Hikmah

Beragama dengan Tutur Kata yang Baik

Ahad, 6 Desember 2020 | 16:30 WIB

Mochtar Lubis dalam Manusia Indonesia (1977: 50) menyebut manusia Indonesia tukang menggerutu. Hanya saja, katanya, mereka tidak berani melakukannya secara terbuka, beraninya di dalam rumah atau bersama kawan-kawannya yang sepaham atau seperasaan dengannya.

 

Namun, naga-naganya tesis tersebut hari ini mulai terbantahkan. Pasalnya, adanya media sosial saat ini membuat mereka dapat menggerutu secara terbuka. Setidaknya, mereka dapat menyindir dengan tanpa menyebutkan nama orang yang dimaksudnya.


Kita dalam hal ini perlu ingat bahwa media sosial memberikan pengawasan terhadap diri kita masing-masing yang dilakukan oleh pengguna lain. Karenanya, kita harus berhati-hati dalam bersikap dan mengunggah sesuatu. Setiap berkomentar atau mengunggah sesuatu, pastikan bahwa kata-kata yang kita pilih adalah yang terbaik, tidak menyinggung perasaan orang lain dan merugikannya.


Dalam hal ini, Allah swt. berfirman dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 83.


... وَ قُوْلُوْا لِلنَّاسِ حُسْنًا ...


“... dan berkatalah kalian semua kepada manusia dengan perkataan yang baik...”


Dalam Tafsir al-Jalalain Juz Awal, Imam Jalaluddin al-Suyuthi menafsirkan kata husna sebagai suatu bentuk masdar dan sifat dari kata yang terbuang berupa masdar dari kata kerja perintah sebelumnya, yakni qaula. Kata tersebut, lanjutnya, bermakna mubalaghah, kelipatan atau kesungguhan. Hal serupa juga disampaikan Al-Baidhawi dalam kitab tafsirnya.


Artinya, perintah untuk berkata kepada manusia dengan baik itu sungguh-sungguh harus dilaksanakan. Apalagi Allah swt. dalam kalimat tersebut menggunakan kata perintah (fiil amar). Dalam kajian Ushul Fiqih, perintah itu menunjukkan kewajiban pelaksanaannya.


Menambahkan keterangan al-Suyuthi, Imam Ahmad al-Shawi dalam Hasyiyah Al-Shawi menjelaskan bahwa kata manusia di situ berlaku umum, tidak saja kepada orang dengan agama atau bangsa tertentu. Ayat tersebut juga, katanya, senada dengan sebuah hadis wa khaliq al-nas bi khuluqin hasanin, bersikap kepada manusia dengan akhlak yang baik.


Sementara itu, Imam Ibnu Katsir dalam Tafsir al-Qur’an al-Adzhim Juz Awal menjelaskan maksud ayat tersebut adalah berbicara dengan baik dan bersikap rendah hati kepada mereka. Pun dalam mengingatkan orang lain untuk berlaku baik dan mencegah diri dari kemungkaran juga harus dilakukan dengan baik, bukan dengan kekerasan.


Berbeda dengan Imam Ibnu Katsir, Syekh Muhammad Nawawi bin Umar al-Bantani menjelaskan dalam kitab tafsirnya yang berjudul Marah Labid Juz Awal (tt: 22), maksud dari qulu li al-nasi husna adalah perkataan yang dapat menghasilkan manfaat. Artinya, setiap kali kita mengunggah sesuatu di media sosial haruslah menghasilkan manfaat. Sebab, jika tidak bermanfaat, unggahan kita sia-sia atau justru merugikan orang lain. Hal ini yang membuat medsos menjadi berbahaya bagi kita.


Kita tidak seenaknya dapat mengunggah, menggerutu, atau malah membicarakan orang lain di media sosial. Pasalnya, kita diperintah Allah swt. untuk selalu menjaga perkataan kita dengan ucapan atau tulisan di media sosial yang baik.

