Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 228: Ketentuan Iddah dan Rujuk dalam Perceraian
Jumat, 8 November 2024 | 20:15 WIB
M Ryan Romadhon
Kolomnis
Setelah pada ayat sebelumnya, ayat 226-227, Allah swt menyebutkan ketentuan hukum ila’ atau sumpah suami untuk pisah ranjang dengan istri, dan bagaimana ila’ dapat menyebabkan perceraian, maka pada ayat 228 surat Al-Baqarah ini Allah menjelaskan keadaan wanita setelah adanya perceraian.
Berikut adalah teks, transliterasi, terjemah, dan kutipan beberapa tafsir ulama terhadap surat Al-Baqarah ayat 228:
وَالْمُطَلَّقٰتُ يَتَرَبَّصْنَ بِاَنْفُسِهِنَّ ثَلٰثَةَ قُرُوْۤءٍۗ وَلَا يَحِلُّ لَهُنَّ اَنْ يَّكْتُمْنَ مَا خَلَقَ اللّٰهُ فِيْٓ اَرْحَامِهِنَّ اِنْ كُنَّ يُؤْمِنَّ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِۗ وَبُعُوْلَتُهُنَّ اَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِيْ ذٰلِكَ اِنْ اَرَادُوْٓا اِصْلَاحًاۗ وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِيْ عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوْفِۖ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌۗ وَاللّٰهُ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌࣖ ٢٢٨
Wal-muthallaqâtu yatarabbashna bi'anfusihinna tsalâtsata qurû', wa lâ yaḫillu lahunna ay yaktumna mâ khalaqallâhu fî ar-ḫâmihinna ing kunna yu'minna billâhi wal-yaumil-âkhir, wa bu‘ûlatuhunna aḫaqqu biraddihinna fî dzâlika in arâdû ishlâḫâ, wa lahunna mitslulladzî ‘alaihinna bil-ma‘rûfi wa lir-rijâli ‘alaihinna darajah, wallâhu ‘azîzun ḫakîm.
Artinya, “Para istri yang diceraikan (wajib) menahan diri mereka (menunggu) tiga kali quru’ (suci atau haid). Tidak boleh bagi mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahim mereka, jika mereka beriman kepada Allah dan hari Akhir.
Suami-suami mereka lebih berhak untuk kembali kepada mereka dalam (masa) itu, jika mereka menghendaki perbaikan. Mereka (para perempuan) mempunyai hak seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang patut. Akan tetapi, para suami mempunyai kelebihan atas mereka. Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.” (QS Al-Baqarah: 228).
Sababun Nuzul Surat Al-Baqarah Ayat 228
Syekh Wahbah Az-Zuhaili dalam memaparkan riwayat Abu Dawud dan Ibnu Abi Hatim dari dari Asma' binti Yazid bin Sakan Al-Anshariyah:
طلّقت على عهد رسول الله ﷺ، ولم يكن للمطلقة عدّة، فأنزل الله العدة للطلاق: وَالْمُطَلَّقاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلاثَةَ قُرُوءٍ
Artinya, “Aku pernah ditalak suamiku ketika Rasulullah saw. masih hidup. Saat itu wanita yang ditalak tidak punya ‘iddah. Kemudian Allah menurunkan ‘iddah untuk talak: 'Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'.” (At-Tafsirul Munir, [Damaskus, Darul Fikr: 1991], jilid II, halaman 319).
Tafsir Al-Qurthubi
Imam Al-Qurthubi mengatakan, frasa: وَالْمُطَلَّقٰتُ adalah frasa umum untuk semua wanita yang diceraikan oleh suami. Meski demikian, yang dimaksud dalam ayat adalah khusus untuk wanita yang diceraikan sesudah disetubuhi oleh suaminya dan bukan wanita yang sedang hamil.
