Tafsir

Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 231: Etika Talak dan Rujuk dalam Islam

Rabu, 4 Desember 2024 | 09:00 WIB

Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 231: Etika Talak dan Rujuk dalam Islam

Ilustrasi talak. Sumber: Canva/NU Online

Setelah Allah menjelaskan dalam ayat yang lalu (ayat 229 surat al-Baqarah) bahwa suami diberi pilihan untuk rujuk atau cerai, dijelaskan-Nya pada ayat 231 ini batas akhir pilihan itu, sambil mengisyaratkan bahwa rujuk adalah pilihan terbaik.


Ayat 231 ini mengutarakan cara yang harus dilakukan oleh suami yang telah menjatuhkan talak kepada istrinya sebagai penjelasan ayat-ayat sebelumnya.


Berikut adalah teks, transliterasi, terjemah dan kutipan beberapa tafsir ulama terhadap Surat Al-Baqarah ayat 231:


وَاِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاۤءَ فَبَلَغْنَ اَجَلَهُنَّ فَاَمْسِكُوْهُنَّ بِمَعْرُوْفٍ اَوْ سَرِّحُوْهُنَّ بِمَعْرُوْفٍۗ وَلَا تُمْسِكُوْهُنَّ ضِرَارًا لِّتَعْتَدُوْاۚ وَمَنْ يَّفْعَلْ ذٰلِكَ فَقَدْ ظَلَمَ نَفْسَهٗۗ وَلَا تَتَّخِذُوْٓا اٰيٰتِ اللّٰهِ هُزُوًا وَّاذْكُرُوْا نِعْمَتَ اللّٰهِ عَلَيْكُمْ وَمَآ اَنْزَلَ عَلَيْكُمْ مِّنَ الْكِتٰبِ وَالْحِكْمَةِ يَعِظُكُمْ بِهٖۗ وَاتَّقُوا اللّٰهَ وَاعْلَمُوْٓا اَنَّ اللّٰهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌࣖ ۝٢٣١


wa idzâ thallaqtumun-nisâ'a fa balaghna ajalahunna fa amsikûhunna bima‘rûfin au sarriḫûhunna bima‘rûf, wa lâ tumsikûhunna dlirâral lita‘tadû, wa may yaf‘al dzâlika fa qad dhalama nafsah, wa lâ tattakhidzû âyâtillâhi huzuwaw wadzkurû ni‘matallâhi ‘alaikum wa mâ anzala ‘alaikum minal-kitâbi wal-ḫikmati ya‘idhukum bih, wattaqullâha wa‘lamû annallâha bikulli syai'in ‘alîm


Artinya: “Apabila kamu menceraikan istri(-mu), hingga (hampir) berakhir masa idahnya, tahanlah (rujuk) mereka dengan cara yang patut atau ceraikanlah mereka dengan cara yang patut (pula). Janganlah kamu menahan (rujuk) mereka untuk memberi kemudaratan sehingga kamu melampaui batas. Siapa yang melakukan demikian, dia sungguh telah menzalimi dirinya sendiri. 


Janganlah kamu jadikan ayat-ayat (hukum-hukum) Allah sebagai bahan ejekan. Ingatlah nikmat Allah kepadamu dan apa yang telah diturunkan Allah kepadamu, yaitu Kitab (Al-Qur’an) dan Hikmah (Sunah), untuk memberi pengajaran kepadamu. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al-Baqarah: 231)


Asbabun Nuzul Surat Al-Baqarah Ayat 231

Syekh Wahbah Zuhaili dalam at-Tafsirul Munir menjelaskan beberapa sebab turunnya surat Al-Baqarah ayat 231. Beliau mengutip beberapa pendapat ulama, di antaranya keterangan dari Ibnu Jarir ath-Thabari yang mengutip riwayat Ibnu Abbas:


كان الرجل يطلق امرأته، ثم يراجعها قبل انقضاء عدّتها، ثم يطلقها، يفعل ذلك، يضارّها ويعضلها، فأنزل الله هذه الآية


Artinya, “Dulu, lelaki biasa menalak istrinya lalu merujuknya sebelum habis masa ‘iddah-nya, kemudian ia menalaknya lagi. Ia melakukannya berkali-kali untuk menyengsarakan istri dan menghalanginya menikah dengan orang lain. Karena itu, Allah menurunkan ayat ini.”


Selain itu, Imam Ath-Thabari juga memaparkan versi lain mengenai sebab turunnya ayat tersebut, yang berasal dari riwayat as-Suddi.


