Bahtsul Masail

Hukum Anak Menyanggah Pandangan Kedua Orang Tua

Sel, 11 September 2018 | 11:15 WIB

Hukum Anak Menyanggah Pandangan Kedua Orang Tua

(Foto: pinterest)

Assalamu ‘alaikum wr. wb.
Redaksi Bahtsul Masail NU Online, saya ingin bertanya. Saya sering kali berseberangan pandangan dengan ibu saya terutama dalam beberapa soal penting dalam hidup pribadi saya. Saya memiliki pandangan berbeda karena lebih memahami liku-liku persoalan yang tidak dimengerti oleh ibu saya. Pertanyaan saya, bolehkah saya mendebat ibu saya untuk sekadar menjelaskan inti persoalan? Mohon penjelasan. Terima kasih. Wassalamu ‘alaikum wr. wb. (hamba Allah/Semarang)

Jawaban
Assalamu ‘alaikum wr. wb.
Penanya yang budiman, semoga Allah SWT menurunkan rahmat-Nya untuk kita semua. Diskusi anak dan orang tua merupakan sebuah keniscayaan dan bentuk keharmonisan hubungan keduanya. Diskusi untuk mengatasi satu hal terkadang memiliki titik temu dan kadang berseberangan.

Kadang dengan ukuran-ukuran tertentu, anak melihat pandangan orang tuanya berada di jalan yang keliru. Di sini anak memiliki pandangan yang berseberangan dengan orang tuanya. Kedua pihak sering kali mempertahankan dengan gigih pendapatnya, bahkan tidak jarang orang tua memaksakan pendapatnya.

Ketika ingin meluruskan duduk persoalan dan kekeliruan pandangan orang tua, anak sering kali berhadapan dan berbenturan dengan norma sosial di masyarakat Indonesia bahwa ucapan orang tua tidak boleh dibantah, anak harus mengikuti omongan orang tua, dan membantah orang tua sama dengan melawan orang tua yang artinya durhaka, sebuah sikap tercela menurut agama dan norma sosial.

Syekh M Ibrahim Al-Baijuri mengatakan bahwa upaya menjelaskan atau meluruskan masalah meskipun dari anak terhadap orang tua merupakan tindakan terpuji menurut syariat. Kalau pun meminjam istilah durhaka terhadap orang tua, maka tindakan anak terhadap kedua orang tuanya ini merupakan “durhaka terpuji.”

وأما إذا كان لإحقاق حق وإبطال باطل أي لإظهار حقيقة الحق وإظهار بطلان الباطل فممدوح شرعا ولو من ولد لوالده فيكون عقوقا محمودا

Artinya, “Adapun bila itu bersifat mengungkapkan yang hak dan menyatakan kebatilan, yaitu menjelaskan hakikat yang hak dan menjelaskan kebatilan sesuatu yang batil, maka itu terpuji menurut syariat, sekali pun itu dilakukan oleh anak terhadap kedua orang tuanya, maka itu terbilang ‘durhaka’ yang terpuji,” (Lihat Syekh M Ibrahim Al-Baijuri, Syarah Tuhfatul Murid ala Jauharatut Tauhid, [Indonesia, Daru Ihyail Kutubil Arabiyyah: tanpa catatan tahun] halaman 124).

Tindakan berdebat, menyanggah, membantah, mengkritik, meluruskan, menjelaskan duduk perkara, atau menyatakan yang hak, dan memisahkannya dari yang batil menjadi tercela menurut agama kalau berisi konten yang merendahkan orang lain dan mengangkat diri kita. Ini membuat tindakan tersebut menjadi tercela sebagaimana keterangan berikut ini:

كالمراء) هو لغة الاستخراج يقال ما روى فلان فلانا إذا استخرج ما عنده وعرفا منازعة الغير فيما يدعي صوابه ومحل كونه مذموما إذا كان لتحقير غيرك وإظهار مزيتك عليه

Artinya, “[Jauhi tindakan tercela] (seperti berdebat), secara bahasa artinya mengeluarkan sebagaimana kalimat, ‘Fulan mengeluarkan fulan,’ yaitu ketika si fulan meminta mengeluarkan sesuatu yang ada pada fulan. Secara adat, debat itu berselisih [debat atau sanggah] orang lain perihal sesuatu yang didakwakan kebenarannya. Tindakan ini menjadi tercela karena terletak pada sikap meremehkan orang lain dan menyatakan keistimewaan kita atas orang lain itu” (Lihat Syekh M Ibrahim Al-Baijuri, Syarah Tuhfatul Murid ala Jauharatut Tauhid, [Indonesia, Daru Ihyail Kutubil Arabiyyah: tanpa catatan tahun] halaman 124).

Kita harus hati-hati melihat persoalan ini karena selama ini perbedaan sikap durhaka (melawan orang tua) dan upaya mendudukkan persoalan secara proporsional oleh anak sangat tipis di masyarakat.

Kalau kembali ke masalah awal, maka yang perlu diberikan catatan adalah bahwa tindakan anak meluruskan pandangan orang tua tidak menyalahi norma sosial dan norma agama seperti durhaka, melawan orang tua, tidak sopan, su’ul adab, dan seterusnya.

Dengan kata lain, tindakan anak meluruskan pandangan orang tua boleh menurut agama.

Upaya menjelaskan persoalan dan menegaskan sikap anak terhadap orang tua harus dibedakan dari tindakan durhaka. Upaya penjelasan atau meluruskan itu juga harus melalui ukuran-ukuran tertentu yang mendekati kebenaran dan kemaslahatan.

Kami menyarankan upaya penjelasan yang dilakukan oleh anak terhadap orang tua mengenai sebuah hal harus dilakukan dengan cara yang santun, disampaikan secera teratur dan rapi, serta mencari “waktu” atau situasi yang tepat agar pengertian yang baik antara kedua pihak tercipta.

Kami juga menyarankan masing-masing pihak untuk menghargai pandangan pihak lain tanpa ada yang merasa direndahkan salah satunya. Kami juga menyarankan masing-masing pihak untuk menahan diri dari memaksakan kehendak terhadap pihak lain.

Demikian jawaban singkat kami. Semoga bisa dipahami dengan baik. Kami selalu terbuka dalam menerima kritik dan saran dari para pembaca.

Wallahul muwaffiq ila aqwathih thariq,
Wassalamu ’alaikum wr. wb.


(Alhafiz Kurniawan)