Bahtsul Masail

Bagaimana Hukum Ikut Kegiatan Keagamaan Bersama Pacar?

Sel, 30 Januari 2024 | 15:00 WIB

Bagaimana Hukum Ikut Kegiatan Keagamaan Bersama Pacar?

Bahtsul masa'il. (Foto: NU Online/Freepik)

Assalamu'alaikum Wr Wb

Yth. Redaksi Bahtsul Masail NU Online 

Mohon izin bertanya, akhir-akhir ini saya seringkali melihat teman, tetangga, maupun orang lain di sekitar saya gemar mengikuti majelis zikir maupun melaksanakan amaliah-amaliah seperti ziarah kubur. Namun ada dari mereka melakukan kegiatan tersebut bersama pacar atau pasangan yang belum halal.
 

Pertanyaan saya: "Bagaimana hukum mengikuti majelis zikir serta ziarah kubur bersama pacar? Apakah hal tersebut dapat dikatakan sebagai suatu perbuatan yang baik, atau termasuk kegiatan yang menggunakan agama sebagai kedok untuk berpacaran? Apakah ia tetap memperoleh pahala atas amalan yang dilakukan, atau bahkan mendapatkan dosa karena ia melakukan pacaran?. Terima kasih


Jawaban:


Wa’alaikumussalam Wr Wb

Terimakasih atas pertanyaannya dan semoga penanya selalu berada dalam lindungan Allah ta’ala. 


Sebagaimana yang kita tahu bahwa istilah pacaran boleh atau tidaknya tergantung makna yang dimaksud. Apabila pacaran yang dimaksud berupa tindakan-tindakan yang dilarang dalam syara’, maka jelas tidak boleh.


Pacaran dengan maksud berkhalwat dengan lawan jenis tentu dilarang oleh Islam, sebab ia mengarah kepada perbuatan zina. Allah berfirman dalam surat al-Isra’ ayat 32:


وَلاَ تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلاً 


Artinya: “Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk” (QS Al-Isra: 32).


Ayat di atas jelas sekali melarang tindakan-tindakan yang mendekati zina. Dalam hal ini, pacaran yang maknanya adalah melakukan tindakan yang dilarang syara’ berupa berkhalwat dengan lawan jenis maka hukumya adalah haram dan dilarang oleh Islam.


Senada dengan ayat tersebut, Rasulullah menegaskan dalam haditsnya:


عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِي اللهُ عَنْهُ أَنَّهُ سَمِعَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ وَلاَ تُسَافِرَنَّ امْرَأَةٌ إِلاَّ وَمَعَهَا مَحْرَمٌ


Artinya: “Dari Ibnu Abbas ra. ia berkata: Aku mendengar Rasulullah saw berkhutbah, ia berkata: Jangan sekali-kali seorang laki-laki berkhalwat dengan seorang perempuan kecuali beserta ada mahramnya, dan janganlah seorang perempuan melakukan musafir kecuali beserta ada mahramnya.” (HR Al-Bukhari).


Hanya saja, apabila pacaran yang dimaksud adalah mengenal si perempuan (ta’aruf) dalam rangka khitbah dengan ditemani orang lain dan melihat hanya kepada wajah dan tangan, sebagaimana para fuqaha membolehkannya. Syekh Mushtafa Dib mengatakan:


النظر لاجل النكاح فيجوز الى الوجه والكفين  


Artinya: “Melihat [perempuan] dengan tujuan menikah diperbolehkan dengan memandang muka dan telapak tangannya.” (Syekh Mushtafa Dib, At-Tahdzib fi Adillati Matnil Ghayah wat Taqrib, [Beirut: Dar Ibn Katsir, 1989], jilid I, hal. 161).


Dalam konteks penanya, kita harus memisahkan dua hal antara aktivitas keagamaan dan aktivitas berduaan dengan lawan jenis. Adapun ziarah dan mengikuti majelis yang di dalamnya ada pengajaran agama, nasihat-nasihat yang bermanfaat, maka sangat dianjurkan.


Hanya saja, ziarah kubur dan pergi ke majelis bersama non-mahramnya dengan tujuan pacaran bermesra-mesraan, berkhalwat dan bersentuhan kulit serta tindakan lain sejenisnya ketika aktivitas tersebut berlangsung maka tentu tidak diperbolehkan oleh syara’.