نزلت في رجل من الأنصار يدعى ثابت بن يسار، طلّق امرأته، حتى إذا انقضت عدتها إلا يومين أو ثلاثة، راجعها، ثم طلّقها مضارّة، فأنزل الله: وَلا تُمْسِكُوهُنَّ ضِرارًا لِتَعْتَدُوا


Artinya: “Ayat ini turun berkenaan dengan seorang lelaki dari kaum Anshar yang bernama Tsabit bin Yasar, yang telah menceraikan istrinya, lalu ketika masa ‘iddah-nya sudah tinggal dua atau tiga hari lagi, ia merujuknya, lalu menalaknya lagi sehingga sang istri menderita. Maka Allah menurunkan ayat, وَلا تُمْسِكُوهُنَّ ضِرارًا لِتَعْتَدُوا (Janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemudaratan, karena dengan demikian kamu meng aniaya mereka).”


Kemudian, mengenai firman-Nya, وَلا تَتَّخِذُوا آياتِ اللهِ هُزُوًا, Ibnu Abi Umar (dalam Musnad-nya) dan Ibnu Mardawaih memaparkan sebuah riwayat yang berasal dari Abu Darda', yang berkata:


كان الرجل يطلّق، ثم يقول: لعبت، ويعتق، ثم يقول: لعبت، فأنزل الله: ﴿وَلا تَتَّخِذُوا آياتِ اللهِ هُزُوًا﴾ فقرأها رسول الله وقال: ثلاث جدّهن جدّ وهزلهن جدّ: الطلاق والنكاح والرّجعة. وقال أيضا: من طلّق لاعبا، أو أعتق لاعبا، فقد جاز عليه


Artinya: “Dulu kaum laki-laki biasa menalak istri lalu berkata, ‘Aku hanya bercanda’. Mereka juga biasa memerdekakan budak lalu berkata, ‘Aku hanya bercanda’. Maka Allah menurunkan ayat ini, وَلا تَتَّخِذُوا آياتِ اللهِ هُزُوًا (Janganlah kamu jadikan hukum-hukum Allah sebagai permainan).”


Rasulullah saw. membacakan ayat ini lalu bersabda, “Ada tiga hal yang terhitung serius, baik dilakukan dengan serius maupun sambil bercanda, yakni talak, nikah, dan rujuk.” Beliau saw. bersabda pula, “Barangsiapa menalak istrinya sambil bercanda, atau memerdekakan budaknya sambil bercanda, maka hal itu terhitung sah atasnya.”


Tafsir Al-Qurthubi

Imam Qurthubi dalam kitab tafsirnya Jilid. III (Kairo, Darul Kutub Al-Mishriyyah, 1964: 155-156) mengatakan, makna dari frasa, بَلَغْنَ dalam ayat tersebut adalah ‘mendekati’. Sebab, jika setelah masa ‘iddah-nya berakhir, maka tidak ada pilhan lagi untuk merujuknya. Ayat ini, masih menurut beliau, selanjutnya menunjukkan arti pelarangan.


Adapun yang dimaksud dari frasa, فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ (maka rujuklah mereka dengan cara yang ma’ruf), maksudnya adalah memenuhi apa yang menjadi haknya istri atas suami. 


Oleh karena itu, sekelompok ulama berkata, “Di antara ‘cara yang baik’ adalah, jika suami tidak memiliki sesuatu untuk menafkahi istrinya, maka ia boleh menceraikannya. Jika dia tidak menceraikannya, maka berarti dia telah keluar dari batasan ‘cara yang baik’.

 

Jika demikian kondisinya, maka hakim harus memisahkan mereka berdua demi menghindari bahaya yang akan terjadi pada istri jika dia masih tetap hidup bersama suaminya, karena kelaparan tidak bisa ditunda pemenuhannya.” 


Pendapat tersebut diamini oleh Imam Malik, Asy-Syaf’i, Ahmad, Ishak, Abu Tsaur, Abu Ubaid, Yahya Al-Qaththan, dan Abdurrahman bin Mahdi. Sementara dari kalangan sahabat yang berpendapat demikian adalah, Umar, Ali dan Abu Hurairah. Adapun dari kalangan tabi'in adalah Sa'id bin Musayyib, dia berkata bahwa hal itu sesuai hadits, yang diriwayatkan Abu Hurairah dari Nabi saw.


