Bahtsul Masail

Hukum Haji dengan Uang Haram

Sel, 6 September 2016 | 07:02 WIB

Assalamu ‘alaikum wr. wb.
Redaksi Bahtsul Masail NU Online yang kami hormati. Ibadah haji memerlukan kekuatan fisik dan perbekalan yang memadai. Banyak ongkos diperlukan bagi mereka yang mengikuti rangkaian ibadah haji. Terlebih lagi mereka yang berasal jauh dari masjidil haram, tentu biaya yang diperlukan semakin tinggi karena ongkos perjalanannya sudah mahal.

Yang saya tanyakan, bagaimana hukumnya kalau seseorang membiayai perbekalan dan ongkos hajinya dari pendapatan yang tidak halal? Atas penjelasannya kami ucapkan terima kasih. Wassalamu ‘alaikum wr. wb. (Mawardi/Gorontalo)

Jawaban
Assalamu ’alaikum wr. wb.
Penanya yang budiman, semoga Allah SWT menurunkan rahmat-Nya untuk kita semua. Haji merupakan ibadah maliyah dan badaniyah. Dalam jamaah haji harus berjalan saat thawaf, sai, melontar, dan berpindah-pindah lokasi manasik. Karenanya kesegaran tubuh kondisi yang fit, kekuatan fisik sangat diperlukan.

Selain itu kekuatan finansial juga sangat diperlukan. Karena dalam ibadah haji, jamaah memerlukan biaya transportasi, konsumsi, penginapan, dan biaya lain sebagainya. Lalu bagaimana dengan jamaah yang membiayai ongkos dan perbekalan hajinya dengan harta yang diperolehnya dari jalan yang haram? Sampai di sini ulama berbeda pendapat. Bagi madzhab Hanafi, Maliki, dan Syafi’i, haji yang dibiayai dengan harta yang haram tetap sah meskipun ia berdosa atas kesalahannya memperoleh harta haram itu sebagaimana kutipan berikut ini.

وَيَسْقُطُ فَرْضُ مَنْ حَجَّ بِمَالٍ حَرَامٍ ) كَمَغْصُوبٍ وَإِنْ كَانَ عَاصِيًا كَمَا فِي الصَّلَاةِ فِي مَغْصُوبٍ أَوْ ثَوْبِ حَرِير

Artinya, “(Gugurlah kewajiban orang yang berhaji dengan harta haram) seperti harta rampasan sekalipun ia bermaksiat. Sama halnya dengan shalat di tempat hasil rampasan atau mengenakan pakaian terbuat dari sutra,” (Lihat Abu Zakariya Al-Anshari, Asnal Mathalib, juz 6, halaman 51).

Syekh Abu Zakariya Al-Anshari secara tegas mengatakan bahwa jamaah yang membiayai hajinya dengan harta haram itu sama seperti orang yang bersembahyang dengan mengenakan pakaian hasil merampas atau sutra, pakaian yang diharamkan bagi pria. Artinya ibadah haji dan shalat orang yang bersangkutan tetap sah. Dengan demikian gugurlah tuntutan wajib ibadah dari orang tersebut.

Sementara madzhab Hanbali menyatakan bahwa ibadah haji yang dibiayai dengan harta yang haram tidak sah. Karenanya jamaah yang menunaikan ibadah haji dengan harta yang haram masih tetap berkewajiban untuk menunaikan ibadah haji di tahun-tahun  selanjutnya mengingat hajinya dengan harta haram itu tidak sah.

يستحب أن يحرص على مال حلال لينفقه في سفره فإن الله طيب لا يقبل إِلا طيباً ؛ وفي الخبر : ( مَنْ حَجَّ بمال حَرَامٍ إذا لَبَّى قيل له لا لَبَّيْكَ ولا سَعْدَيْكَ وحَجُّكَ مَرْدُودٌ عَلَيْكَ ) . ومن حج بمال مغصوب أجزأه الحج وإن كان عاصياً بالغصب ، وقال أحمد : لا يجزئه اه م د على التحرير

