Bahtsul Masail

Hukum Cangkok Mata

Sel, 8 Desember 2020 | 05:00 WIB

Hukum Cangkok Mata

Pembahasan terkait cangkok mata pernah diangkat pada Munas NU 1981 di Yogyakarta. Peserta forum mengemukakan perbedaan pendapat di kalangan ulama perihal hukum cangkok mata.

Assalamu ‘alaikum wr. wb.

Redaksi NU Online, perkembangan dunia medis sudah sampai pada pencangkokan mata di mana orang hidup dapat memperbaiki penglihatannya dengan pencangkokan mata dari orang lain. Mohon penjelasan dari NU terkait praktik pencangkokan mata tersebut? Terima kasih. Wassalamu 'alaikum wr. wb. (Saidjo/M Guntur/Pondok Pinang-Kebayoran Lama-Jaksel)


Jawaban

Wassalamu ‘alaikum wr. wb.


Penanya dan pembaca yang budiman. Semoga Allah memberikan rahmat-Nya kepada kita semua. Pembahasan terkait cangkok mata pernah diangkat pada Munas NU 1981 di Yogyakarta. Peserta forum mengemukakan perbedaan pendapat di kalangan ulama perihal hukum cangkok mata.


Para kiai saat itu memahami “Transplantansi-kornea atau cangkok mata ialah mengganti selaput mata seseorang dengan selaput mata orang lain atau kalau mungkin dengan selaput mata binatang. Jadi yang diganti hanya selaputnya saja, bukan bola mata seluruhnya.” (PBNU, Ahkamul Fuqaha, [Surabaya, Kalista-LTN PBNU: 2011 M], halaman 372).


Adapun untuk mendapatkan kornea/selaput mata, putusan forum Munas NU 1981 M, ialah dengan cara mengambil bola mata seluruhnya dari orang yang sudah mati. Bola mata itu kemudian dirawat baik-baik dan mempunyai kekuatan paling lama 72 jam (tiga hari tiga malam). Sangat tipis sekali dapat dihasilkan cangkok kornea dari binatang. (PBNU, 2011 M: 372).


Forum Munas NU mengangkat ulama yang mengharamkan dan membolehkan cangkok mata. Ulama pertama menyatakan “Haram, walaupun mayit itu tidak terhormat seperti mayitnya orang murtad. Demikian pula haram menyambung anggota manusia dengan anggota manusia lain, bahaya buta itu tidak sampai melebihi bahayanya merusak kehormatan mayit.”


Adapun ulama kedua menyatakan, “Boleh, disamakan dengan diperbolehkannya menambal dengan tulang manusia, asalkan memenuhi 4 syarat: (a) karena dibutuhkan, (b) tidak ditemukan selain dari anggota tubuh manusia, (c) mata yang diambil harus dari mayit yang muhaddaraddam, dan (d) antara yang diambil dan yang menerima harus ada persamaan agama.” . (PBNU, 2011 M: 372).


Ulama yang membolehkan antara lain mengutip keterangan pada Kitab Fathul Wahhab bi Syarh Manhajit Thullab karya Syekh Abu Zakariya Al-Anshari  


وَلَوْ وَصَلَ عَظْمَهُ) بِقَيْدٍ زِدْتُهُ بِقَوْلِي (لِحَاجَةٍ) إلَى وَصْلِهِ (بِنَجَسٍ) مِنْ عَظْمٍ (لَا يَصْلُحُ) لِلْوَصْلِ (غَيْرُهُ)  هُوَ أَوْلَى مِنْ قَوْلِهِ لِفَقْدِ الطَّاهِرِ (عُذِرَ) فِي ذَلِكَ فَتَصِحُّ صَلَاتُهُ مَعَهُ


Artinya, “(Dan bila seseorang menyambung tulangnya) dengan qayyid yang saya tambahkan, (karena butuh) menyambungnya, (dengan najis) maksudnya tulang najis, (yang tidak layak) dijadikan penyambung (tulang selainnya), dan redaksi tersebut lebih tepat dari redaksi An-Nawawi: ‘Karena tidak adanya tulang suci,’ (maka ia dianggap uzur) dalam hal tersebut, oleh sebab itu shalatnya tetap sah besertaan tulang najis tersebut –di tubuhnya-.” (Syekh Abu Zakaria Al-Anshari, Fathul Wahhab, [Mesir, Musthafa Al-Halabi: 1950 M), juz I, halaman 238-239).


Perbedaan pendapat ulama perihal cangkok mata dilatari oleh perbedaan cara pandang terhadap orang yang hidup dan orang yang sudah meninggal. Ulama yang mengharamkan cangkok mata memandang kehormatan orang yang sudah meninggal. Sedangkan ulama yang membolehkan cangkok mata melihat adanya hajat pada orang yang hidup atas penglihatan.


Demikian jawaban singkat kami, semoga bisa dipahami dengan baik. Kami selalu terbuka untuk menerima saran dan kritik dari para pembaca.


Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq,

Wassalamu ’alaikum wr. wb.


(Alhafiz Kurniawan)