Adapun dalil yang menunjukkan wanita yang diceraikan sebelum disetubuhi tidak masuk dalam kandungan ayat menurut Imam Al-Qurthubi adalah firman Allah:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنٰتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوْهُنَّ مِنْ قَبْلِ اَنْ تَمَسُّوْهُنَّ فَمَا لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّوْنَهَاۚ ٤٩
Yâ ayyuhalladzîna âmanû idzâ nakaḫtumul-mu'minâti tsumma thallaqtumûhunna ming qabli an tamassûhunna fa mâ lakum ‘alaihinna min ‘iddatin ta‘taddûnahâ.
Artinya, “Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-perempuan mukminat, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya, tidak ada masa idah atas mereka yang perlu kamu perhitungkan.” (QS Al-Ahzab: 49).
Sedangkan dalil yang menunjukkan wanita yang diceraikan dalam keadaan hamil tidak masuk dalam kandungan ayat menurutnya adalah firman Allah:
وَاُولٰتُ الْاَحْمَالِ اَجَلُهُنَّ اَنْ يَّضَعْنَ حَمْلَهُنَّۗ ٤
Wa ulâtul-aḫmâli ajaluhunna ay yadla‘na ḫamlahunn.
Artinya, “Adapun perempuan-perempuan yang hamil, waktu idah mereka adalah sampai mereka melahirkan kandungannya.” (QS At-Thalaq: 4).
Begitu juga, dengan masa iddah untuk wanita yang masih kecil, yang belum haid dan iddah bagi wanita yang sudah tidak haid lagi, yang ditentukan dengan hitungan bulan.
Adapun tujuan dari penyelesaian tiga quru’ bagi para wanita yang diceraikan adalah untuk membebaskan rahimnya. Berbeda dengan masa iddah bagi para wanita yang ditinggal wafat oleh suami, iddah bagi mereka merupakan suatu ibadah. (Tafsir Al-Qurthubi, [Kairo, Darul Kutub Al-Mishriyah: 1964], jilid III, halaman 112).
Apa itu Quru’?
Lebih detail merujuk Imam Al-Qurthubi, ulama berbeda pendapat mengenai makna frasa: قُرُوْۤءٍۗ pada ayat. Ulama Kufah berpendapat, maknanya adalah ‘masa haid’. Pendapat ini juga disampaikan oleh Umar, Ali, Ibnu Mas’ud, Abu Musa, Mujahid, Qatadah, Adh-Dhahak, Ikrimah, dan As-Sudi.
Sedangkan para ulama Hijaz berpendapat, maknanya adalah ‘masa suci’. Pendapat ini diikuti pula oleh Aisyah, Ibnu Umar, Zaid bin Tsabit, Az-Zuhri, Aban bin Utsman, dan Imam As-Syafi’i.
Alasan ulama yang berpendapat bahwa makna dari frasa: قُرُوْۤءٍۗ pada ayat ini adalah ‘masa haid’ adalah karena frasa: الْقُرْء bermakna terkumpulnya darah di dalam rahim. Sedangkan alasan para ulama yang berpendapat bahwa makna dari frasa: قُرُوْۤءٍۗ pada ayat ini adalah ‘masa suci’ karena frasa: الْقُرْء bermakna terkumpulnya darah pada seluruh tubuh.
Beberapa ulama lain ada juga yang berpendapat bahwa frasa: قُرُوْۤءٍۗ ini maknanya terlepas, entah terlepas dari masa haid menuju masa bersih; atau terlepas dari masa bersih menuju masa haid.
Pemaknaan ini diikuti sampaikan oleh Imam As-Syafi’i, namun hanya pada salah satunya saja. Beliau berpendapat bahwa frasa: الْقُرْء maknanya berpindah dari masa bersih menuju masa haid. Dengan demikian makna dari firman-Nya: وَالْمُطَلَّقٰتُ يَتَرَبَّصْنَ بِاَنْفُسِهِنَّ ثَلٰثَةَ قُرُوْۤءٍۗ adalah tiga kali pergantian atau tiga kali perpindahan.
