Nikah/Keluarga

Bolehkah Rujuk Tanpa Persetujuan Istri?

Selasa, 1 Juli 2025 | 11:00 WIB

Bolehkah Rujuk Tanpa Persetujuan Istri?

Ilustrasi rujuk. (Freepik)

Sebuah keluarga itu bisa diibaratkan seperti sebuah perahu yang tidak jarang diterpa badai, sehingga dapat menyebabkan tenggelam bila juru mudinya tidak berpengalaman dalam menyelamatkannya. Pasalnya, menjalani kehidupan rumah tangga tidak selamanya berjalan dengan mulus dari hambatan-hambatan karena persoalan demi persoalan muncul silih berganti.

 

Aneka faktor persoalan itulah yang biasanya menjadikan pasangan suami istri akhirnya memilih jalan perceraian (talak). Pilihan ini merupakan jalan akhir bila tidak ditemukan lagi cara agar keduanya (suami istri) berdamai. Namun, meski perceraian adalah jalan terakhir untuk menyelesaikan konflik dalam rumah tangga, membangun kembali rumah tangga yang mengalami gejolak tersebut bukanlah hal yang mustahil. Untuk itulah agama Islam memberikan ketentuan adanya rujuk saat pasangan suami istri yang bercerai berubah pikiran.

 

Di antara tujuan adanya rujuk adalah untuk membangun kembali rumah tangga yang sempat retak karena adanya talak yang dijatuhkan oleh suami. Aturan rujuk diperlukan karena terkadang seseorang merasa kehilangan sesuatu atau menyesal atas keputusan talak yang sebelumnya telah dilakukan. Untuk itu, rujuk menjadi solusi terbaik untuk menyambung kembali ikatan pernikahan yang telah putus.

 

Dalil konsep rujuk adalah firman Allah surah Al-Baqarah ayat 228, yang berbunyi:

 

وَبُعُوْلَتُهُنَّ اَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِيْ ذٰلِكَ اِنْ اَرَادُوْٓا اِصْلَاحًاۗ

 

Artinya: “....Suami-suami mereka lebih berhak untuk kembali kepada mereka dalam (masa) itu, jika mereka menghendaki perbaikan....” (QS. Al-Baqarah: 228)

 

Rujuk tanpa Persetujuan Istri

Para ulama menjelaskan bahwa rujuk merupakan hak bagi suami. Selain itu, rujuk yang dilakukan oleh suami, kapan pun dan di mana pun, hukumnya adalah sah. Suami dalam melakukan rujuk tidak perlu mempertimbangkan persetujuan istri, tidak perlu ada wali, bahkan istri pun tidak perlu tahu bahwa dirinya telah dirujuk oleh mantan suami, sebagaimana ditegaskan dalam kitab-kitab fikih mazhab Syafi’i, sebagai berikut:

 

وَلَا يُشْتَرَطُ رِضَا الزَّوْجَةِ، وَلَا رِضَا وَلِيِّهَا، وَلَا سَيِّدِهَا إذَا كَانَتْ أَمَةً وَيُسَنُّ إعْلَامُ سَيِّدِهَا

 

Artinya: “Dalam rujuk tidak disyaratkan adanya kerelaan dari pihak istri, begitu juga tidak disyaratkan adanya kerelaan dari pihak wali ataupun sayyid (majikan) bagi perempuan yang masih berstatus sebagai budak.” (Imam Ibnu Hajar Al-Haitami, Tuhfatul Muhtaj, [Beirut, Daru Ihya’it Turats Al-‘Arabi: 1357 H], jilid. VIII, hlm. 148)

 

Selain itu, Syekh Ibnu Qasim juga menjelaskan:

 

(وإذا طلق) شخص (امرأته واحدة أو اثنتين فله) بغير إذنها (مراجعتُها مالم تنقض عدتُها)

 

Artinya: “Ketika seseorang menceraikan istrinya satu atau dua kali, maka bagi dia diperkenankan rujuk tanpa seizin sang istri selama masa ‘iddahnya belum habis.” (Syekh Ibnu Qasim Al-Ghazi, Fathul Qarib Al-Mujib, [Beirut, Dar Ibnu Hazm: 1425 H], hlm. 245)

 

Dari kedua keterangan di atas, menjadi jelas bahwa rujuk merupakan hak prerogatif suami, sehingga ia boleh melakukannya tanpa sepengetahuan istri atau bahkan walinya.

 

Namun demikian, terjadi persoalan ketika menghukumi keabsahan rujuk tanpa mempertimbangkan persetujuan istri. Pasalnya, tidak semua istri yang telah diceraikan mau dirujuk. Tidak sedikit mantan istri justru enggan menjalin hubungan rumah tangga yang telah dinodai dengan talak seorang suami. Maka, bagaimana menghukumi keabsahan rujuk tersebut?

 

Jika ditelaah kembali ayat yang dijadikan konsep rujuk sebagaimana di atas, sebenarnya Allah Swt tidak serta merta hak rujuk kepada suami. Sebab, Allah memberikan catatan penting pada ayat dengan diksi, اِنْ اَرَادُوْٓا اِصْلَاحًاۗ  (jika para suami menghendaki kemaslahatan). Sehingga, seorang suami tidak memiliki hak rujuk lagi ketika rujuk yang dilakukan tidak mengacu kepada kemaslahatan bersama.

