Dalam realitas kehidupan berkeluarga dan rumah tangga, perceraian kerap menjadi pintu terakhir yang harus ditempuh ketika pernikahan tak lagi bisa dipertahankan. Namun, berakhirnya ikatan suami istri tidak serta-merta mengakhiri tanggung jawab sebagai orang tua. Di titik inilah pembahasan mengenai ketentuan hak asuh anak (hadhanah) menjadi penting dan kompleks. Siapa yang paling berhak mengasuh anak setelah perceraian? Apakah ibu atau ayah?
Hadhanah sendiri dapat diartikan sebagai pengasuhan anak. Dalam kitab Fathul Qarib, dijelaskan:
وهي لغة مأخوذة من الحضن بكسر الحاء، وهو الجنب لضم الحاضنة الطفل إليه، وشرعا حفظ من لا يستقل بأمر نفسه عما يؤذيه لعدم تمييزه
Artinya: “Hadhanah secara bahasa merupakan derivasi dari kata al-hidhnu dengan ha’ dibaca kasrah yang berarti lambung. Dinamakan demikian lantaran perempuan yang mengasuh mendekap anak kecil mendekati lambungnya. Secara terminologi syariat, hadhanah adalah melindungi orang yang masih belum mandiri dari segala hal yang dapat menyakitinya disebabkan karena ia belum tamyiz.” (Muhammad bin Qasim al-Ghazi, Fathul Qarib, [Indonesia: Darul Kitab al-Islami, t.th.] hal. 49)
Baca Juga
7 Syarat Hak Asuh Anak dalam Hukum Islam
Dari definisi di atas, hadhanah didefinisikan sebagai hak dan tanggung jawab untuk mengasuh, merawat, dan mendidik anak yang belum mampu mengurus dirinya sendiri. Dalam hal ini, objek hadhanah adalah anak kecil yang masih belum mumayyiz atau orang berkebutuhan khusus yang tidak mampu mengurusi dirinya sendiri. Selain memerlukan perawatan, mereka (terutama anak kecil) juga memerlukan kasih sayang dalam masa pertumbuhannya agar nanti terbentuk mental dan kepribadian yang baik.
Anak yang belum mumayyiz masih rentan secara fisik dan mental. Ia memerlukan sosok yang benar-benar merawat dan memberikan pendidikan yang baik untuk tumbuh kembangnya. Maka dari itu, hak hadhanah ini hanya berlaku sampai anak usia tamyiz. Setelah itu, sang anak diberikan kebebasan untuk memilih hendak ikut ibu atau ayah.
Karena pertimbangan di atas tadi, ulama berpendapat bahwa seorang perempuan adalah orang yang paling berhak terhadap hak asuh anak. Selain karena memiliki rasa kasih sayang yang lebih besar daripada laki-laki, ia juga lebih peka dan sabar dalam mengurusi anak. Dalam hal ini, ibu adalah sosok yang yang harus diprioritaskan ketika misalnya terjadi sengketa dalam hal pengasuhan anak.
Selain karena alasan tersebut, sengketa mengenai hak asuh anak juga pernah terjadi pada masa Rasulullah saw. Dalam hadis riwayat Abu Dawud dari Sahabat Abdullah bin Umar, dikatakan,
أَنَّ امْرَأَةً قَالَتْ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّ ابْنِي هَذَا كَانَ بَطْنِي لَهُ وِعَاءً، وَثَدْيِي لَهُ سِقَاءً، وَحِجْرِي لَهُ حِوَاءً، وَإِنَّ أَبَاهُ طَلَّقَنِي، وَأَرَادَ أَنْ يَنْتَزِعَهُ مِنِّي، فَقَالَ لَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «أَنْتِ أَحَقُّ بِهِ مَا لَمْ تَنْكِحِي
Artinya: “Sesungguhnya seorang perempuan berkata: Wahai Rasulullah sesungguhnya anaku ini perutku adalah tempatnya, payudaraku adalah wadah minumnya, dan kamarku adalah rumahnya. Sementara itu, ayahnya telah menceraikanku dan ingin mengambilnya dariku. Rasulullah saw bersabda kepada wanita itu: ‘Kamu lebih berhak terhadap anak itu selama kamu belum menikah (lagi)’.” (HR. Abu Dawud.)