Hal tersebut karena wanita hanya merasakan dua kondisi saja. Apakah ia berpindah dari masa suci ke masa haid, atau berpindah dari masa haid ke masa suci. Dengan begitu, makna ini serasi dengan maksud ayat, karena menunjukkan dua makna sekaligus, yakni masa haid dan suci. Jadi, frasa: الْقُرْء ini pun dapat digunakan pada dua makna tersebut.
Waktu Cerai yang Tepat
Masih merujuk Imam Al-Qurthubi, ulama sepakat bahwa perceraian harus dilakukan pada masa suci. Sehingga dari sini diketahui, iddah yang wajar adalah apabila perceraian dilakukan pada masa suci. Nabi Muhammad saw pernah bersabda kepada Umar:
مُرْهُ فَلْيُرَاجِعْهَا ثُمَّ لِيُمْسِكْهَا حَتَّى تَطْهُرَ ثُمَّ تَحِيضَ ثُمَّ تَطْهُرَ فَتِلْكَ الْعِدَّةُ الَّتِي أَمَرَ اللَّهُ أَنْ تُطَلَّقَ لَهَا النِّسَاءُ
Artinya, “Suruhlah ia kembali kepada istrinya, kemudian jagalah istrinya itu hingga ia memasuki masa sucinya, lalu masa haidnya, lalu masa sucinya. Itulah masa ‘iddah yang diperintahkan Allah ketika para suami ingin menceraikan istrinya.” (HR Muslim dan lainnya).
Dalil di atas adalah nash yang menunjukkan bahwa masa sucilah yang menjadi awal dari masa iddah, yaitu masa tunggu saat seorang istri diceraikan.
Para ulama sepakat, suami yang menceraikan istri pada masa haid, maka istri tidak langsung menjalani masa iddah, sedangkan suami yang menceraikan istri pada masa suci, maka istri dapat langsung menjalani masa iddahnya. Karena itu, perceraian dianjurkan agar dilakukan pada masa suci, bukan pada masa haid. Karena hal itu akan memperpanjang waktu menunggu bagi istri yang diceraikan. (Al-Qurthubi, III/113-115).
At-Tafsirul Munir
Syekh Wahbah Az-Zuhaili mengatakan, ayat khusus berkenaan dengan iddah wanita yang masih mungkin untuk mengalami haid, sudah disetubuhi suami, dan tidak sedang hamil. Dalam ayat hendaknya wanita-wanita merdeka yang ditalak (yang masih punya kebiasaan haid) menunggu selama tiga kali haid atau tiga kali suci, guna mengetahui bahwa rahimnya masih kosong dari janin agar tidak terjadi percampuran nasab.
Hikmah penantian ini, masih menurut Syekh Wahbah, adalah untuk mengetahui kekosongan rahim dari janin, agar tidak terjadi percampuran nasab. Sebab itu, wanita tidak boleh menutup-nutupi apa yang ada di rahimnya, baik kehamilan maupun haid, meskipun masa iddahnya panjang karena ingin menikah lagi; dan ia tidak boleh berdusta dengan menyembunyikan haid karena ingin terus mendapat nafkah dari suami selama masih dalam masa iddah. Pada zaman sekarang semua pengadilan memvonis masa terpanjang iddah adalah satu tahun Hijriah, dan ini sesuai dengan madzhab Malik ra. (At-Tafsirul Munir, [Damaskus, Darul Fikr: 1991], jilid II, halaman 319-320).
Kewajiban Iddah dan Ketentuannya
Menurut Syekh Wahbah, iddah diwajibkan guna merealisasikan beberapa tujuan, antara lain:
- mengetahui kekosongan rahim dari janin,
- menjaga nama baik wanita,
- mempertahankan dan menghargai ikatan pernikahan,
- mempertimbangkan dampak talak, dan
- memikirkan masa depan sehingga pihak laki-laki dan wanita sama-sama memperbaiki kesalahannya dan memberi kesempatan yang layak untuk kembali ke kehidupan berumah tangga dengan corak baru yang lebih baik daripada sebelumnya, agar pergaulan di dalam rumah menjadi harmonis dan masa depan anak serta kehidupan yang tenang diperhatikan.