Sementara sekelompok ulama’ lain berpendapat, tidak boleh dipisahkan keduanya, si istri harus tetap bersabar bersama suaminya walaupun tanggungan nafkah tetap berada di tangan suami menurut keputusan hakim. Pendapat ini dikatakan oleh Atha' dan Az-zuhri. Orang-orang Kufah dan Ats-Tsauri juga mengikuti pendapat tersebut. Mereka berargumen dengan firman-Nya,


وَاِنْ كَانَ ذُوْ عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ اِلٰى مَيْسَرَةٍۗ ۝٢٨٠


wa ing kâna dzû ‘usratin fa nadhiratun ilâ maisarah, 


Artinya: “Jika dia (orang yang berutang itu) dalam kesulitan, berilah tenggang waktu sampai dia memperoleh kelapangan”. (QS. Al-Baqarah: 280)


Dan juga firman-Nya,


وَاَنْكِحُوا الْاَيَامٰى مِنْكُمْ ۝٣٢


wa angkiḫul-ayâmâ mingkum 


Artinya: “Nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di antara kamu.” (QS. An-Nur: 32)


Allah menganjurkan untuk menikahi orang fakir, sehingga kefakiran tidak boleh dijadikan sebab pemisahan mereka berdua. Selain itu, pernikahan keduanya telah berlangsung sah menurut ijma’, maka tidak boleh memisahkan keduanya kecuali dengan ijma’ yang sama atau dengan Sunnah dari Rasulullah SAW serta yang tidak bertentangan dengan Sunnah.


Lebih detail, menurut Imam Qurthubi, yang dimaksud dari frasa, وَلا تَتَّخِذُوا آياتِ اللَّهِ هُزُوًا (janganlah kamu jadikan hukum-hukum Allah permainan), adalah janganlah kalian mempermainkan hukum-hukum Allah, karena permainan demi permainan akan menjadikan semuanya keseriusan. Siapa yang bermain atau bercanda dengan hukum Allah, maka ia harus berani menanggung konsekuensi. 


At-Tafsirul Munir

Syekh Wahbah Az-Zuhaili dalam at-Tafsirul Munir jilid II (Damaskus: Darul Fikr, 1991: 353-355)  mengatakan, apabila sang suami menalak istri dan masa ‘iddah-nya hampir habis, maka ia harus memilih salah satu dari dua pilihan, yakni merujuknya baik-baik (tidak menyusahkannya), atau melepasnya baik-baik (tidak menyengsarakannya). Beliau menjelaskan:


ولا تراجعوهنّ بقصد إلحاق الضرر بهنّ وإيذائهنّ بالحبس وتطويل العدّة، حتى يضطرن إلى الفدية ودفع المال لكم، فهذا اعتداء عليهن، ومن يفعل هذا الفعل الممنوع وهو الإمساك على سبيل الضرار والعدوان، فقد ظلم نفسه في الدنيا بإقلاق ضميره وفتح باب الشّر والعداء مع أسرة المرأة، وفي الآخرة بتعريض نفسه لعذاب الله وغضبه، بسبب تسلطه على الضعفاء، واستغلاله حاجة المرأة إلى الخلاص منه.


Artinya: “Janganlah kamu merujuknya dengan maksud menyengsarakannya (dengan menahannya dan memanjangkan masa ‘iddah-nya) sehingga ia terpaksa membayar tebusan kepadamu sebab ini merupakan penganiayaan terhadapnya.


Siapa pun yang melakukan perbuatan terlarang ini (yaitu merujuk istri untuk menyusahkan dan menganiayanya) berarti telah menzalimi dirinya di dunia dengan membuat hati nuraninya gelisah serta menciptakan permusuhan dengan keluarga istrinya, sementara di akhirat ia pun akan mendapat adzab dan murka Allah lantaran ia menindas orang lemah dan mengeksploitasi kebutuhan istri untuk terlepas dari ikatan dengannya.”


Adapun dalam frasa وَلَا تَتَّخِذُوْٓا اٰيٰتِ اللّٰهِ هُزُوًا,  menurut Syekh Wahbah mengandung ancaman keras bagi orang yang melanggar hukum-hukum syariat, sekaligus berisi dorongan kepada orang beriman agar menghormati ikatan pernikahan dan menjauhi perbuatan-perbuatan masyarakat Jahiliyah (hlm. 353-355).


Merujuk dengan Cara yang Baik

Menurut Syekh Wahbah, merujuk pada cara yang baik (ma’ruf) berarti suami memenuhi hak istri, seperti memberikan nafkah. Jika suami tidak mampu menafkahi istrinya, berarti ia gagal menjalankan kewajiban sesuai dengan yang seharusnya, dan dalam situasi ini, suami sebaiknya menceraikan istrinya.


