Bahtsul Masail

Air Kurang Dua Kulah yang Bisa Digunakan untuk Bersuci

Jum, 20 Oktober 2023 | 14:00 WIB

Air Kurang Dua Kulah yang Bisa Digunakan untuk Bersuci

Ilustrasi air. (Foto: NU Online/Freepik)

Assalamualaikum wr wb 
Yth. Redaksi. Sebelumnya mohon maaf saya ingin bertanya. Seandainya ada air kurang dari dua kulah, belum diketahui ada najis atau tidaknya, bagaimana cara mengetahuinya. Apakah sah untuk mandi junub atau wudhu atau mencuci (buang najis)? Terimakasih sebelumnya.

 

Jawaban

 

Wassalamu’alaikum wr wb.

Penanya yang terhormat, sebagaimana yang kita ketahui bahwa sarana bersuci paling utama adalah air, terlebih untuk wudhu dan mandi junub. Keduanya bisa membuat kita suci dari hadats kecil dan besar yang mana hal itu menjadi syarat sah ibadah shalat. Kewajiban tersebut disebutkan Allah dalam surat Al-Ma'idah Ayat 6:

 

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ ۚ وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا ۚ 

 

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu berdiri hendak melaksanakan salat, maka basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai ke siku serta usaplah kepalamu dan (basuh) kedua kakimu sampai kedua mata kaki. Jika kamu dalam keadaan junub, mandilah.”

 

Air yang dapat digunakan untuk bersuci adalah air yang suci (thahir) dan juga mensucikan (muthahhir), yaitu air mutlak. Mutlak di sini maknanya adalah air yang masih murni, belum tercampur dengan sesuatu. Syekh Abu Syuja’ menjelaskan:

 

طاهر مطهر غير مكروه وهو الماء المطلق

 

Artinya, “Air yang suci dan dapat mensucikan, penggunannya tidak makruh, itulah air mutlak.” (Musthafa Dib al-Bugha, al-Tadzhib fi Adillah al-Taqrib, [Beirut: Dar Ibn Katsir, 1989], hal. 11).

 

Sejatinya, air yang digunakan untuk bersuci tidak dituntut harus dalam volume dua kulah apabila diyakini tidak terkena najis. Adapun ‘air najis’ dalam istilah ilmu fiqih, yaitu air yang terkena najis dan volume airnya kurang dari dua kulah atau air yang berukuran dua kulah namun berubah setelah terkena najis.

 

Pada poin ‘berubah’ inilah air dua kulah yang terkena najis tidak dapat digunakan bersuci. Syekh Abu Syuja’ mengatakan:

 

وماء نجس وهو الذي حلت فيه نجاسة، وهو دون القلتين، أو كان قلتين فتغير

 

Artinya: “Air najis adalah air yang kurang dari dua kulah dan terkena najis atau air dua kulah namun berubah.” (Musthafa Dib al-Bugha, al-Tadzhib fi Adillah al-Taqrib, hal. 12).

 

Syekh Mushtafa Dib dalam al-Tadzhib menyebut, semua ulama di dunia ini sepakat dan mengeluarkan ijmak bahwa air sedikit atau pun banyak, apabila terkena najis kemudian berubah rasa, warna dan baunya maka air tersebut menjadi najis dan tidak dapat digunakan untuk berwudhu. (Musthafa Dib al-Bugha, al-Tadzhib fi Adillah al-Taqrib, hal. 12).

 

Dari keterangan tersebut, ada tiga standar yang dapat digunakan dalam mengukur apakah air yang akan kita gunakan merupakan air yang suci atau tidak, yaitu perubahan pada warna, rasa dan juga baunya.

 

Air mutlak yang sedikit (kurang dua kulah) bisa digunakan untuk bersuci dengan catatan airnya tidak terkena najis. Jika air tersebut terkena najis maka tidak bisa digunakan untuk bersuci, meskipun warna, rasa, dan baunya tidak berubah. Sementara air yang banyak (dua kulah atau lebih) walaupun terkena najis tetap bisa digunakan untuk bersuci asalkan air tersebut tidak berubah pada warna, rasa, dan baunya.

 

Hal ini sebagaimana disebutkan oleh Syekh Nawawi al-Bantani dalam Kasyifah al-Saja syarh Safinah al-Naja halaman 50:

 

(القليل) حكمه (يتنجس بوقوع النجاسة) المنجسة يقيناً (فيه وإن لم يتغير)

 

Artinya: “Air sedikit hukumnya menjadi mutanajis karena terkena najis secara pasti, meskipun airnya tidak berubah.”

 

Selain itu, Abu Ishaq al-Syarazi menjelaskan juga dalam al-Muhadzdzab:

 

إذَا تَيَقَّنَ طَهَارَةَ الْمَاءِ وَشَكَّ فِي نَجَاسَتِهِ تَوَضَّأَ بِهِ لِأَنَّ الْأَصْلَ بَقَاؤُهُ عَلَى الطَّهَارَةِ وَإِنْ تَيَقَّنَ نَجَاسَتَهُ وَشَكَّ فِي طَهَارَتِهِ لَمْ يَتَوَضَّأْ بِهِ لِأَنَّ الْأَصْلَ بَقَاؤُهُ عَلَى النَّجَاسَةِ وَإِنْ لَمْ يَتَيَقَّنْ طَهَارَتَهُ وَلَا نَجَاسَتَهُ تَوَضَّأَ به لان الاصل طهارته

 

Artinya: “Bila seseorang meyakini pada sucinya air dan meragukan kenajisannya maka ia bisa berwudlu dengan air itu karena hukum asal air adalah tetap pada kesuciannya. Bila ia meyakini najisnya air dan meragukan kesuciannya, maka ia tidak bisa berwudlu dengan air itu karena hukum asalnya adalah tetap pada kenajisannya. Sedangkan bila ia tidak meyakini suci dan najisnya air maka ia bisa berwudlu dengan air tersebut karena hukum asal air itu adalah suci." (Abu Ishak As-Syairazi, Al-Muhadzdzab, (Beirut: Darul Fikr, t.t), juz 1, hal. 167).

 

Dengan demikian, cara untuk mengetahui air tersebut suci atau tidak adalah dengan memeriksa ketiga unsur, yaitu warna, rasa, dan bau. Selanjutnya, air suci yang kurang dari dua kulah selama belum berubah rasa, warna serta baunya dapat digunakan untuk bersuci asalkan yakin dengan kesucian air tersebut. Wallahu a’lam.

 

Amien Nurhakim, Musyrif Darus-Sunnah International Institute for Hadith Sciences.