada yang mengatakan,”Biarlah, mereka adalah dari Ahlul Bait, Rasulullah ﷺ pasti akan bersyafaat kepada mereka, dan mungkin pula dosa-dosa yang mereka lakukan tak akan menjadi mudarat atas mereka.” Sungguh ini adalah ucapan yang amat buruk, yang menimbulkan mudarat bagi si pembicara sendiri dan bagi orang-orang lainnya yang tergolong kaum jahil. Bagaimana bisa seseorang berkata seperti itu, sedangkan dalam Al-Qurán, Kitab Allah yang mulia terdapat petunjuk bahwa anggota keluarga Rasulullah dilipat gandakan bagi mereka pahala amal baiknya, demikian pula hukuman atas perbuatan buruknya.” (Lihat hal. 88)


Dari kutipan di atas tampak sangat sangat jelas bahwa Sayyid Abdullah Al-Haddad tidak setuju terhadap anggapan bahwa orang-orang tertentu seperti Ahlul Bait memiliki kekebalan hukum atas hukum-hukum yang telah ditetapkan Allah subhanahu wataála disebabkan kemuliaan nasabnya yang bersambung kepada Rasulullah. Anggapan seperti ini menjukkan sikap berlebihan. Ulama yang diyakini sebagai pembaharu abad 11 hijriyah ini menyebut orang yang memiliki anggapan seperti itu telah melakukan perbuatan dusta atas nama  Allah subhanahu wataála serta menyalahi ijma’ seluruh kaum Muslilimin. (Lihat hal. 89).


Sebelumnya pada halaman 87, Sayyid Abdullah Al-Haddad mengutip sebuah hadits Rasulullah ﷺ yang diriwayatkan dari Abu Hurairah. Hadits itu berisi peringatan kepada putri beliau bernama Sayyidah Fathimah agar tidak mengandalkan pembelaan dari ayahnya di hadapan Allah subhanu wa taála sebagai berikut:


لا أغني عنكِ من الله شيئا.  يا فاطمة بنت ممد 


Artinya: “Hai Fathimah binti Muhammad, sungguh aku takkan cukup sebagai pembelamu di hadapan Allah.”


Muhammad Ishom, dosen Fakultas Agama Islam Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Surakarta, Jawa Tengah


Artikel ini terbit atas kerja sama dengan Biro Humas, Data, dan Informasi Kementerian Agama RI