Lama iddah, lanjut Syekh Wahbah, adalah tiga kali suci menurut Ibnu Umar, Zaid, Aisyah, ketujuh fuqaha Madinah, serta mazhab Maliki dan Syafi'i. Alasannya, karena arti quru’ dalam bahasa Arab adalah peralihan dari suci ke haid; sedangkan peralihan dari haid ke suci tidak disebut quru’, karena perpindahan dari suci ke haid itulah yang menunjukkan kosongnya rahim dari janin. Sebab wanita hamil biasanya tidak mengalami haid. Jadi, dengan haidnya, kita mengetahui bahwa rahimnya kosong.
Sedangkan perpindahan dari haid ke suci tidak demikian. Sebab wanita yang haid boleh jadi mengandung saat masa haidnya dimulai, kemudian apabila masa kehamilan semakin panjang dan janinnya semakin kuat, maka darah haidnya berhenti.
Adapun menurut pendapat Umar, Ali, Ibnu Mas'ud, mazhab Hanafi, dan mazhab Hanbali–berdasarkan riwayat terakhir dari Ahmad, atau menurut riwayat yang paling shahih–, lamanya iddah adalah tiga haid, karena iddah budak wanita adalah dengan haid. Rasulullah saw bersabda:
طلاق الأمة تطليقتان، وعدتها حيضتان
Artinya, “(Batas) talak budak wanita adalah dua kali, dan iddah-nya adalah dua kali haid.”
Dengan dalil ini, wanita merdeka diqiyaskan kepada budak wanita. Alasan lainnya, karena yang menunjukkan kekosongan rahim dari janin adalah haid, bukan kesucian. Pendapat ini, dari aspek makna adalah pendapat yang lebih kuat.
Dampak perbedaan pendapat di atas terlihat saat suami menalak istrinya ketika suci dari haid. Menurut pendapat pertama, masa suci dihitung sebagai bagian dari iddah sehingga masa iddahnya berakhir dengan datangnya haid ketiga. Sedangkan menurut pendapat kedua, masa suci tersebut tidak dihitung sebagai bagian dari iddah, dan masa iddahnya baru berakhir dengan berakhirnya haid ketiga.
Menurut kedua pendapat di atas, wanita dipercaya atas isi rahimnya, baik kandungan atau haid. Artinya, perkataannya dalam masalah ini bisa diterima, sebab perkara ini tidak dapat diketahui kecuali berdasarkan info darinya sendiri.
Allah mengharamkan wanita menutupi keadaan rahimnya, tidak lain karena info darinya berhubungan dengan hak laki-laki (suami) untuk merujuknya, dan agar tidak terjadi percampuran nasab.
Misalnya, jika ia mengklaim bahwa masa iddah sudah habis, berarti ia telah melenyapkan hak suami untuk merujuknya; dan jika ia hamil lalu mengklaim masa iddah sudah habis, kemudian ia menikah dengan lelaki lain, berarti akan terjadi percampuran nasab. (Az-Zuhaili, II/323-324).
Legalitas Rujuk
Rujuk, menurut Syekh Wahbah adalah ketika suami mengembalikan istri ke dalam ikatan pernikahan selama ia masih dalam masa iddah. Laki-laki dianjurkan melakukan rujuk dan ini termasuk salah satu ketentuan dalam talak. Dalilnya adalah firman Allah:
وَبُعُوْلَتُهُنَّ اَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِيْ ذٰلِكَ اِنْ اَرَادُوْٓا اِصْلَاحًاۗ
Artinya, “Suami-suami mereka lebih berhak untuk kembali kepada mereka dalam (masa) itu, jika mereka menghendaki perbaikan.” (QS Al-Baqarah: 228).