Jika suami menolak untuk menceraikan, maka hakim yang harus memutuskan talak, karena istri akan menderita hidup bersama suami yang tidak mampu memberi nafkah. Selain itu, manusia pada umumnya tidak bisa bertahan lama dengan kelaparan. Pendapat ini dipegang oleh mayoritas ulama (Imam Malik, Syafi'i, dan Ahmad), dan didukung oleh hadits Rasulullah dalam Shahih Bukhari.


تقول المرأة: إما أن تطعمني، وإما أن تطلّقني

Artinya, “Istri berkata, ‘Pilihlah, apakah engkau mau memberiku pangan atau menalakku?”


Sedangkan menurut mazhab Hanafi, keduanya tidak perlu diceraikan oleh hakim; istri harus bersabar dan nafkah itu menjadi tanggungan suami berdasarkan putusan hakim. Dalilnya adalah firman Allah:


وَاِنْ كَانَ ذُوْ عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ اِلٰى مَيْسَرَةٍۗ ۝٢٨٠


wa ing kâna dzû ‘usratin fa nadhiratun ilâ maisarah, 


Artinya: “Jika dia (orang yang berutang itu) dalam kesulitan, berilah tenggang waktu sampai dia memperoleh kelapangan”. (QS. Al-Baqarah: 280) (hlm. 353-354)


Menceraikan dengan Cara yang Baik

Menurut Syekh Wahbah, menceraikan dengan cara yang baik adalah dengan menalak istri tanpa menyusahkannya, sebab Allah berfirman,


وَلَا تُمْسِكُوْهُنَّ ضِرَارًا لِّتَعْتَدُوْاۚ وَمَنْ يَّفْعَلْ ذٰلِكَ فَقَدْ ظَلَمَ نَفْسَهٗۗ


wa lâ tumsikûhunna dlirâral lita‘tadû, wa may yaf‘al dzâlika fa qad dhalama nafsah, 


Artinya, “Janganlah kamu menahan (rujuk) mereka untuk memberi kemudaratan sehingga kamu melampaui batas. Siapa yang melakukan demikian, dia sungguh telah menzalimi dirinya sendiri.” (QS. Al-Baqarah: 231)


Menurut Syekh Wahbah, frasa ‘tasrih’ memiliki dua makna. Pertama, membiarkan istri hingga habis masa ‘iddah setelah talak kedua, yang berarti istri memiliki hak lebih besar atas dirinya. Ini adalah pandangan as-Suddi dan adh-Dhahak. Kedua, memberikan talak untuk ketiga kalinya, yang menyebabkan istri terlepas sepenuhnya dari ikatan suami. Ini adalah pendapat Mujahid, Atha', dan lainnya.


Pendapat kedua mengenai makna 'tasrih' dianggap lebih tepat karena tiga alasan yang dijelaskan oleh Imam al-Qurthubi. Pertama, ada sebuah hadits yang diriwayatkan oleh ad-Daraquthni dari Anas, yang mengisahkan seorang lelaki bertanya kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah, Allah telah berfirman bahwa talak yang dapat dirujuk itu hanya dua kali, namun mengapa ada tiga jatah talak?” Rasulullah menjelaskan bahwa talak yang ketiga adalah berupa imsaakun bi ma'rufin (menahan istri dengan baik) atau tasrih bi ihsan (memberikan talak dengan kebaikan). 


Kedua, 'tasrih' adalah salah satu lafaz talak. Ketiga, bentuk kata فعلّ (tafa‘ala) menunjukkan bahwa pelaku melakukan tindakan yang merupakan pengulangan dari talak kedua, sedangkan tindakan ‘membiarkan istri sampai masa ‘iddah-nya habis’ bukanlah perbuatan baru yang dapat diungkapkan dengan bentuk taf’il.

Ibnu Abdil Barr berkata, para ulama ber-ijma’ bahwa firman-Nya أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسانٍ adalah talak ketiga, sesudah dua talak sebelumnya, dan itulah yang dimaksud Allah dengan firman-Nya, 


فَإِنْ طَلَّقَها فَلا تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ


Artinya: “Kemudian jika dia mencerakannya (setelah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya sebelum dia menikah dengan suami yang lain...” (QS. Al-Baqarah: 230) (hlm. 354)


Dari semua paparan di atas, kita dapat memahami bahwa surat Al-Baqarah ayat 231 mengandung bahasan utama mengenai cara yang harus dilakukan oleh suami yang telah menjatuhkan talak kepada istrinya, sebagai penjelasan atas ayat-ayat sebelumnya. Wallahu a'lam.

 

M. Ryan Romadhon, Alumni Ma’had Aly Al-Iman Bulus, Purworejo, Jawa Tengah.