Berdasarkan hadits di atas, ulama menyimpulkan bahwa ibu adalah orang yang paling berhak untuk mengasuh dan merawat anak ketika dalam kehidupan rumah tangga terjadi perceraian. Kasih sayang ibu serta kebutuhan anak terhadap ASI menjadi alasan utama mengapa ibu diprioritaskan untuk merawat anak.
Dalam Kitab Al-Fiqhul Manhaji, dijelaskan bahwa setidaknya ada dua alasan seorang ibu lebih diprioritaskan dalam hal ini. Dikatakan bahwa:
إن الأم أحق بالحضانة من الأب، للأسباب التالية: (١) لوفور شفقتها، وصبرها على أعباء الرعاية والتربية. (٢) لأنها ألين بحضانة الأطفال، ورعايتهم، وأقدر على بذل ما يحتاجون إليه من العاطفة والحنو
Artinya: “Sesungguhnya, ibu lebih berhad daripada bapak dalam urusan hak asuh karena beberapa faktor berikut: [1] Karena sempurnanya rasa kasih sayang seorang ibu dan kesabarannya dalam menghadapi ujian ketika memberikan perawatan dan pendidikan. [2] Karena ibu lebih lemah lembut ketika mengasuh dan merawat anak kecil, serta lebih proporsional untuk memberikan rasa sayang kepada mereka.” (Musthafa Khin, dkk, Al-Fiqhul Manhaji, [Damaskus: Darul Qalam, 1992], juz IV, hal. 192)
Meski seorang ibu adalah sosok yang paling berhak atas hak asuh anak, akan tetapi hal tersebut tidak berlaku secara mutlak. Ada beberapa kriteria yang harus dimiliki oleh orang yang ingin mengasuh, sehingga bila kriteria-kriteria tersebut tidak terpenuhi hak asuhnya akan gugur.
Dalam Kitab Matn Taqrib, dijelaskan beberapa syarat atau kriteria seorang pengasuh adalah sebagai berikut,
وشرائط الحضانة سبع العقل والحرية والدين والعفة والأمانة والإقامة والخلو من زوج فإن اختل منها شرط سقطت
Artinya: “Syarat-syarat Hadhanah ada tujuh; berakal, merdeka, beragama islam, terjaga dari dosa besar, amanah, menetap/mukim, tidak memiliki suami (dari laki-laki yang bukan kerabat dekat anak). Jika salah satu dari syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi mak hak asuhnya gugur.” (Abi Syuja’, Al-Taqrib, [Indonesia: Darul Kitab al-Islami, t.th.] hal. 49)
Penetapan syarat di atas bertujuan agar anak mendapatkan pengasuhan yang baik. Meskipun seorang ibu, jika ia mengalami gangguan fisik atau mental, dikhawatirkan hak-hak anak untuk mendapat perawatan dengan baik tidak terealisasi.
Begitu pula jika seorang ibu sudah menikah lagi dengan lelaki lain, hak asuhnya terhadap anak menjadi gugur. Dengan statusnya sebagai istri orang lain, hal tersebut akan menjadi penghambat untuk memberikan perawatan dan pengasuhan dengan maksimal terhadap anak.
Dalam aturan negara, ketentuan mengenai hak asuh anak apabila suami istri bercerai diatur dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 105. Dalam pasal tersebut, dijelaskan bahwa apabila terjadi perceraian, hak asuh anak yang belum tamyiz atau belum berusia 12 tahun diserahkan kepada ibunya. Jika anak tersebut sudah tamyiz, sang anak diberikan hak untuk memilih antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak asuh.
Dari paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa selama anak belum mencapai usia tamyiz maka hak asuh anak diserahkan kepada ibu. Hal ini karena memandang anak usia tersebut masih rentan dan butuh kasih sayang seorang ibu. Ditambah lagi, sifat lemah lembut dan rasa penyayang yang dimiliki oleh seorang ibu menjadi faktor utama ia lebih diprioritaskan daripada ayah dalam hal ini. Wallahu a’lam.
Muhammad Zainul Mujahid, Alumnus Ma’had Aly Salafiyah Syafi’iyah Situbondo.