Rujuk legalkan oleh syariat asalkan suami meniatkannya untuk memperbaiki hubungan dengan istri, bukan untuk membuatnya menderita. Jika ia bermaksud menyengsarakannya dan memperpanjang masa iddah, serta menjadikannya seperti mu'allaqah atau janda gantung, maka tindakan ini haram, dan suami tidak berhak merujuk istrinya, dengan dalil firman Allah swt:
وَلَا تُمْسِكُوْهُنَّ ضِرَارًا لِّتَعْتَدُوْاۚ وَمَنْ يَّفْعَلْ ذٰلِكَ فَقَدْ ظَلَمَ نَفْسَهٗۗ
Artinya, “Janganlah kamu menahan (rujuk) mereka untuk memberi kemudaratan sehingga kamu melampaui batas. Siapa yang melakukan demikian, dia sungguh telah menzalimi dirinya sendiri.” (QS Al-Baqarah: 231).
Namun seandainya suami berbuat demikian, maka rujuknya tetap sah, meskipun ia melanggar hukum. Hal ini karena meski keinginan suami tidak dapat kita ketahui, kita memperlakukannya berdasarkan lahiriah keadaannya saja.
Ragam Cara Rujuk Suami kepada Istri dalam Masa Iddah
Para ulama berbeda pendapat tentang jenis tindakan yang membuat suami terhitung telah melakukan rujuk pada masa iddah.
Menurut mazhab Syafi'i, rujuk pada masa iddah terwujud dengan ucapan yang sharih (eksplisit) atau dengan ungkapan kinayah (implisit) yang disertai niat. Misalnya, perkataan lelaki yang merujuk: تزوجتك أو نكحتك (Aku menikahimu). Perlu digarisbawahi, menurut mazhab Syafi'i rujuk tidak bisa terwuiud dengan persetubuhan.
Sedangkan menurut jumhur ulama, rujuk pada masa iddah terwujud dengan perkataan atau dengan perbuatan. Termasuk dengan khalwah (berduaan di tempat sepi), misalnya ciuman dengan syahwat, dan persetubuhan. Mazhab Maliki menambahkan bahwa rujuk dapat terwujud pula dengan niat, yakni ucapan dalam hati, misalnya lelaki berkata dalam hati, “Aku merujuknya”. Namun mazhab Hanbali tidak membolehkan rujuk dengan kinayah.
Status Wanita yang Ditalak Ra'ji
Para ulama juga berbeda pendapat tentang status wanita yang ditalak raj’i atau yang masih bisa dirujuk dalam masa iddah, apakah statusnya istri atau bukan?
Menurut mazhab Hanafi dan mazhab Hanbali dalam pendapat yang kuat, statusnya masih sebagai istri. Jadi, suami tidak diharamkan menggaulinya atau mencumbunya pada masa penantian. Hukum-hukum suami-istri masih berlaku, tidak ada yang terhapus.
Sedangkan menurut mazhab Maliki dan Syafi'i, ia tidak seperti istri. Ia tidak boleh digauli sebelum dirujuk baik dengan persetubuhan atau lainnya. Bahkan memandangnya dengan pandangan yang tanpa syahwatpun tidak boleh, sebab ia sudah terpisah ikatannya dari suami, sama seperti wanita yang ditalak ba'in. Selain itu juga karena alasan pernikahan membolehkan dilakukannya hubungan badan, sedangkan talak mengharamkannya, sebab ia adalah lawan nikah.
Kedua kelompok ulama di atas sepakat bahwa suami tidak boleh melakukan perjalanan bersama istri yang ditalaknya sebelum ia merujuknya.
Menurut kelompok pertama, si istri boleh berdandan bagi mantan suami tersebut, boleh pula memakai wewangian dan perhiasan. Sedangkan menurut kelompok kedua, ia tidak boleh melakukannya, dan ia pun tidak boleh berduaan dengannya di tempat sepi, tidak boleh masuk rumahnya tanpa izin, tidak boleh memandangnya kecuali jika ia berpakaian, serta tidak boleh memandang rambutnya.
