Bahtsul Masail

Hukum Melaksanakan Puasa Rajab Sekaligus Diniati Qadha Ramadhan 

Kam, 1 Februari 2024 | 20:00 WIB

Hukum Melaksanakan Puasa Rajab Sekaligus Diniati Qadha Ramadhan 

Ilustrasi puasa. (Foto: NU Online)

Pertanyaan:
 

Assalamu'alaikum Wr Wb
Yth. Redaksi Bahtsul Masail NU Online. Bagaimana hukum melaksanakan puasa sunnah Rajab sekaligus diniati qadha puasa Ramadhan?

 

Jawaban:

Wa’alaikumussalam Wr Wb. Terimakasih atas pertanyaannya dan semoga penanya selalu berada dalam lindungan Allah ta’ala. 

 

Hukum melaksanakan puasa sunnah Rajab sekaligus diniati qadha puasa Ramadhan terdapat perbedaan pendapat di antara ulama. Satu pendapat mengatakan boleh dan pendapat yang lain mengatakan sebaliknya alias tidak sah. Berikut kami jelaskan uraiannya:

 

Rajab merupakan salah satu dari empat bulan mulia dalam Islam (asyhurul hurum), menurut pendapat paling kuat, Rajab menduduki posisi ketiga sebagai bulan yang paling utama untuk melakukan puasa setelah bulan Ramadhan dan Muharam.

 

Dari segi urutan bulan Hijriah, Rajab merupakan bulan yang mendekati bulan Ramadhan, hanya terhalang oleh bulan Sya‘ban. Banyak orang yang punya tanggungan qadha puasa (terutama perempuan yang mengalami uzur haid) pada bulan Ramadhan sebelumnya, mulai mencicil qadha puasa Ramadhan agar tidak terkena sanksi membayar fidyah. 

 

Mengenai puasa Rajab yang digabungkan dengan qadha Ramadhan, ada hal yang perlu diperhatikan. Pertama, perlu dipahami bahwa puasa bulan Rajab dianjurkan karena termasuk dalam anjuran puasa di bulan-bulan mulia (asyhurul hurum). Syekh Ibnu Hajar dalam kitab Fatawi-nya menyebutkan:

 

رَوَى أَبُوْ دَاوُدَ أَنَّهُ صلى اللَّهُ عليه وسلم نَدَبَ الصَّوْمَ في الْأَشْهُرِ الْحُرُمِ وَرَجَبُ أَحَدُهَا

 

Artinya: “Abu Dawud meriwayatkan bahwa Rasulullah saw menganjurkan puasa di dalam bulan-bulan mulia, dan Rajab termasuk salah satunya.” (HR. Abu Dawud). (Ibnu Hajar Al-Haitami, Fatawil Fiqhiyyah Al-Kubro [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyah: 2018] juz II, halaman 23)

 

Selanjutnya, Syekh Zainuddin Al-Malibari menjelaskan dalam kitab Fathul Muin:

 

فَرْعٌ) أَفْضَلُ الشُّهُوْرِ لِلصَّوْمِ بَعْدَ رَمَضَانَ الْأَشْهُرُ الْحُرُمُ وَأَفْضَلُهَا الْمُحَرَّمُ ثُمَّ رَجَبُ ثُمَّ الْحِجَّةُ ثُمَّ الْقَعْدَةُ

 

Artinya: “(Cabang) bulan yang paling utama untuk puasa setelah Ramadhan adalah bulan-bulan mulia, dan yang paling utama adalah bulan Muharram, kemudian Rajab, kemudian Dzulhijjah kemudian Dzulqo’dah.” (Zainuddin Al-Malibari, Fathul Muin [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyah: 1998]  halaman 95)

 

Dari penjelasan tersebut, dapat dipahami bahwa puasa Rajab termasuk dari puasa yang disunnahkan dalam waktu tertentu, sebagaimana puasa tasu’a, asyura’ dan 6 hari Syawal. 

 

Kedua, bagaimana jika seseorang melakukan puasa wajib seperti qadha dan nadzar di bulan Rajab, apakah sekaligus mendapat pahala sunnah puasa Rajab? 

 

Sesuai dengan rincian pendapat yang ada dalam puasa tasu’a, asyura’, dan 6 hari Syawal, maka dalam permasalahan ini terdapat dua pendapat, sejumlah ulama muta’akhirin mengatakan kedua puasa tersebut (puasa sunnah Rajab dan qadha atau nadzar) dihukumi sah dan masing-masing mendapatkan pahala. 

