Bolehkah Anak Memilih Diasuh oleh Siapa setelah Orang tuanya Bercerai?
Rabu, 30 Juli 2025 | 10:30 WIB
Perjalanan rumah tangga yang indah adalah dambaan setiap keluarga, namun tak ada yang bebas dari tantangan. Sebagus apapun hubungan yang dibangun, masalah dan ujian pasti akan datang. Jika hubungan pernikahan sudah tidak dapat dipertahankan atau bahkan menimbulkan dampak negatif, Islam memberikan alternatif berupa cerai atau talak sebagai jalan keluar dari problem keluarga yang sulit diperbaiki.
Salah satu konsekuensi dari perceraian adalah penentuan hak asuh anak, atau dalam syariat Islam disebut hadhanah. Isu ini menjadi sangat krusial untuk diselesaikan demi kepentingan terbaik anak. Baik dalam fiqih, maupun Hukum Positif di Indonesia, terdapat ketentuan yang mengatur hak asuh anak agar keputusan yang diambil dapat mendukung kesejahteraan anak pasca perceraian.
Ketentuan Hak Asuh Anak Perspektif Fiqih
Dalam Fiqih, hak asuh anak setelah perceraian diperinci berdasarkan rentang usia anak. Jika anak tersebut belum memasuki usia tamyiz (usia di mana seorang anak dapat melaksanakan kebutuhan sehari-hari secara mandiri, umumnya berusia 7 tahun), maka ibu lebih berhak untuk mengasuhnya.
Ketentuan ini didasarkan pada pertimbangan bahwa ibu lebih mampu merawat dan mendidik anak, serta memiliki kasih sayang yang lebih besar dibandingkan ayah. Hal ini sebagaimana disebutkan oleh Dr. Musthafa al-Khin dkk dalam kitab Fiqhul Manhaji sebagai berikut:
إذا فارق الرجل زوجته، وكان له منها ولد، ذكر أو أنثى، وكان دون سن التمييز، فإن الأم أحق من الأدب بحضانته. أسباب تقديم الأم في الحضانة على الأب: إن الأم أحق بالحضانة من الأب، للأسباب التالية: لوفور شفقتها، وصبرها على أعباء الرعاية والتربية. لأنها ألين بحضانة الأطفال، ورعايتهم، وأقدر على بذل ما يحتاجون إليه من العاطفة والحنو
Artinya: “Ketika seorang suami bercerai dengan istrinya, sedangkan ia masih mempunyai anak, baik anak laki-laki atau perempuan, dan usianya masih belum tamyiz, maka sang ibu lebih berhak untuk mengasuhnya. Adapun ibu lebih berhak atas pengasuhan dari pada ayah karena beberapa alasan, yakni pertama, kasih sayangnya lebih luas serta kesabarannya lebih besar dalam menanggung beban pengurusan dan pendidikan. Kedua, ibu lebih lemut dalam mengasuh dan menjaga anak-anak, dan lebih mampu mencurahkan perasaan dan kasih sayang yang mereka butuhkan,” (Dr. Musthafa al-Khin dkk, Fiqhul Manhaji, [Damaskus, Darul Qalam: 1413 H], jilid IV, hal. 192).
Apakah Anak Diperbolehkan Memilih Hak Asuh?
Jika anak yang ditinggal cerai oleh kedua orang tuanya telah melewati masa tamyiz (biasanya berusia 7 tahun), maka kedua orang tuanya memberikan pilihan kepada anak untuk tinggal bersama salah satu dari mereka, baik ibu maupun ayah. Setelah anak menentukan pilihannya, maka anak tersebut harus diserahkan kepada orang yang telah ia pilih.
Hal ini sebagaimana disebutkan oleh Dr. Musthafa al-Khin dkk dalam kitab Fiqhul Manhaji sebagai berikut:
فإذا أتمّ الطفل، سن السابعة، وكان مميزًا، فإنه يخيّر إذ ذاك بين أبويه، فأيّهما اختار سلّم إليه
Artinya: “Ketika anak sudah sempurna berusia tujuh tahun dan telah tamyiz, maka ia diberi pilihan, mau diasuh oleh ibunya atau ayahnya. Ketika anak sudah menentukan pilihannya, maka anak harus diserahkan kepada orang yang telah ia pilih,” (Fiqhul Manhaji, jilid IV, hal. 192).
Baca Juga
Amalan dan Tirakat untuk Kesuksesan Anak
Ketentuan Hak Asuh Anak dalam Perspektif Hukum Positif Indonesia
Di Indonesia, pengaturan hak asuh anak setelah perceraian diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) bagi umat Muslim.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan:
- Pasal 41 Ayat (1): Menegaskan bahwa akibat putusnya perkawinan karena perceraian, baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak.
- Pasal 41 Ayat (2): Menyatakan bahwa apabila ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan akan memberi keputusan.
Kompilasi Hukum Islam (KHI) lebih rinci mengatur hak asuh anak bagi umat Muslim.
Pasal 105 KHI:
- (a) Anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun, hak asuhnya jatuh kepada ibunya, sejalan dengan prinsip prioritas ibu dalam Fiqih.
- (b) Anak yang sudah mumayyiz atau berumur 12 tahun, berhak memilih untuk diasuh oleh ayah atau ibunya, sejalan dengan prinsip pilihan anak dalam Fiqih.
- (c) Apabila anak sudah berusia 21 tahun, hak asuh sudah tidak berlaku lagi, dan anak berhak menentukan pilihannya sendiri untuk tinggal di mana.
Pasal 106 KHI: Ayah bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan anak-anaknya, menegaskan kewajiban nafkah ayah.
Pasal 156 KHI: Merinci lebih lanjut tentang siapa yang berhak mengasuh anak:
- (a) Anak yang belum mumayyiz adalah hak ibunya, kecuali apabila ibunya meninggal dunia, maka hak asuh beralih kepada ayah, nenek dari pihak ibu atau ayah, dan saudara lainnya.
- (b) Jika pemegang hak asuh tidak dapat menjamin keselamatan anak, hakim dapat memindahkan hak asuh kepada pihak lain yang mampu.
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa menurut perspektif Fiqih, anak yang telah mencapai usia tamyiz (umumnya berusia 7 tahun) diperbolehkan memilih untuk tinggal bersama salah satu orang tuanya. Pilihan anak tersebut harus dihormati. Sementara itu, dalam Hukum Positif Indonesia, anak yang sudah mumayyiz atau berusia 12 tahun juga berhak memilih untuk diasuh oleh ayah atau ibunya. Setelah berusia 21 tahun, hak asuh tidak berlaku lagi, dan anak berhak menentukan tempat tinggalnya sendiri.
Dengan memahami kedua perspektif ini, terlihat bahwa baik Fiqih Islam maupun Hukum Positif di Indonesia memiliki tujuan yang sama dalam penentuan hak asuh anak setelah perceraian, yaitu untuk menjamin perlindungan dan kesejahteraan anak sebagai prioritas utama. Wallahu a’lam.
Ustadz Muhammad Ryan Romadhon, Alumni Ma’had Aly Al-Iman Bulus, Purworejo, Jawa Tengah.