Namun, ia boleh makan bersamanya apabila ada orang lain yang bersama mereka. Ia tidak boleh bermalam serumah dengannya, melainkan ia harus pindah ke rumah lain. (Az-Zuhaili, II/325-328).
Hak Suami dan Istri
Merujuk Syekh Wahbah Az-Zuhaili, pernikahan dalam Islam bukanlah akad perbudakan dan penyerahan kepemilikan, melainkan akad yang mengakibatkan timbulnya hak-hak bersama yang setara sesuai dengan kemaslahatan umum bagi suami dan istri. Jadi, akad pernikahan itu menimbulkan hak-hak bagi istri atas suami, begitu pula sebaliknya.
Ungkapan yang ringkas dalam frasa: وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ، وَلِلرِّجالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ pada ayat mengandung tiga hukum berikut:
- Istri mendapatkan hak-hak pernikahan yang harus dilaksanakan oleh suami, setara dengan hak-hak yang didapatkan suami yang harus ditunaikan oleh istri.
Misalnya pergaulan yang baih tidak menyengsarakan, bertakwa kepada Allah menyangkut kepentingan pasangan, istri patuh kepada suami, dan masing-masing berhias diri bagi pasangannya. - Masing-masing memuaskan pasangannya sesuai kebutuhan agar tidak sampai melirik orang lain dan mencari kesempatan yang pas. Hendaknya, masing-masing ‘berobat’ apabila merasa dirinya tidak mampu menunaikan hak pasangannya.
- Laki-laki punya kedudukan lebih tinggi daripada wanita yaitu dalam kepemimpinan dan pengaturan urusan keluarga.
Artinya, ada dua faktor yang membuat laki-laki lebih tinggi derajatnya dan mendapat derajat pemimpin:
a. Laki-laki diciptakan Allah dengan diberi kelebihan pengalaman, keseimbangan mental, dan akal; serta dipersiapkan untuk memikul beban, berjuang dan bekerja.
b. Laki-laki diharuskan memberi nafkah kepada istri, membayar mahar dan mencukupi kebutuhan hidupnya (sandang pangan, papan, pengobatan, dan sebagainya.
Sebenarnya derajat pemimpin ini, merupakan tanggungan dan beban bagi lelaki, yang lebih banyak daripada beban wanita. Karena itu, hak suami atas istri lebih besar daripada hak istri atas suaminya.
Kesimpulannya, lanjut Syekh Wahbah, pernikahan merupakan ikatan bersama antara dua orang, dan masing-masing pihak harus menunaikan hak-hak pasangannya dan melaksanakan kewajibannya dengan baik. (Az-Zuhaili, II/328-329).
Dari paparan di atas dapat kita mengerti, surat Al-Baqarah ayat 228 mengandung bahasan perihal beberapa ketentuan hukum yang berkaitan dengan istri yang ditalak, namun sudah pernah dicampuri, belum menopause, dan tidak sedang hamil. Wallahu a’lam.
Ustadz M Ryan Romadhon, Alumni Ma’had Aly Al-Iman Bulus Purworejo, Jawa Tengah.
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Isra Mi’raj, Momen yang Tepat Mengenalkan Shalat Kepada Anak
2
Khutbah Jumat: Kejujuran, Kunci Keselamatan Dunia dan Akhirat
3
Khutbah Jumat: Rasulullah sebagai Teladan dalam Pendidikan
4
Khutbah Jumat: Pentingnya Berpikir Logis dalam Islam
5
Gus Baha Akan Hadiri Peringatan Isra Miraj di Masjid Istiqlal Jakarta pada 27 Januari 2025
6
Khutbah Jumat: Peringatan Al-Qur'an, Cemas Jika Tidak Wujudkan Generasi Emas
Terkini
Lihat Semua