Hal ini dapat didekatkan dengan kasus laki-laki yang shalat berjamaah dengan perempuan yang ajnabi atau bukan mahramnya. Shalat jamaah tersebut dihukumi makruh sebab adanya khalwat atau berduaan lawan jenis. Imam an-Nawawi mengatakan:


وَيُكْرَهُ أَنْ يُصَلِّيَ الرَّجُلُ بِامْرَأَةٍ أَجْنَبِيَّةٍ لِمَا رَوَي أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم قَالَ لَا يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ فَإِنَّ ثَالِثَهُمَا الشَّيْطَانُ 


Artinya: “Makruh hukumnya seorang laki-laki shalat dengan seorang perempuan ajnabiyyah dengan landasan sabda Nabi SAW, ‘Jangan sekali-kali seorang laki-laki berkhalwat dengan perempuan karena yang ketiga di antara mereka adalah setan,” (Imam an-Nawawi, al-Majmu’, [Beirut: Darul Fikr, t.t.], jilid IV, hal. 278).


Hukum makruh dalam hal shalat jamaah bersama seorang perempuan yang non-mahram sebagaimana disebut di atas adalah makruh tahrim menurut Imam an-Nawawi. Makruh tahrim sendiri statusnya adalah sama dengan haram. Imam an-Nawawi berkata:


اَلْمُرَادُ بِالْكَرَاهَةِ كَرَاهَةُ تَحْرِيمِ هَذَا إِذَا خَلَا بِهَا


Artinya: “Yang dimaksud makruh [dalam kasus shalat jamaah di atas] adalah makruh tahrim. Hal ini apabila si laki-laki tersebut berduaan dengan seorang perempuan yang bukan mahramnya,” (Imam an-Nawawi, al-Majmu’, jilid IV, hal. 278).


Kegiatan majelis atau taklim dan ziarah kubur bersama pacar kadangkala tidak terlepas dari persentuhan lawan jenis, sedangkan persentuhan lawan jenis yang disertai syahwat hukumnya haram. Keterangan ini sebagaimana mengutip pendapat Imam an-Nawawi:


ومن حرمت مباشرته في الفرج بحكم الزنا أو اللواط حرمت مباشرته فيما دون الفرج بشهوة


Artinya: “Siapapun perempuan yang diharamkan bersetubuh dengannya dan dihukumi zina atau liwath, maka haram pula menyentuh selain kemaluannya dengan syahwat.” (Imam an-Nawawi, al-Majmu’, jilid IV, hal. 278).


Dengan demikian, kegiatan pergi ke majelis dan berziarah dengan pacar dalam konteks ini tentu tidak dianjurkan, sebab khawatir adanya khalwat si laki-laki dengan pacarnya, meskipun aktivitas pergi majelis dan ziarah kubur dianjurkan dalam agama.


Selanjutnya, apakah mengikuti kegiatan keagamaan semacam mengikuti majelis dan berziarah kubur bersama pacar hanya menjadi kedok bagi si pelaku untuk terlihat baik di mata pasangannya? Tentunya hal semacam ini kembali kepada niat, karena kami tidak dapat memprediksinya begitu saja.


Selanjutnya, apakah kegiatan seperti di atas mendapatkan pahala atau mendapatkan dosa? Jawaban kami tentu saja pahala dan dosa merupakan hak prerogatif Allah terhadap perbuatan yang dilakukan oleh hamba-hamba-Nya.


Hanya saja, sepertinya kasus mengikuti kegiatan yang dianjurkan dalam Islam, seperti halnya pergi ke majelis dan ziarah kubur namun dibarengi dengan perbuatan yang dilarang seperti berpacaran dan lain sejenisnya, tampak hal ini bagi kami serupa dengan orang yang shalat dengan baju hasil curian.


Seseorang yang shalat dengan baju hasil mencuri, maka shalatnya hukumnya haram, namun tetap sah selama shalatnya memenuhi rukun dan syarat. Akan tetapi di waktu yang sama ia juga tetap berdosa karena mencuri baju. Hal ini sebagaimana keterangan dalam I’anah Thalibin:


وتحرم الصلاة .... في أرض مغصوبة وتصح بلا ثواب كما في ثوب مغصوب أى فإنها تحرم فيه مع صحتها بلا ثواب


Artinya: “Haram shalat ... di tanah hasil mencuri, sedangkan shalatnya sah tanpa pahala, sebagaimana orang yang shalat dengan baju hasil mencuri. Maksudnya, shalatnya haram, namun sah tanpa mendapat pahala.” (Sayyid Abu Bakri Syatha, I’anah Thalibin, [Beirut: Darul Fikr, t.t.], jilid I, hal. 227).


Demikianlah jawaban yang dapat kami sampaikan kepada penanya. Semoga cukup menjawab dan kami memohon maaf apabila ada jawaban yang masih kurang menjawab dan detail. Wallahu a’lam


Ustadz Amien Nurhakim, Musyrif Pesantren Ilmu Hadits Darus-Sunnah