 

Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Imam Qurthubi dalam kitab Tafsir Al-Qurthubi sebagai berikut:

 

الرَّجُلُ مَنْدُوبٌ إِلَى الْمُرَاجَعَةِ، وَلَكِنْ إِذَا قَصَدَ الْإِصْلَاحَ بِإِصْلَاحِ حَالِهِ مَعَهَا، وَإِزَالَةِ الْوَحْشَةِ بَيْنَهُمَا، فَأَمَّا إِذَا قَصَدَ الْإِضْرَارَ وَتَطْوِيلَ الْعِدَّةِ وَالْقَطْعَ بِهَا عَنِ الْخَلَاصِ مِنْ رِبْقَةِ النِّكَاحِ فَمُحَرَّمٌ، لِقَوْلِهِ تَعَالَى:«وَلا تُمْسِكُوهُنَّ ضِرارًا لِتَعْتَدُوا» ثُمَّ مَنْ فَعَلَ ذَلِكَ فَالرَّجْعَةُ صَحِيحَةٌ، وَإِنِ ارْتَكَبَ النَّهْيَ وَظَلَمَ نَفْسَهُ

 

Artinya: “Seorang lelaki (suami) mempunyai hak kuasa untuk rujuk. Akan tetapi, hak kuasa ini berlaku ketika sang suami melakukan rujuk tersebut dengan tujuan untuk memperbaiki keadaannya bersama sang istri dan menghilangkan perasaan kebiadaban diantara keduanya.

 

Adapun jika sang suami melakukan rujuk tersebut dengan tujuan untuk kemudaratan, memperpanjang masa ‘iddah, dan memutus belenggu nikah, maka hal tersebut diharamkan. Hal ini sesuai dengan firman Allah swt. dalam surat al-Baqarah ayat 231, وَلا تُمْسِكُوهُنَّ ضِرارًا لِتَعْتَدُوا (Janganlah kamu menahan (rujuk) mereka untuk memberi kemudaratan sehingga kamu melampaui batas).

 

Sehingga barang siapa yang melakukan hal tersebut, maka meskipun hukum rujuknya sah, akan tetapi ia telah melakukan larangan dan juga telah menganiaya dirinya sendiri." (Imam Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, [Kairo, Darul Kutub Al-Mishriyyah: 1384 H], jilid. III, hlm. 123)

 

Dari keterangan di atas, dapat diketahui bahwa ayat yang menjelaskan rujuk ditujukan untuk menekankan kemaslahatan bagi istri dan suami. Kemaslahatan ini tidak dapat tercapai tanpa adanya pertimbangan dari kedua belah pihak, sebaliknya kemaslahatan itu bisa tercapai dengan adanya persetujuan dari seorang istri.

 

Terlepas dari ragam pendapat para ulama di atas, penting untuk memperhatikan persoalan rujuk ini menurut hukum Islam di Indonesia. Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 164 dijelaskan bahwa, “Seorang wanita dalam iddah talak raj’i berhak mengajukan keberatan atas kehendak rujuk dari bekas suaminya di hadapan Pegawai Pencatat Nikah disaksikan dua orang saksi.”

 

Dari penjelasan pasal 164 tersebut dapat diketahui bahwa jika seorang suami hendak melakukan rujuk terhadap mantan istrinya, maka harus mendapatkan persetujuan dari pihak mantan istrinya.

 

Perlunya persetujuan kehendak rujuk dari mantan istri dalam KHI diperkuat dengan pasal 165 yaitu, “Rujuk yang dilakukan tanpa sepengetahuan bekas isteri, dapat dinyatakan tidak sah dengan putusan Pengadilan Agama”.

 

Jadi, rujuk yang dilakukan tanpa adanya persetujuan dari pihak istri dapat ditolak dan dinyatakan tidak sah dengan Putusan Pengadilan Agama. Dari pasal-pasal yang diatur dalam KHI tersebut menunjukkan bahwa persetujuan istri dalam rujuk mutlak diperlukan bagi suami yang hendak merujuk mantan istrinya yang masih dalam masa iddah talak raj’i.

 

Dari paparan di atas dapat disimpulkan, rujuk tidak sah jika tidak mempertimbangkan persetujuan istri, sebab tanpa sepengetahuan istri, rujuk yang hendak dilakukan masih bisa dikatakan sebagai hal yang tidak maslahat.

 

Walhasil, meski rujuk merupakan hak mutlak suami, namun suami tetap tidak boleh merampas hak kebebasan istri untuk setuju atau tidak terhadap rujuk yang hendak dilakukan. Hal ini karena bertentangan dengan nilai-nilai ishlah sebagai ruh rujuk itu sendiri. Sehingga, istri juga berhak menentukan pilihannya untuk menerima atau menolak rujuk mantan suaminya.

 

Dengan demikian, rujuk yang dilakukan tanpa adanya persetujuan dari pihak istri dapat ditolak dan dinyatakan tidak sah sesuai dengan ketentuan yang berlaku dari KHI (Kompilasi Hukum Islam). Wallahu a'lam.

 

Muhammad Ryan Romadhon, Alumni Ma’had Aly Al-Iman Bulus, Purworejo, Jawa Tengah.