 

Selain itu, Quraish Shihab dalam bukunya yang berjudul Dia di Mana-mana “Tangan” Tuhan di Balik Setiap Fenomena (2004: 213) mengingatkan bahwa apapun yang sudah keluar dari lisan atau jemari kita di media sosial itu menawan kita sendiri. Hal ini berkaitan juga dengan ayat Al-Qur’an pada Surat Qaf (50) ayat 18.


مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ اِلَّا لَدَيْهِ رَقِيْبٌ عَتِيْدٌ


Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir. (Q.S. Qaf [50]: 18).


Oleh karena itu, kita harus mawas diri, sebetulnya, selain diawasi oleh netizen, Raqib dan Atid juga selalu menyaksikan setiap gerak-gerik kita. Dengan mengingat itu, kita segan untuk berlaku dan berkata yang tidak elok, meskipun di media sosial. Jika warganet, termasuk artis yang diceritakan di atas, mengingat hal ini, tentu peristiwa yang tidak diinginkan tersebut tidak akan terjadi.


Selanjutnya, setiap kali kita mengunggah sesuatu di media sosial janganlah sampai sia-sia. Terkait hal ini, saya jadi ingat sebuah syair yang saya dengar saat masih berseragam putih abu-abu pada upacara Bendera Merah Putih setiap Senin. Kepala Madrasah dalam amanatnya mengutip sebait syair bermetrum basith yang dibuat seorang kiai yang juga penyair, yakni KH Akyas Abdul Jamil Buntet Pesantren Cirebon.


Tushawwitu tang ting tung wa tot tet wa tot wa laa * tubali bi jironin faqauluka dlai’un (kamu bersuara tang ting tung dan tot tet tot sedangkan tidak peduli dengan tetangga, maka ucapanmu sia-sia belaka).


Syair yang berbentuk talmi’, campuran bahasa Arab dan bahasa ‘ajam (Jawa), itu memiliki makna yang mendalam. Muqaddam Tarekat Tijaniyah itu sebetulnya mengingatkan kita untuk tidak bersikap sia-sia dengan berkata macam-macam, tetapi tidak peduli terhadap keadaan tetangga di sekitar.


Maksudnya, kita mengunggah banyak hal di media sosial, memerkan sesuatu, menunjukkan pribadi, tetapi tidak memiliki kepedulian terhadap sesuatu yang lain, perbuatan tadi hanyalah sia-sia, tidak memiliki arti sama sekali. Mafhum mukhalafah dari peringatan Kiai Akyas melalui syairnya itu, kita sebetulnya harus memberikan manfaat bagi orang lain. Jangan hanya sesumbar, mengatakan pelbagai macam hal, tetapi tidak berbentuk laku sama sekali.


Rasa-rasanya, dalam hal ini, Mochtar Lubis (1977: 53) benar, bahwa ciri manusia Indonesia adalah kurang perduli dengan nasib orang, selama tidak menimpa dirinya atau kerabatnya. Padahal, kita juga perlu mengingat bahwa Rasulullah saw. bersabda bahwa orang Muslim sebetulnya adalah dia yang mampu menjaga keselamatan muslim lain dari lisan dan tangannya.


Lebih dari itu, ada peribahasa yang menyebut bahwa memang dasar lidah tak bertulang. Banyak manusia yang terpeleset karenanya. Tak ayal, ada pepatah yang menyebut bahwa keselamatan manusia terletak pada penjagaannya terhadap lisan.


Oleh karena itu, mari kita jaga lisan dengan mengucapkan atau mengunggah hal-hal baik saja di media sosial, yakni yang dapat melahirkan manfaat kepada manusia lainnya. Sebab, sebaik-baik manusia adalah dia yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.

 

Muhammad Syakir NF, pengurus Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (PP IPNU) dan mahasiswa Fakultas Islam Nusantara Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia)


*) Artikel ini terbit atas kerja sama dengan Biro Humas, Data, dan Informasi Kementerian Agama RI TAGS: Moderasi Beragama Islam Moderat Moderasi Islam