Artinya, “Seseorang dianjurkan untuk betul-betul mencari harta halal, agar ia dapat menggunakannya di masa perjalanannya. Karena sungguh Allah itu suci, tidak menerima kecuali yang suci. Di dalam hadits dikatakan, ‘Siapa berhaji dengan harta haram, kalau ia berkata ‘labbaik’, maka dijawab malaikat, ‘La labbaik, wala sa’daik, hajimu tertolak’.’ Karenanya siapa yang berhaji dengan harta haram, maka hajinya memadai sekalipun ia bermaksiat karena merampas. Sementara Imam Ahmad berkata, hajinya tidak cukup,” (Lihat Sulaiman Al-Bujairimi, Hasyiyatul Bujairimi alal Khatib, Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyah, 1996 M/1417 H, juz 3, halaman 181).

Kalangan Hanafi, maliki, dan syafi’i mengeluarkan argumentasi bahwa haji itu sendiri adalah kunjungan ke tempat-tempat istimewa dalam agama. Dan itu tidak dilarang. Yang dilarang agama itu adalah menggunakan harta yang haram itu seperti untuk keperluan haji.. jadi keduanya tidak berkaitan sama sekali. Sama halnya dengan orang sembahyang di tanah rampasan (hasil kezaliman). Sembahyangnya sendiri itu tetap sah. Tetapi menempati tanah yang diharamkan itu yang dilarang oleh agama. Karenanya ibadah haji atau shalat tidak bisa disifatkan haram. Meskipun gugur kewajiban ibadah itu, namun manasik haji tidak diterima dan tidak mendapatkan pahala dari Allah. Nasib manasik hajinya sama seperti orang sembahyang tetapi riya, atau berpuasa tetapi mengghibah. Semuanya tidak diganjar pahala. Demikian argumentasi yang diajukan Ibnu Abidin dalam Haysiyah Raddul Mukhtar, Beirut, Darul Fikr, 2000 M/1421 H, Juz 2 halaman 456).

Sementara madzhab Hanbali sepakat dengan jumhur ulama perihal penerimaan dan pahala. Mereka yang menunaikan ibadah haji dengan harta haram tidak menerima pahala. Sedangkan terkait keabsahan, madzhab Hanbali menyatakan bahwa haji yang dibiayai dengan harta haram tidak sah. Karenanya mereka harus mengulang hajinya pada tahun depan karena hajinya tahun ini tidak sah. Karena tidak bisa mencampurkan antara ibadah dengan hal-hal batil.

Berangkat dari penjelasan di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa haji maupun ibadah lainnya adalah perintah Allah yang harus dihormati. Artinya, pelaksanaannya pun harus dipersiapkan dan dijalankan dengan penuh takzim. Jangan sampai tercampur harta haram dalam pembiayaan haji. Karena Allah itu suci, tidak akan menerima apapun selain yang suci.

Menurut kami, pendapat madzhab Hanbali perlu dipelajari lebih lanjut dari sisi moralitas ibadah. Semangat Madzhab Hanbali bisa jadi mengantisipasi kemungkinan orang melakukan pencucian uang dengan menunaikan ibadah haji. Dengan demikian haji bukan hanya dipandang secara rangkaian upacara formal. Tetapi kebersihan harta sebagai penggerak manasik haji itu sendiri mesti dipastikan. Bukan asal berangkat haji.

Pandangan madzhab Hanbali bisa secara moral menghentikan kezaliman, suap, kecurangan, korupsi atau kejahatan umat Islam dalam menjalankan praktik bisnis, mengemban jabatan publik, atau menjalani kesehariannya sebagai pegawai negeri sipil, dan profesi lainnya.

Saran kami, berusahalah mencari rezeki sesuai pandangan fikih dan legal menurut hukum positif yang berlaku. Kumpulkanlah keuntungan Anda untuk keperluan biaya haji. Telitilah dalam menerima uang. Apakah uang itu “suci” atau tidak. Dan jaga kesehatan tubuh Anda karena ibadah haji juga membutuhkan kekuatan fisik.

Demikian jawaban yang dapat kami kemukakan. Semoga bisa dipahami dengan baik. Kami selalu terbuka untuk menerima saran dan kritik dari para pembaca.

Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq,
Wassalamu’alaikum wr. wb



(Alhafiz Kurniawan)