 

Sementara itu, Imam An-Nawawi dalam kitab Al-Majmu‘ menyatakan jika puasa tersebut diniati dengan dua niat sekaligus (puasa sunnah Rajab dan qadha atau nadzar), maka tidak sah dan tentu tidak mendapatkan pahala. Pernyataan tersebut diungkap oleh Syekh Zainuddin Al-Malibari dalam kitab Fathul Muin (Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyah: 1998) halaman 95, sebagaimana berikut:

 

فَرْعٌ) أَفْتَى جَمْعٌ مُتَأَخِّرُوْنَ بِحُصُولِ ثَوَابِ عَرَفَةَ وَمَا بَعْدَهُ بِوُقُوْعِ صَوْمِ فَرْضٍ فِيْهَا خِلَافًا لِلْمَجْمُوْعِ وَتَبِعَهُ الْأَسْنَوِي فَقَالَ إِنْ نَوَاهُمَا لَمْ يَحْصُلْ لَهُ شَيْءٌ مِنْهُمَا قَالَ شَيْخُنَا كَشَيْخِهِ وَالَّذِي يَتَّجِهُ أَنَّ الْقَصْدَ وُجُوْدُ صَوْمٍ فِيْهَا فَهِيَ كَالتَّحِيَّةِ فَإِنْ نَوَى التَّطَوُّعَ أَيْضًا حَصَلَا وَإِلَّا سَقَطَ عَنْهُ الطَّلَبُ 

 

Artinya: “(Cabang) sejumlah Ulama Mutaakhkhirin mengeluarkan fatwa tentang diperolehnya pahala puasa ‘Arafah dan puasa sunnah berikutnya (seperti puasa tasu’a, asyura’ dan 6 hari Syawal) dengan melakukan puasa fardlu di dalamnya, berbeda dengan pendapat kitab Majmu’ dan diikuti oleh Al-Asnawi. Ia mengatakan, jika seseorang niat keduanya (puasa ‘Arafah dan puasa fardlu) maka keduanya tidak diperoleh (tidak sah). Pendapat guru kami, sebagaimana pendapat gurunya mengatakan, hal yang dikedepankan bahwa yang dimaksud adalah adanya puasa pada hari ‘Arafah, maka puasa ‘Arafah itu seperti shalat tahiyatul masjid, jika seseorang (dalam waktu yang sama) juga niat Sunnah (lain) maka keduanya mendapat pahala, jika tidak diniati, maka gugur anjurannya.”

 

Perbedaan pendapat ini terjadi karena adanya perbedaan sudut pandang, terutama dalam menilai puasa di bulan Rajab ini termasuk dianjurkan secara khusus atau yang penting melaksanakan puasa dalam waktu tersebut. 

 

Menurut ulama muta’akhirin, puasa ‘Arafah dan semisalnya itu yang penting melaksanakan puasa dalam waktu tersebut. Sebagaimana dalam shalat taḫiyatul masjid, hal yang penting adalah melaksanakan shalat setelah masuk masjid, bisa shalat dengan niat khusus taḫiyatul masjid atau dengan niat lain, seperti shalat sunnah qobliyah atau shalat fardlu.

 

Sedangkan pendapat Imam Nawawi menekankan bahwa puasa ‘Arafah dan semisalnya itu dianjurkan secara khusus dan tidak cukup dengan melakukan puasa lain, sebagaimana shalat sunnah rawatib, qobliyyah dan ba’diyyah yang harus dilakukan dengan niat khusus dan tidak cukup dengan menggabungkan niat bersama shalat lain. Mengingat hal tersebut, Imam Nawawi berpendapat bahwa hukum menggabungkan puasa Rajab dengan puasa fardlu adalah tidak sah. 

 

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa hukum melaksanakan puasa sunnah Rajab sekaligus diniati qadha puasa Ramadhan, terdapat dua pendapat. Pendapat pertama mengatakan sah dan secara otomatis mendapatkan dua pahala sekaligus, sedangkan pendapat kedua mengatakan tidak sah. Masing-masing dari dua pendapat ini dapat kita ikuti dan amalkan, karena perbedaan pendapat dalam persoalan furu’ fiqih itu dilegalkan dan menjadi rahmat, terlebih disampaikan oleh ulama mazhab terkemuka. Wallahu a’lam.

 

Muhammad Zainul Millah, Khodim Pesantren Fathul Ulum Blitar.